Dalam Kesatuan Alam Semesta

Home » Artikel » Dalam Kesatuan Alam Semesta

Dilihat

Dilihat : 145 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 86
  • 129
  • 59,870
Pic 3

Oleh: Jo Priastana

 

“The cosmos is within us. We are made of star-stuff.

We are a way for The Universe to Know Itself”

(Carl Sagan, 1934-1996, Saintis dan Astronom Amerika)

 

Bencana alam yang banyak terjadi akhir-akhir ini mengingatkan kita akan hubungan manusia dengan alam semesta. Bencana alam bisa menjadi cermin protes alam atau ibu bumi akan apa yang dilakukan selama ini oleh manusia kepada alam, eksploitasi sumber daya alam cermin kerakusan manusia. Polusi udara, pemangkasan hutan atau deforestasi menjadikan alam menjerit lewat pemanasan global, banjir disana-sini dan es di kutub yang mencair.

Tampaknya, manusia perlu menyadari bahwa seluruh kehidupan di alam semesta atau di dalam angkasa raya adalah saling bergantung. Apa yang terjadi di alam juga tercermin dalam kehidupan manusia, begitu juga sebaliknya, apa yang dilakukan manusia juga tercermin pada alam. Matahari, bulan, dan bintang-bintang serta bumi dengan makhluk-makhluk hidupnya berada bersama dan saling berbagi, saling membutuhkan, saling memerlukan satu sama lain.

Kesatuan manusia dengan alam semesta ini juga tercermin dalam Buddhadharma. Buddhadharma mencerminkan suatu ajaran atau pandangan hidup tentang kehidupan makhluk yang saling berkaitan satu sama lain dan karenanya menghormati alam. Sekaligus Buddhadharma memiliki dasar etika berupa sikap empati dan kasih sayang, hormat terhadap segala beragam bentuk-bentuk kehidupan dan lingkungan alamnya. 

 

Kesatuan Alam Semesta

Segala apapun juga yang ada di alam semesta ini saling terkait dan bergantung satu sama lain. Begitu pula kehidupan manusia dengan makhluk hidup lainnya di dalam alam semesta yang meliputi segenap alam kehidupan. Buddhadharma mengungkapkan tentang berbagai alam kehidupan yang mencerminkan kesatuan alam semesta, seperti: Sankharaloka, Sattaloka dan Okasaloka.

Dalam Buddhadharma, alam kehidupan (loka) yang terbedakan dalam tiga bagian besar: sankharaloka, sattaloka dan okasaloka ini merupakan cerminan dari kesatuan semesta, yang saling bergantung dan meresapi satu sama lain.

Sankharaloka meliputi alam tanpa kehendak seperti batu-batu, biji-biji logam dan  alam hayat yang tanpa kehendak seperti buah pikiran, citta, gagasan, peradaban, kebudayaan. Alam ini sangat berkaitan dengan kehidupan manusia dimana manusia membutuhkan berbagai jenis benda-benda mati untuk menopang kehidupannya. 

Begitu pula dengan alam sattaloka yang merupakan alam bagi makhluk hidup yang mempunyai kehendak. Mulai dari makhluk yang rendah sampai makhluk yang tinggi, baik yang nampak berwujud maupun tidak berwujud, seperti manusia, setan, dewa dan brahma, sebagaimana yang terkelompok dalam kamaloka, rupaloka, dan arupaloka.

Kamaloka meliputi lima alam dewata yang merupakan alam bahagia dan selebihnya adalah satu jagad manusia, satu dunia hewan, satu dunia makhluk yang tidak bahagia, satu dunia setan dan satu daerah neraka. Alam-alam dalam Kamaloka ini jelas saling terkait satu sama lain. 

Di dalam alam ini juga terdapat bahan-bahan kasar dan unsur-unsur alam seperti: tanah, air, api, udara, yang dialami oleh makhluk-makhluk jasmani (berbadan kasar), serta terletak pula neraka yang dingin dan panas dimana di atasnya terletak kepingan bumi dengan daratan dan lautan yang terkumpul di sekeliling Gunung Meru.

Sekitar Gunung Meru ini tempat hidup binatang, manusia, hantu dan roh-roh halus.  Di sekitar Meru itu pula beredarlah matahari, bulan dan bintang-bintang. Di atas Meru tinggal beberapa golongan Dewa, sedangkan Dewa yang lain berada di alam yang tinggi, di dalam istana yang melayang-layang.  

Rupaloka yang merupakan alam bentuk, yang terdiri dari 16 alam Brahma bisa dicapai dengan mengheningkan cipta dalam samadi oleh manusia. Sementara arupaloka – yang merupakan alam tanpa bentuk yaitu alam Brahma yang tidak bertubuh yang hidup setelah mencapai tingkatan keempat dalam samadi, – meliputi alam bukan persepsi dan bukan non-persepsi, alam pengetahuan kekosongan, alam kesadaran yang tak terhingga dan alam ketidakberhinggaan ruang.

Alam-alam Rupaloka dan Arupaloka ini juga sangat berkaitan dengan manusia, karena hal itu juga berupa pencapaian manusia dalam meditasinya. Semua yang berada dalam alam-alam tersebut dengam beragam jenis makhluknya saling terkait dan berpenetrasi satu sama lain, dan tidak terlepas dari Okasaloka.

Kehidupan makhluk seperti: alam bumi tempat kehidupan manusia dan tempat benda-benda mati, seperti: batu, besi dan sebagainya maupun alam dewa, alam neraka sebagai tempat makhluk rendah yang menderita, maupun alam brahma baik rupaloka dan arupa-loka saling terkait, saling menyebab dan mengakibatkan satu sama lain dan berada dalam bentangan okasaloka, cakrawala, atau angkasa-raya yang tak terbatas yang menampung segalanya di dalam kekosongannya.

Angkasa raya menampung dunia dan kehidupan. Dalam perspektif filsafat Buddhis, dunia dan kehidupan, atau segala apa saja (everything) yang berada di dalam angkasa raya (okasaloka) itu dapat dikelompokkan dalam empat level, yaitu: eksistensial, moralitas, kosmologis, dan ontologis.

Secara saintifik modern, ucapan Carl Sagan yang memperlihatkan kesatuan manusia dengan alam semesta juga diungkapkan oleh Neil de Grass Tyson, seorang astrofisikawan.

Tyson yang juga Kepala Hayden Planetarium di Rose Center for Art and Space ini mengungkapkan: “Ketahui bahwa molekul yang membentuk tubuh Anda, atom yang membangun molekul, dapat di telacak ke wadah yang dulunya merupakan pusat bintang massa tinggi yang meledakkan nyali mereka yang kaya secara kimia ke dalam galaksi, memperkaya awan gas murni dengan kimia kehidupan. Sehingga kita semua terhubung satu sama lain secara biologis, ke bumi secara kimia dan ke seluruh alam semesta secara atom. Itu agak keren! Itu membuatku tersenyum dan aku benar-benar merasa cukup besar pada akhirnya. Bukannya kita lebih baik dari alam semesta, kita adalah bagian dari alam semesta. Kita ada di alam semesta dan semesta ada di dalam diri kita.” (dikutip dari postingan Wiliam G. Pullin, dalam “Critical Thinking: An Intellectual Endeavor,” 6/5/24).

 

Bodhisattva Welas Asih

Secara eksistensial Buddhadharma menyatakan bahwa segenap kehidupan makhluk hidup terpaut oleh kondisinya yang berubah dan tidak kekal, seperti lahir mengalami usia tua, penderitaan dan kematian. Terbebas dari ciri-ciri yang eksistensial ini menjadi tujuan akhir umat Buddha: mengenal hakikat penderitaan dan mengerti tentang sebab dan lenyapnya.

Dengan mengenali bahwa segenap makhluk hidup tidak lepas dari ciri-ciri eksistensial tersebut, maka sesungguhnya segenap makhluk di angkasa raya ini adalah sama-sama sependeritaan dan sepenanggungan.

Untuk itu, sikap yang patut ditumbuhkan bagi sesama makhluk yang terlibat dalam penderitaan eksistensial ini tiada lain adalah sikap kasih sayang universal dan sikap empati sebagaimana yang dicontohkan oleh para Bodhisattva. Begitu pula sikap seharusnya terhadap alam; baik lingkungan fisik, alam natural, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kehidupan lainnya hendaknya saling membagi dan menghargai.

Bodhisattva dengan doa universalnya, semoga semua makhluk hidup berbahagia, bebas dari penderitaan, menaruh perhatian yang mendalam terhadap dunia kehidupan atau lingkungan hidup secara total dan meyeluruh.

Tidak hanya terbatas pada makhluk manusia, tapi juga terhadap eksistensi lainnya seperti hewan, tumbuhan dan benda-benda inorganic. Karena sikap empati yang dalam terhadap lingkungan hidup secara total inilah, maka Buddhisme juga dikenal sebagai ecological religion.

Setiap eksistensi kehidupan khususnya makhluk-makhluk hidup berkaitan dengan dimensi moralitas dan kosmologis. Keberadaan makhluk hidup dalam alam kehidupannya bersumber pada level moralitasnya yang merupakan kontinuitas karma kehidupannya.

Meski terdapat perbedaan bentuk kehidupan dalam hirarki moralitas, perbedaan diantara berbagai bentuk kehidupan itu bukanlah dalam arti absolut tetapi relatif.

Setiap bentuk kehidupan dapat berkembang dan beralih menjadi bentuk kehidupan lainnya dan menempati alam-alam kehidupannya lainnya, sampai tercapainya pembebasan spiritual nirvana. Setiap bentuk kehidupan, baik binatang dan jenis-jenis makhluk-makhluk lainnya memiliki potensi yang sama untuk mencapai pencerahan.

Secara ontologis setiap makhluk apa pun juga memiliki Buddha-nature, benih-benih kebuddhaan, atau dharma-nature, seperti misalnya buddhakaya, tathagatagarbha, dharmakaya, dharmadhatu.

 

Rumah Kita Bersama

Buddhadharma merupakan agama yang meliputi alam semesta, memandang segenap bentuk kehidupan di dalam semesta ini memiliki benih-benih kehidupan sempurna, atau benih-benih kebudhaan. Karenanya secara spiritual setiap makhluk sama-sama dapat merealisasikan kesempurnaan spiritualnya.

Sebagai makhluk yang sama-sama memiliki potensi spiritual, maka makhluk-makhluk di berbagai alam kehidupan itu pun hidup memerlukan satu sama lain dan saling tergantung, sama-sama saling bertanggung jawab terhadap alam kehidupannya.

Hukum sebab-musabab yang saling tergantung memperlihatkan bahwa tiada bentuk kehidupan di alam semesta ini yang berdiri sendiri, segalanya ada dan tumbuh saling tergantung. Dengan adanya ini, maka terjadilah itu. Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu. Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu. Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu. Imasmiṃ sati, idaṃ hoti. Imass’ uppādā, idaṃ uppajjati. Imasmiṃ asati, idaṃ na hoti. Imassa nirodhā, idhaṃ nirujjhati. — Assutava Sutta (SN 12.61)

Dalam menyikapi segenap bentuk kehidupan yang keberadaannya saling tergantung ini, maka sikap saling memberikan pertolongan satu sama lain sudah menjadi kepantasan yang harus diwujudkan segenap makhluk.

Untuk itulah, Buddhadharma menekankan agar setiap makhluk Bodhisattva wajib mewujudkan Buddha-nature-nya dalam sikap welas asih, kasih sayang (karuna) terhadap sesamanya terutama kepada mereka yang menderita.

Begitulah Buddhadharma dikenal sebagai “ecology religion”, agama yang bersahabat dengan alam dan hidup akrab dengan segala bentuk-bentuk kehidupan lainnya dengan saling menghormati dan membantu satu sama lain. Bukankah ketika manusia mati, jasadnya membusuk, terurai dan kembali bersatu dengan semesta.

Di bawah angkasa raya segalanya hidup dalam suatu kesatuan jejaring yang saling terkait dan memperlihatkan bahwa alam semesta ini adalah rumah atau tempat tinggal kita bersama. Kita berada dalam alam semesta dan semesta berada dalam diri kita, manusia dan alam semesta adalah suatu kesatuan. Mari kita sikapi alam semesta dengan segenap kebaikan hidup kita, agar alam tetap ramah karena selalu terjaga keaslian dan kecantikannya. (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Sumber gambar: https://www.linkedin.com/pulse/remember-look-up-stars-down-your-feet-anoop-aravind

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?