Dalam Kesatuan Sang Jalan

Home » Artikel » Dalam Kesatuan Sang Jalan

Dilihat

Dilihat : 34 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 34
  • 69
  • 57,828
Pic 4 April 2025 Bendera Buddhis

Oleh: Jo Priastana

 

“Everybody can a Buddha, everybody has in himself the capacity
to wake up from the illusion of being simply a separate individual
(Alan Watts, 1915-1973, Filsuf Penulis Filsafat Timur)

 

Sejarah perkembangan Agama Buddha melahirkan berbagai aliran. Ada Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Perbedaan yang ada dan berkembang dalam berbagai mashab ini kerap kali mendatangkan permasalahan fanatisme karena melupakan bahwa semuanya berasal dari satu sumber yang sama, yaitu ajaran Buddha atau Buddhadharma. Semuanya adalah cermin dari semangat kesatuan yang sama, sama-sama jalan Buddha yang berwujud dalam ragam berbeda.

Janganlah karena keragaman ini, menjadikan suatu aliran bersikap fanatik dan eksklusif dan melahirkan sikap keberagamaan atau kebuddhaan yang jauh dari toleransi, jauh dari saling menghormati, jauh dari semangat persatuan. Dalam sejarah perkembangan agama Buddha, kita juga mengenal adanya upaya-upaya untuk memandang ketiga mashab yang berbeda-beda sebagai satu kesatuan, sama-sama mencerminkan ajaran Buddha dan jalan mencapai Kebuddhaan yang satu dan sama.

Upaya-upaya untuk mencerminkan semangat persatuan dan bukan membeda-bedakan. Upaya untuk memahami Buddhadharma secara inklusif, secara menyeluruh yang mencerminkan semangat kesatuan Sang Jalan, Jalan Buddha. Ide mencetuskan semangat persatuan itu bisa dalam berbagai cara, seperti dalam simbol atau konsep yang bisa diterima oleh semua aliran. Di antara simbol persatuan itu misalnya bendera Buddhis dan konsep Buddhayana yang mencerminkan semangat inklusif Buddhadharma.

 

Simbol Persatuan Bendera Buddhis

Di tengah-tengah semangat kembalinya kebangkitan agama Buddha di dunia atau yang kita kenal dengan sebutan “Buddha Jayanti” di era tahun 1950-an, adalah seorang upasaka Buddhis yang bernama H.S. Olcott yang mengangankan adanya semangat persatuan. Di tengah semangat kebangkitan agama Buddha yang beragam di era modern, ia menciptakan atribut berupa Bendera Buddhis (1885). Selain itu ada pula rumusan dasar-Dasar Keyakinan Agama Buddha (1981) untuk bisa diterima oleh mashab atau aliran agama Buddha seperti: Theravada, Mahayana dan Tantrayana.

Ide mencetuskan Bendera Buddhis oleh H.S. Olcott itu memperoleh sambutan dari World Fellowship of Buddhist. Bendera Buddhis yang semua warnanya diambil dari percikan aura Sang Buddha ketika mencapai pencerahan adalah memang pantas dan tepat untuk dijadikan sebagai lambang pemersatu agama Buddha. Ide H.S. Olcott ini disepakati oleh pimpinan berbagai aliran, baik Mahayana maupun Hinayana (Theravada), dan juga Tantrayana atau Vajrayana.

Maka bendera Buddhis hasil cetusan H.S. Olcoltt itu pun menyemarakkan kebangkitan kembali agama Buddha. Waisak bersama yang diikuti oleh segenap aliran agama Buddha akan menampakkan kibaran bendera pemersatu itu. Di bawah kibaran bendera Buddhis yang mengandung percikan aura Buddha berwarna biru, kuning, merah, putih dan jingga serta campuran kesemuanya akan selalu mengingatkan umat Buddha, bahwa meski berasal dari berbagai aliran apa pun, namun senantiasa menyadari bahwa pada hakikatnya pencerahan itu adalah satu dan sama.

Di kemudian hari, upaya kausalya H.S. Olcott yang mencetuskan bendera Buddhis itu menjadi bagian tak terpisahkan dari kemunculan agama Buddha. Melalui lambang Bendera Buddhis itu, maka upaya mencari persamaan, alih-alih perbedaan, di antara Theravada, Mahayana dan Tantrayana semakin dikumandangkan, baik oleh para sarjana, akademisi Buddha. Ada Akademisi Christmas Humphreys, Lane Beatrice Suzuki, Bhikkhu Walpola Rahula, serta Ananda W.P. Guruge yang mengumandangkan semangat persatuan itu lewat berbagai media (Hudaya Kandahjaya, “Ensiklopedia Nasional Indonesia” Rubrik Runtik, Jakarta: 1991).

Kemunculan bendera Buddhis juga sejalan dengan kemunculan institusi Buddhis secara internasional. Semangat kesatuan Sang Jalan juga tercermin dalam institusi Buddhis yang bersifat internasional dan inklusif. Secara organisasi atau kelembagaan, di tingkat dunia terdapat wadah atau institusi persatuan Sangha, yaitu World Buddhist Sangha Council (WBSC) yang didirikan pada tahun 1966.

Pada Kongres Dunia I WBSC di Kolombo (1967) merumuskan prinsip-prinsip dasar agama Buddha. Sebelum WBSC, telah terbentuk pula wadah persatuan umat Buddha skala dunia yaitu World Fellowship of Buddhist (WFB) pada tahun 1950 (Biksu Dharmavimala: “Buddhayana dan Kontekstualisasi Agama Buddha di Indonesia”, 2012:8).

 

Ekayana dan Buddhayana

Semangat bersatu dalam Sang Jalan itu kemudian muncul juga dalam sebutan atau konsep yang mewadahi semua aliran. Pada tanggal 9 Maret 1974 di New York, Bhikkhu Dr Buddhadasa Kirtisinghe selaku Direktur “The Third Annual International Buddhist Seminar” mengusulkan sebutan Ekayana (Kereta Tunggal) atau Buddhayana (Kereta Buddha) untuk agama Buddha. Sebutan itu muncul dengan harapan semangat bersatu padu di Jalan Buddha akan semakin meningkat terutama didalam bekerjasama, sama-sama membangkitkan dan memajukan Buddhadharma di dunia.

Anjuran ini pun mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak. Di negeri Belanda, Singapura, dan juga di Indonesia muncul upaya mempopulerkan gagasan ini dengan cara mengganti nama organisasi yang ada dengan menyertakan kata Buddhayana. Melalui konsep Buddhayana ini, maka aliran Mahayana, Hinayana, dan Tantrayana dipandang sebagai segmen-segmen yang tidak terpisahkan dan saling melengkapi dalam kebulatan Buddhayana (Hudaya Kandahjaya dan Suktadharmi, Ensiklopedi Nasional, 1991).

Di Indonesia, kebangkitan agama Buddha juga termasuk sejalan dengan meggemanya semboyan “Buddha Jayanti” atau kebangkitan agama Buddha. Kebangkitan ini diawali dengan diadakannya perayaan Waisak di Candi Borobudur di tahun 1956 untuk pertama kalinya setelah era kerajaan Majapahit. Selanjutnya, Nusantara kembali memperoleh kehadiran seorang putranya yang menjadi Bhikkhu. Anagarika The Boan An hadir sebagai putra Indonesia yang kemudian menjadi Bhikkhu pertama setelah era Majapahit atau Indonesia Merdeka, dengan nama Ashin Jinarakkhita di tahun 1958.

Nusantara pun kemudian mengenal misionaris berjubah kuning, kehadiran misionaris di Tanah Air Indonesia yang sebelumnya juga diawali oleh Bhikkhu Narada di tahun 1934. Semangat kebangkitan kembali Buddhadharma berkembang dengan semarak. Berbagai aliran berkembang di Indonesia sebagaimana yang kemudian berpuncak pada kongres Walubi (Perwalian Umat Buddha Indonesia) pertama di tahun 1978. Organisasi Walubi 1978 yang menghasilkan keanggotaan beberapa organisasi agama Buddha dengan latar belakang aliran yang mencerminkan ketiga mashab agama Buddha.

 

Dalam Semangat Satu Buddha

Bisa dikatakan kebangkitan agama Buddha begitu penuh semangat akan persatuan. Walubi sebagai organisasi Buddhis Nasional mencerminkan semangat persatuan itu, dan karenanya menampung berbagai aliran agama Buddha yang ada. Termasuk Buddhayana yang semula hendak dipergunakan sebagai konsep yang mencerminkan Buddhadharma Inklusif, menampung segenap aliran yang ada, namun pada akhirnya kemudian menjadi organisasi agama Buddha tersendiri diantara organisasi agama Buddha lainnya bersama-sama yang termasuk dalam keanggotaaan Walubi (Perwalian Umat Buddha Indonesia, 1978).

Pada dasar semangatnya bisa dikatakan bahwa sesungguhnya konsep Buddhayana merupakan cetusan dari Jalan atau Kereta Buddha yang mencakup Triyana (Tiga Kereta); yaitu Hinayana (Kereta Kecil) atau Sravakayana, Madhayamayana (Kereta Madya) atau Pratyekabuddhayana dan Mahayana (Kereta Besar) atau Bodhisattvayana.

Aliran-aliran ini ada hubungannya dan tidak lepas dari soal mengenai cara mencapai kebuddhaan dari para siswa Buddha. Hinayana sebagai jalan Sravaka disebut menggunakan kereta kecil yang ditarik oleh kambing, sedangkan Mahayana yang menempuh jalan Bodhisattva disebut menggunakan kereta besar yang ditarik oleh sapi, begitu pula dengan Tantrayana.

Meski tampaknya ada banyak kereta, jalan atau yana, sesungguhnya bahwa berkat keterampilan dalam cara (upaya kausalya) sebenarnya tidak banyak kereta. Hanya dengan satu kereta saja, Tathagata (sebutan untuk Buddha) mengajarkan untuk mencapai Nirvana (Hudaya Kandahjaya dan Suktadharmi, Ensiklopedi Nasional, 1991).

Sampai dewasa ini, Agama Buddha berkembang dalam berbagai macam aliran. Perkembangan itu setidaknya terangkum dalam tiga aliran besar, yaitu: Hinayana yang dikatakan juga sebagai Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Konsep Buddhayana tumbuh di awal kebangkitan kembali agama Buddha di abad 20 menyertai berkembangnya berbagai aliran-aliran tersebut dalam rangka memberikan landasan semangat persatuan.

Selanjutnya, realitas menunjukkan bahwa berkembangnya berbagai aliran agama Buddha yang terangkum dalam tiga besar aliran serta terdapatnya konsep Buddhayana yang pada akhirnya menjadi suatu organisasi tersendiri. Buddhayana sebagai konsep pemersatu mengandung semangat filsafat Buddha yang inklusif dan komprehensif, semangat Sang Jalan, Jalan Buddha, dimana semangat persatuan umat Buddha dengan latar belakang aliran tetap terjaga karena mencerminkan satu Buddha.

Dalam konsep Buddhayana terkandung semangat Buddhadharma inklusif, yakni Buddhadharma yang tidak bersifat sekterian namun sungguh-sungguh Buddhadharma yang satu dan utuh. Buddhadharma yang inklusif dan komprehensif sebagai jalan Buddha dan dalam rangka mencapai kesadaran Buddha. Terlepas dari sejarah perkembangan aliran-aliran yang terjadi, konsep Buddhayana hendaknya juga dapat dimengerti dan bisa diberlakukan secara operasional yakni dalam sikap keagamaan yang tidak eksklusif-sekterian dan sebaliknya mencerminkan sikap-sikap kebuddhaan inklusif.

 

Benih Buddha yang Satu dan Sama

Marilah bersatu dalam semangat Sang Jalan dengan selalu menumbuhkan Kesadaran Buddhadharma yang inklusif, bahwa berbagai aliran dalam agama Buddha yang berkembang adalah juga cermin dari satu Buddha. Bersatu dalam Sang Jalan dengan semangat Satu Buddha. Satu Buddha yang mencerminkan esensi ajaran Buddha, benih Buddha yang tertanam dalam diri.

Now what is the basic teaching of Buddhism? It is “one buddha.” The “one” in “one buddha” is not “one” as in “one, two, three…”, but is the oneness of a grand unity. Therefore, Buddhism teaches that one buddha is all buddhas. The buddha is the spiritual light at work throughout the limitlessly vast universe. Therefore, between the sky and the wide earth, each and every thing in the jungle of phenomena represents a slice of this spiritual light. Thus, because the scriptures say “all sentient beings possess buddha-nature,” and also “grass, trees, and the earth all become buddhas,” and “the sentient and the non-sentient all attain the Way,” all human beings can naturally be called “buddhas.” Since all human beings are buddhas, then there are definitely many buddhas. The many buddhas are the “all buddhas” of which we spoke. Since one buddha is all buddhas, all buddhas [that is, all human beings] therefore resolve back to one buddha (Lin 1929, 55; reproduced in Yang 1991:49-50), seperti dikutip oleh Charles B Jones dalam artikelnya “Buddhism and Marxism in Taiwan: Lin Qiuwu’s Religious Socialism and Its Legacy in Modern Times,” yang terdapat di Journal of Global Buddhism, Vol 1 (2012).

Satu Buddha sebagai kesatuan dari sebuah dasar persatuan, satu Buddha yang meliputi segenap Buddha yang terdapat di alam semesta, di antara langit dan bumi, di bumi di dalam segenap fenomena, cahaya spiritual yang terdapat di dalam diri yang mengandung esensi kebuddhaan, bahwa semua diantara kita mencerminkan kebuddhaan dan bahkan segenap fenomena alam semesta. Satu Buddha sebagaimana yang tercermin dalam Puisi Satu Buddha.

Anicca dan dukkha dalam kehidupan. Tanha dan Avijja dalam diriku. Mempesona karma dan tumimbal lahir. Adalah rahasia kesunyataanMu, ya Buddha. Theravada maupun Mahayana. Apalah bedanya dalam makna dan pengertian. Umat manusia yang senantiasa mencari. Setiap sekte tak ada yang juara. Api rindu ke pantai seberang menyala di puncak samsara. Semua kita sama tidak tahu dan sama rindu. Sekte cuma rakit para penyeberang. Yang sama-sama berdayung. Dalam ragam upacara dan puja. Arti yang sama dalam cara berbeda. Tujuan yang Satu. Dalam jalan beragam. (Puisi “Satu Buddha,” Oleh Dhammasukha Jo Priastana, 1983). (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Sumber gambar: https://www.akurat.co/trend/1304681642/sejarah-dan-arti-warna-bendera-buddhis-selalu-dipakai-saat-hari-raya-waisak

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?