Dari Sungai Barito ke Sungai Kuning: Mengalirkan Kebijaksanaan Timur Menyebrangi Batas Iman di Tanah Banjar

Home » Artikel » Dari Sungai Barito ke Sungai Kuning: Mengalirkan Kebijaksanaan Timur Menyebrangi Batas Iman di Tanah Banjar

Dilihat

Dilihat : 48 Kali

Pengunjung

  • 1
  • 31
  • 271
  • 82,534
Pic 05 Kebijaksanaan Timur

Oleh: M. Ikhsan Al Haque, Banjarmasin 23/8/2025

Editor: Majaputera K 謝偉強

 

  1. Pendahuluan

Di tepian Sungai Barito, angin masih berbisik tentang jukung Banjar yang dahulu berlayar sejajar dengan jung-jung Tiongkok. Pada abad ke-18, arus besar itu bahkan disebut Sungai Cina, menandai kuatnya simpul perdagangan antara Nusantara dan Asia Timur (Saleh, 2019: 45). Dari Barito lahir Martapura dan Kuin, yang kemudian menurunkan ratusan cabang air hingga menjadikan Banjarmasin dikenal sebagai Negeri Seribu Sungai. Kolonial Belanda bahkan menjulukinya Venesia dari Timur. Ironisnya, sungai yang dahulu menyalakan perjumpaan kini lebih sering dipandang sekadar bentangan air tanpa makna peradaban.

 

  1. Akulturasi yang Membekas

Jejak pertemuan itu tercermin dalam karya budaya. Sasirangan menyimpan motif naga balimbur, lambang kosmos Banjar yang berpaut dengan naga Tiongkok sebagai simbol kekuatan dan keberuntungan (Darmadi, 2018: 72). Di ruang keluarga, guci porselen dari negeri jauh berdiri berdampingan dengan tajau lokal, dua wadah berbeda yang sama-sama menyimpan beras, air, dan doa. Pertautan benda-benda inilah yang mengajarkan bahwa kebudayaan bukan tembok pemisah, melainkan ruang untuk berbagi makna. Pertautan itu juga terasa di dapur dan pelaminan. Dari tungku api lahirlah mie habang, kecap asin, serta kue bulan yang kini dinikmati lintas etnis. Di pesta pernikahan, Baju Kun Galung Pacinan menggabungkan gaya cheongsam dengan sulaman emas khas Banjar. Estetika menjadi bahasa penghubung yang memperlihatkan bagaimana dua tradisi dapat berpadu, menghadirkan wajah baru tanpa kehilangan akar. Lebih jauh, sejarah merekam kisah keluarga ulama besar Banua. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, tokoh abad ke-18, menikahi seorang perempuan peranakan Tionghoa bernama Go Hwat Nio, putri Kapten (Kapiten) Kodok, pedagang lada yang disegani. Dari pernikahan itu lahirlah Asiah, perempuan alim yang menurunkan para qadi dan ulama besar di Tanah Banjar (Darmadi, 2018: 74). Akulturasi di sini bukan sekadar simbol sosial, melainkan penopang lahirnya generasi baru pemimpin spiritual.

 

Kisah Go Hwat Nio (Tuan Guwat) menegaskan bahwa perjumpaan lintas etnis dapat melahirkan warisan yang menyeberang batas iman. Perempuan peranakan Tionghoa yang memeluk Islam di hadapan seorang ulama Banjar itu menjadi simpul genealogi besar, membuktikan bahwa kearifan Timur tidak hanya lahir dari kitab, melainkan juga dari persilangan keluarga. Bahkan dalam ranah privat, persilangan itu hadir: orang-orang tua Banjar mengenang mantera kecantikan yang dahulu kerap dilantunkan perempuan Tionghoa saat berdandan—“Pur sinupur bapupur di mangkuk karang, Bismillah aku mamupuri si … marabut cahaya si bulan tarang.” Sebuah bait yang menyatukan bahasa lokal, tradisi lisan Tionghoa, dan sentuhan Islam, seolah kecantikan pun lahir dari perjumpaan lintas budaya.

 

  1. Jejak Dagang dan Peribahasa

Bukti material dari interaksi itu masih bisa ditemui hari ini. Keramik berukir naga, sutera tipis, dan keping uang logam tersebar di museum maupun rumah tua. Sungai Barito dan cabang-cabangnya pernah menjadi jalur dagang kecil yang menghubungkan lada, rotan, serta damar Banjar dengan porselen dan kain dari Asia Timur (Saleh, 2019: 112). Pertukaran barang-barang ini tidak hanya mengisi perut, tetapi juga menumbuhkan pengetahuan tentang dunia luar.

 

Selain barang, para pedagang Tionghoa membawa keterampilan berniaga, literasi angka, serta jaringan luas yang menghubungkan Banjarmasin dengan Batavia, Malaka, hingga Kanton (Darmadi, 2018: 79). Di pelabuhan Kuin pada awal abad ke-20, orang Banjar, Bugis, Arab, dan Tionghoa berdiri sejajar sebagai mitra dagang. Kehadiran mereka membentuk simpul ekonomi sekaligus memperlihatkan bahwa kota sungai ini tumbuh dari kerja sama, bukan dari dominasi satu pihak. Tak heran muncul ungkapan lama di Banua: “kaya Cina kahilangan dacing”, yang menggambarkan betapa erat citra pedagang  Tionghoa dengan keadilan timbangannya. Dacing—alat ukur tradisional yang masih digunakan di pasar Banjar—menjadi simbol keseimbangan, mengingatkan bahwa perdagangan tak hanya soal laba, tetapi juga soal moral.

 

Dari Barito ke Huang He, Dalam lanskap Asia, Barito sesungguhnya memiliki gema yang sepadan dengan Sungai Kuning di Tiongkok, sumber peradaban yang melahirkan Konfusius dan Lao Tzu. Jika Huang He dikenal sebagai nadi filsafat negeri bambu, maka Barito adalah denyut akulturasi Nusantara. Satu mengajarkan kelenturan bambu yang sanggup menahan angin, satu lagi diibaratkan titian ulin yang kokoh di atas rawa. Keduanya mengajarkan keseimbangan dengan caranya sendiri (Yao, 2017: 30). Keseimbangan itu juga hidup dalam ajaran. Konfusius menekankan pentingnya kemanusiaan dan tata laku yang menjaga harmoni (Yao, 2017: 32), Taoisme mengajarkan air sebagai teladan, dikatakan bahwa kebajikan tertinggi itu seperti air (上善若水 Shang shan ruo shui, Dao De Jing bab 8): lembut namun sanggup mengikis batu (Laozi, 1963: 12). Islam di Tanah Banjar membuka horizon dengan seruan Iqra!—bacalah (Nasr, 2002: 55). Semua ini memperlihatkan bahwa hikmah tidak lahir dari klaim tunggal, melainkan dari kerendahan hati untuk menyerap nilai dari yang lain. Dari ikan koi di kolam Tiongkok hingga ikan kelabau di arus Barito, tuntunan hidup hadir dalam wujud berbeda, namun sama-sama menegaskan daya tahan dan keberlimpahan.

 

  1. Kompas Moral

Namun, warisan itu kini menghadapi tantangan. Arus globalisasi membuat manusia lebih sibuk menguasai daripada berbagi. Sungai-sungai di Banjarmasin kadang  terabaikan, berubah menjadi saluran limbah alih-alih ruang perjumpaan. Sejarawan mengingatkan: bangsa yang menutup buku dan membelakangi air sedang menyiapkan keruntuhan sendiri. Pertanyaannya, apakah kita berani kembali menjadikan sungai sebagai ruang pengetahuan, atau membiarkannya hanya jadi cermin kelalaian? Jawaban atas tantangan itu sesungguhnya telah diwariskan lintas tradisi. Dari Banjar kita mengenal pepatah kayuh baimbai—dayung bersama yang menyelamatkan semua perahu. Dari Tiongkok ada falsafah yin-yang 阴阳—keseimbangan antara terang dan gelap, keras dan lembut. Dari Islam kita menerima ajaran rahmatan lil ‘alamin—iman yang  menghadirkan rahmat bagi semesta (Nasr, 2002: 118). Tiga nilai ini, meski lahir dari ruang berbeda, sama-sama menegaskan bahwa jalan kebersamaan adalah fondasi tatanan yang berkelanjutan.

 

Penutup

Inilah pesan terbesar dari Barito yang pernah disebut Sungai Cina: peradaban lahir bukan dari tembok, melainkan dari arus yang berani menyatu. Dari guci Tiongkok hingga tajau Banjar, dari bambu hingga titian ulin, dari koi hingga kelabau, kita belajar bahwa kebijaksanaan hadir dalam banyak rupa. Jika sungai-sungai di Negeri Seribu Sungai mampu melahirkan silang budaya, literasi, bahkan trah ulama dari rahim seorang perempuan. Tionghoa, maka apa yang menghalangi kita hari ini untuk menjadikan perjumpaan sebagai jalan kebangkitan? Banjarmasin sesungguhnya sedang berbisik pada dunia: masa depan berpihak pada mereka yang berani mengalir bersama, bukan pada mereka yang sibuk menutup bendungan di dalam dirinya.

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Daftar Pustaka:

Darmadi, H. (2018). Sejarah sosial Islam di Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Antasari Press.

Laozi. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau, Trans.). London: Penguin Books.

Nasr, S. H. (2002). Islam: Religion, history, and civilization. New York: HarperOne.

Saleh, M. (2019). Orang Banjar dan Jaringan Perdagangan Asia Tenggara. Yogyakarta: Ombak.

Yao, X. (2017). An introduction to Confucianism. Cambridge: Cambridge University Press.

Gambar: https://www.wikiwand.com/id/map/Sungai_Barito Diakses 25 Agustus 2025.

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?