Oleh: Jo Priastana
“Kita pernah punya pemimpin bangsa sekaliber Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka, yang sudah merevolusi mentalnya masing-masing, tetapi sekarang kita tidak lagi memiliki pemimpin bangsa. Kita hanya punya pejabat”
(Anhar Gonggong, Sesepuh Sejarahwan Indonesia)
Krisis multidimensi yang nyaris melumpuhkan segenap potensi bangsa, dan menggiring bangsa ke jurang kehancuran juga disebabkan karena kurangnya pemimpin yang memiliki kualitas sikap kenegarawanan dan keteladanan. Kenegarawanan adalah karakter, sikap, visi, misi dan orientasi yang mengedepankan nilai-nilai kebangsaan dan kerakyatan melampaui kepentingan ego seorang pemimpin (Syahnakri Kiki: 2004).
Keteladanan pemimpin melampaui kepentingan diri sendiri. “Orang yang memperhatikan kepentingan orang lain disamping kepentingan sendiri adalah yang terbaik.” (Anguttara Nikaya II; Digha Nikaya III). Dengan itu, seorang pemimpin melengkapi pemahamannya dengan apa yang benar dalam memimpin bangsa dan negara. Semangat moral Konstitusi, cita-cita negara Pancasila, dan pelajaran dari sejarah, kiranya akan memberikannya pentunjuk tentang apa yang benar.
Ujar seperti itulah yang sering dikemukakan oleh negarawan besar bangsa Indonesia, Ir Soekarno, tokoh dibalik konstitusi dan cita-cita negara Pancasila dengan ungkapannya zamen bundeling van alle krachten van de natie atau tekad bersama untuk mendahulukan kepentingan bersama, masyarakat, bangsa, dan negara diatas kepentingan pribadi, keluarga, serta golongan sendiri.
Keteladanan Pemimpin
Seseorang dapat disebut berjiwa negarawan (meski secara formal tidak mengemban posisi kenegaraan) jika senantiasa memikirkan yang terbaik untuk bangsa-negara dan memegang komitmen untuk memberikan yang terbaik bagi kebangsaan, kerakyatan, bahkan kemanusiaan universal melalui ladang pengabdian dan profesinya.
Segala formula kepemimpinan tidaklah bermakna bila faktor keteladanan diabaikan. Bukankah patisari kepemimpinan adalah “memandu jalan dan membawa orang lain ke tujuan bersama”? Apakah pemimpin dapat memandu manakala ia sendiri berjalan dalam kegelapan visi, melangkah dengan kelemahan karakter, dan bergerak maju tanpa kacamata strategi yang tepat? Bagaimana membawa orang lain ke tujuan bersama jika ia tidak dapat memberikan contoh?
Pemimpin negarawan menjadi pandu perjalanan bangsa untuk dapat keluar dari segenap krisis. “Tidak mungkin seorang yang terperosok dalam lumpur dapat menarik orang lain keluar dari Lumpur. Hanya seorang yang telah bebas dari Lumpur dapat menolong orang lain.” (Majjhima Nikaya I).
Daya keteladanan merupakan kriteria pokok untuk menjadi pemimpin nasional atau bagian dari kepemimpinan nasional. Agar dapat menjadi pemimpin-peneladan, seseorang perlu punya integritas dan komitmen, disamping kompetensi (profesionalisme), kepekaan/kepedulian terhadap orang yang dipimpin, dan integritas pribadi yang menjunjung tinggi kesesuaian pikiran (mano), ucapan (vaci) dan tindakan (kaya).
Integritas negarawan menunjukkan bahwa kekuasaan yang digenggam adalah demi mewujudkan cita-cita besar bangsa. Victor Frankl (dalam Tjahjono, Herry: 2004) mengungkapkan, kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi sekadar sarana atau alat.
Kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri hanya melahirkan paradigma kekuasaan atas manusia lain (dan rakyat), bahkan termasuk menghalalkan cara kekerasan, (Macchiavilian). Nilai kekuasaan sejatinya adalah untuk mencapai nilai kemanusiaan, dan bila politik hanya demi kekuasaan akan cenderung melahirkan tiran, despot dan koruptor.
Hukum dan Kepemimpinan
Dalam KBBI arti kata negarawan adalah ahli dalam kenegaraan, ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan bijaksana.
Seperti diungkapkan oleh James Fregman Clarke, “Politikus memikirkan bagaimana pemilu berikutnya. Negarawan akan memikirkan bagaimana generasi selanjutnya.”
Kepemimpinan negarawan, menghormati konstitusi atau bersandar pada hukum. Buddhadharma mengandung kebenaran yang terfomulasi dalam hukum kesunyataan. Sebagai seorang pemimpin spiritual, Sang Buddha Gotama berpesan untuk bersandar pada hukum kesunyataan.
Di dalam Maha Parinibbana Sutta. Sang Buddha menekankan agar sepeninggal dirinya para siswanya tidak tergantung pada-Nya, melainkan kepada Dhamma dan Vinaya, yakni sistem hukum kesunyataan sebagai pedoman dalam kehidupan siswa-siswanya.
Faktor kepemimpinan seperti berteladan kepada seorang tokoh memang sangat penting di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehadiran seorang Buddha pada masanya sangat berperan besar bagi kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat yang bersangkutan. Namun begitu, Buddha berpesan, bahwa sepeninggalnya, beliau tidak mewarisi dan menunjuk seseorang untuk menjadi pemimpin atau menggantikannnya.
Buddha mewarisi pranata berupa hukum kesunyataan yang hendaknya dipatuhi dan dilaksanakan. Ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan beragama Buddha, umat Buddha bersandar pada ajaran Buddha, pada Buddhadharma yang berisikan hukum kesunyataan. Demikian juga dengan peran kepemimpinan negarawan didalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dan bersandar pada hukum.
Keteladanan tokoh memang berperan penting. Namun, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hendaknya lebih bersandar kepada sistem hukum yang berlaku ketimbang kepada seorang pemimpin, meskipun faktor kepemimpinan itu bukanlah sama sekali tidak berperan.
Pemimpin negara yang bersifat negarawan pandai dan piawai didalam memimpin pemerintahannya dan menyelenggarakan kesejahteraan bagi masyarakatnya dengan bersandar pada hukum negara yang berlaku. Untuk itulah rakyat harus mencari dan menemukan pemimpinnya bukan dalam bentuk pewarisan dinasti namun ditemukan dalam setiap Pemilu, cermin dari kedaulatan rakyat dari negara demokrasi.
Demokrasi dan Kepemimpinan Negarawan
Pemilu adalah instrument kontrak sosial antara rakyat dan pemimpinnya, dan suatu sarana yang mencerminkan demokrasi, pemerintahan yang berdasarkan suara rakyat. Pemimpin negarawan mematuhi kehendak rakyat, menyelenggarakan kekuasaan secara demokratis. Dalam Buddhadharma juga ada pertalian yang erat sekali antara agama Buddha dengan demokrasi (Piyadassi Mahathera, 2003).
Dasar-dasar praktik demokrasi seperti dalam pemilu itu juga ditemukan dalam kehidupan Sangha. Peraturan-peraturan disiplin dalam Vinaya yang ditetapkannya juga diawali dan dilakukan secara demokratis dengan memperhatikan suara-suara yang berkembang. Ketika menyampaikan ajarannya kepada murid-muridNya, Buddha memperlakukannnya secara sama setara, tidak membeda-bedakan, tidak memandang asal usul keturunan atau status sosial darimana seseorang berasal.
Buddha tidak pilih kasih, karenanya sekalipun murid itu berasal dari keluarga tukang cukur seperti Upali tetap saja dapat menjadi pemimpin dalam vinaya karena memang sungguh menguasai disiplin yang lebih baik dibandingkan dengan murid-murid lainnya. Ini menunjukkan bahwa setiap murid Buddha itu mempunyai hak yang sama. Buddha memandang dan melihat siswanya dari kapabilitasnya, yang dalam zaman sekarang dikenal dengan sebutan profesionalisme, kapabilitas dan kompetensi.
Sebagai pemimpin, Buddha mencerminkan nilai-nilai demokratis dimana komunitas Sangha yang didirikannya berjalan sesuai dengan prinsip hukum vinaya. Meski Sangha diharapkannya dapat terus berlangsung, Buddha sendiri tidak pernah berpikir untuk menguasai Sangha.
Buddha berkata kepada siswanya, “Ajaran dan Disiplin (Dhamma Vinaya) yang telah aku tetapkan dan tentukan untuk kalian, biarlah menjadi guru bagi kalian setelah Aku tiada.”
Dhamma dan Vinaya berisikan ajaran yang benar, karena pantaslah seorang pemimpin mengetahui dan memahami kebenaran terlebih dahulu sebelum mengerjakan yang mungkin dikiranya benar. Lyndon B Johson, Presiden AS, menyatakan: “Tugas terberat seorang presiden bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar”
Buddha mengungkapkan bahwa kehidupan seseorang itu tidaklah ditentukan oleh keturunannya, tetapi oleh perbuatannya dan kemampuannya. Dan karena kemampuannya, kompetensinya (profesionalismenya) itulah seseorang disebut pemimpin, seperti yang diungkapkannya dalam Digha Nikaya.
Sepantasnya sistem demokrasi menawarkan pemilihan atau penentuan pemimpin yang melibatkan partisipasi rakyat. Ada pemilu, ada calon pemimpin, dan ada rakyat yang memiliki hak suara. Peraih suara terbanyak berarti menjadi pemilik mandat dari rakyat untuk memimpin negara, adakah sistem negara menjamin lahirnya kepemimpinan negarawan?
Pemimpin yang memegang teguh nilai-nilai keutamaan, seperti jujur, rela berkorban, asketisme, dan mengutamakan kepentingan rakyat, pemimpin yang dapat membawa negara dan rakyatnya mencapai tujuan. Pemimpin yang menjalankan amanah sebaik-baiknya, rela berkorban, mengutamakan kepentingan rakyat, sungguh memperhatikan kepentingan bangsa sebagai pemimpin bangsa, dan bukan semata golongan dan lingkungan terdekatnya atau sekedar menjadi pejabat belaka! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: https://cdn.rri.co.id/berita/39/images/1691628827155-OPINI/1691628827155-OPINI.jpg