Dewi Lestari dan Supernova Episode “Akar” (1) – Bodhi Berkalung Swastika

Home » Artikel » Dewi Lestari dan Supernova Episode “Akar” (1) – Bodhi Berkalung Swastika

Dilihat

Dilihat : 129 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 0
  • 89
  • 23,130

Oleh: Jo Priastana

 

“Jingga di bahumu. Malam di depanmu. Dan bulan siaga sinari langkahmu.

 Teruslah berjalan. Teruslah melangkah. Kutahu kau tahu. Aku ada”.

(Dewi Lestari, Penulis, Lahir 1976)

 

Penting pula bila umat Buddha mengenal novel Supernova, karya Dewi Lestari, apalagi Jilid 2.1, Episode Akar.  Dalam karya monumental Dee Supernova, episode 2.1 yang diberi judul “akar” ini bertaburan  ajaran Buddha, kutipan-kutipan Buddhadharma yang sifatnya inklusif, mencakup ajaran berbagai mashab, Theravada, Mahayana maupun Tantrayana. Tidak hanya kutipan ajaran, bahkan setting dan tokoh dalam novel itu sendiri berkaitan dengan Buddha. 

Artis serba bisa, penulis, penyanyi dan aktivis ekologis Dewi Lestari ini selain figur publik juga dikenal luas di kalangan umat Buddha. Hal itu tercermin, bagaimana begitu antusiasnya umat Buddha memperlihatkan keprihatinan dan rasa duka citanya  atas kematian suaminya Reza Gunawan (meninggal Selasa 6 September 2022). Ruang duka Heaven dimana jenazah Reza Gunawan disemayamkan dihadiri oleh beragam umat Buddha.

Segala kalangan, tokoh buddhis, selebriti buddhis, pandita, para Bhikkhu dan Bhiksu menunjukkan rasa simpati yang sangat mendalam. Sekilas dari prosesi dan penghormatan kepada almarhum suaminya yang dihadiri banyak kalangan Buddhis serta digunakannya ritual Buddhis dari berbagai aliran yang menyertainya memperlihatkan bahwa masyarakat Buddhis tampaknya  memiliki Dewi Lestari sebagai seorang Buddhis.

 

Sinema Swastika Dewi

Apa yang menimpa Dewi Lestari atas kehilangan suaminya Reza Gunawan, terlebih ketika menatap fotonya yang berderai air mata di atas kapal saat melarung tulang belulang almarhum Reza di laut Jakarta sungguh mengundang rasa simpati yang dalam. Dan atas kepedihan, kesedihannya itu mengingatkan ajaran Buddha tentang rasa duka yang terjadi. Rasa duka atas sebuah kehilangan dari orang yang kita sayangi.

Semua kita berduka, semua kita merasakan hal yang sama, semua kita menyampaikan mudita citta. Tetes air mata yang mengalir perlahan di pipi yang ranum itu jatuh ke dalam pelukan air samudera dimana disana di laut lepas nan luas abu, tulang belulang Reza bersemayam dalam kedamaian, di dalam keheningan kedalaman lautan, menyatu dengan alam, melebur dalam kosmos.

Tesis pertama Sang Buddha dalam Empat Kesunyataan Mulia adalah tentang dukkha atau penderitaan, dan dalam konteks itu pula, Buddha membabarkan tentang substansi ajarannya berkenaan dukkha dan jalan pembebasan dukkha. Dukkha yang terjadi diantaranya karena kehilangan orang yang yang kita sayangi, berpisah dengan orang yang kita cintai.

Kata Buddha, hanya ada satu yang kuajarkan, yaitu: dukkha dan pembebasan dukkha. Demikian ujar Buddha. Sebuah dasar ajaran Buddha dan ajaran utama Buddha dimana semua manusia yang terlahir akan mengalami dan menanggung dukkhanya masing-masing.

Setiap orang tampaknya akan memanggul atau berkalung swastikanya masing-masing: dukkha, penyebab dukkha, lenyapnya dukkha, dan jalan mengakhiri dukkha. Setiap orang hadir ke dunia bersama dukkha dan menjalani kehidupannya sebagai sebuah kesempatan untuk mengakhirinya. Semua orang menanggung hidupnya masing-masing, karmanya masing-masing.

“Semua perjalanan hidup adalah sinema. Bahkan lebih mengerikan. Darah adalah darah, dan tangis adalah tangis. Tak ada pameran pengganti yang akan menanggung sakitmu.” (Dewi Lestari, Supernova)

“Tidak ada awal dan akhir. Tidak ada sebab dan akibat. Tidak ada ruang dan waktu. Yang ada hanyalah Ada. Terus bergerak, berekspansi, berevolusi. Sia-sialah orang yang berusaha menjadi batu di arus ini, yang menginginkan kepastian ataupun ramalan masa depan karena sesungguhnya justru dalam ketidakpastian manusia dapat berjaya, menggunakan potensinya untuk berkreasi.” (Dewi Lestari, Supernova).

Tentunya filosofi dan cara berpikir dialektika ajaran Buddha sebagaimana juga terungkap dalam kata “rectoverso” telah dipahami dan dihayati Dee. Sebuah kata “rectoverso” yang juga menjadi judul karya Dee untuk puisi dan lagu, dalam lagu ada puisi dalam puisi mengalun lagu. Seperti satu keping uang dengan dua sisinya, dalam kehidupan tersimpan kematian pasti dan dalam kematian berlanjut kehidupan tak bertepi.

Filosofi dan cara berpikir yang juga sejatinya beranjak dari ajaran dasar dan utama spiritualitas Buddha yang juga telah diresapi oleh Dee sehingga meluncurkan kata-kata bijak puitis dalam karya-karyanya yang kerap mencengangkan dan memukau banyak pembacanya. 

Dalam pencaharian dirinya dan pengenalan eksistensinya, Dewi Lestari dikenal juga aktif dalam aktivitas dan penekun meditasi. Dari metode mengenal diri meditasi Buddhis yang digerakkan oleh Almarhum Romo Hudoyo Hapudio hingga meditasi pelatihan Mindfulness Thich Nhat Hanh, dan mungkin banyak yang lainnya. 

Memandang foto Dewi Lestari saat melarung abu jenazah suaminya, duduk di tepian kapal Heaven, dan saat Dewi dipeluk putra dan putrinya, saudaranya, saat memandang ke laut lepas dengan menggenggam foto almarhum suaminya, tak terasa rasa simpati, mudita ini pun tumbuh dan tumpah ruah. Memandang ke laut lepas dengan tatapan penuh arti yang mendalam, yang seakan mengungkapkan kepedihannya yang mendalam.

“Memandang jauh ke langit biru, derai air mataku membawamu jauh ke kedalaman kejernihan air di dasar samudera, di sana di dalam keheningan engkau berbaring dan pancaran sunyinya menusuk rasa sepi hatiku di sini, terasa mencekam kepedihan ini tanpa kau di sisi, bagaimana aku memanggul swastika dukkhaku?” (Jo)

Setiap orang akan mengalami kematian. Lahir, sakit, usia tua dan kematian adalah fenomena dari dukkha, penderitaan yang tak terelakkan oleh siapa saja. Manusia lahir menuju kematiannya, dan sepertinya semua orang pun akan larut dalam kesedihan untuk dapat menerima kenyataan kematian. “Zein sum to de”, demikian Filsuf eksistensialis Jerman, Martin Heidegger (1889-1976) berkata, yang artinya manusia berjalan menuju kematiannya.

Bagaimana rasa simpati atau mudita citta yang tak terungkap ini dapat hadir dan juga terasakan, sebagaimana samudera raya itu dapat merasakan hangatnya kasih rembulan. Rasa kehilangan itu akan dialami kita semua yang telah terlahir sebagai manusia, bahwa hidup ini adalah dukkha, tidak terlepas dari kesakitan dan kematian, ujar Buddha.

Merasakan mudita citta, rasa simpati dan empati yang mendalam ini, apa dan bagaimana yang dapat disampaikan kepada Dee. Rasa ingin menemui untuk turut belasungkawa tapi tanpa bisa hadir, rasa ingin menyapanya tapi tidak bisa menyalaminya dan rasa larut bersama air mata kesedihannya tanpa perlu ada kata-kata terungkap, cukup ada disisi.

Sekilas pikiran pun terbayang akan karya monumentalnya Supernova, karya tetralogi Supernova yang telah membius banyak pembacanya, terutama episode “Akar”. Episode “Akar” banyak mengutip ajaran-ajaran Buddha, mengisahkan perjalanan hidup manusia dengan tokoh Bodhi yang serasa sedang memanggul dan berkalung swastikanya.

Semua orang berkalung penderitaannya masing-masing. Kita semua berkalung swastika, simbol ajaran Buddha tentang empat kesunyataan mulia: dukkha, akar dukkha, lenyapnya dukkha, dan jalan melenyapkan dukkha. Kiranya rasa belasungkawa ini dapat diwakili dengan membuka kembali dan dengan sedikit mengapresiasi karya Dee, novel Supernova episode “Akar” dengan menyimak kutipan-kutipan bernuansa ajaran Buddhis.

 

Supernova dan Episode “Akar”

  Supernova episode “Akar” tampaknya banyak menceritakan mengenai latar belakang keseluruhan novel Supernova. Selain itu dalam episode “Akar” ini juga banyak menyodorkan ajaran Buddha, disamping bersetting serta bertokoh utama seorang pemuda bernama “Bodhi.” Petualangan dan pengalaman hidup dari tokoh Bodhi yang seakan mencerminkan empat kesunyataan mulia ajaran Buddha yang bersimbolkan swastika.

Jangan-jangan melalui “Akar” ini, alumnus Fakultas Sospol, Universitas Katolik Parahiyangan Bandung yang lahir tahun 1976 ini secara tidak langsung melalui karyanya itu telah memberi pelajaran kepada umat Buddha tentang pemahaman Buddha Dharma yang beranjak dari perenungan dan penghayatannya dan bersifat inklusif. 

Untuk itu, coba resapi dan simaklah kutipan-kutipan bernuansa Buddhis yang terdapat dalam Supernova 2.1 ”Akar”, Trudee Books, I, 2002 itu, yang terbit 20 tahun lalu namun senantiasa relevan dan mengundang refleksi dalam membacanya.

Selain kutipan-kutipan bernuansa Buddhis yang banyak bertebaran, novel Supernova episode 2.1 “Akar” itu juga menampilkan setting bernuansa Buddhis, seperti tokoh utamanya yang bernama “Bodhi” yang dikisahkan berasal di sebuah Vihara di Malang, Jawa Timur. Juga disebut-sebut Vihara Vipassana Graha, Lembang Bandung, serta berbagai pelukisan mengenai kesenian Buddhis.

Kutipan-kutipan Buddhisnya yang bernuansa Theravada, Mahayana, Tantrayana dan Vajrayana Tibet itu juga mencerminkan pemahaman Dee yang luas dan komprehensif mengenai Buddha Dharma. Dalam novel Supernovanya yang pertama, Dewi juga ada menyinggung ajaran Buddha, khususnya mengenai Zen Buddhism.  Sebaiknya dibuka saja buku Supernova karya Dee itu atau dibaca dan diresapi kutipan-kutipan Buddhadharma yang terdapat dalam episode “Akar”. (JP) ***

 

  • REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
  • REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH).
  • SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor).

 

https://www.goodreads.com/book/show/1300350.Supernova

Butuh bantuan?