Dharmik Sosialisme Ajahn Buddhadasa

Home » Artikel » Dharmik Sosialisme Ajahn Buddhadasa

Dilihat

Dilihat : 49 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 32
  • 62
  • 38,741
Pic 5

Oleh: Jo Priastana

 

“Infinite growth of material consumption in a finite world is an impossibility”

 (E.F. Schumacher (1911-1917), Ekonom, Pemikir Pembangunan)

 

Buddhadharma dikenal sebagai jalan tengah yang bebas dari kutub-kutub ke-ekstriman. Dalam rekonstruksi pembangunan ekonomi, filosofis Jalan Tengah mengimbangi pembangunan yang hanya menekankan antara dunia material dan spiritual. Dalam konteks itulah, E.F. Schumacher di awal tahun 1980-an merumuskan Teori Ekonomi Buddhis, dalam bukunya “kecil itu indah” (Small is Beautiful).

E.F. Schumacher (1911-1977), ekonom yang disebut-sebut mengetengahkan teori ekonominya dengan beranjak pada jalan tengah Buddha mengungkapkan suatu pemikiran yang mencoba menengahkan jalan pembangunan antara jalan kapitalisme dan ekonomi etatisme. Masing-masing jalan tersebut tidak membawa kepada pembangunan yang menyejahterakan dan membahagiakan manusia, dimana kesenjangan dan kebebasan masih menjadi fenomena.

Keprihatinan Schumacher terhadap sistem ekonomi materialistis yang didasari oleh harta keserakahan mengingatkan kita pada ujar Mahatma Gandhi. “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup unutk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia yang serakah.” (Mahatma Gandhi). Dalam perspektif Buddhis, keserakahan merupakan sebab dari berbagai penderitaan.

 

Jalan Tengah Pembangunan

Ken Jones (2003: 180) mengutip pandangan Schumacher dalam bukunya “Small is Beautiful” tentang pemikiran eknonomi materialistis yang akan merusak lingkungan. Kerusakan lingkungan mengingat hasrat keserakahan yang terkandung dalam ekonomi materialistis itu tidak terbatas sedangkan sumber daya alam terbatas.

Schumacher reminds us that “attitude to life that seeks fulfilment in the single-minded pursuit of wealth – in short, materialism – does not fit into this world, because it contains within itself no limiting principle, while the environment in which it is placed is strictly limited,” (Schumacher, E.F. “Small Is Beautiful”. New York: Harper and Row, 1975:30).

Selain Schumacher yang berupaya membangun teori ekonomi perspektif Buddhis, kita juga mengenal Dharmik Sosialisme yang dikemukakan oleh Ajahn Buddhadasa, seorang bhikkhu di Thailand. Buddhadasa mengintrodusir ajaran-ajaran Buddha yang ditujukan bagi para raja atau kepala pemerintahan agar sejalan dengan nilai-nilai dharma (dharmaraja).

Ajahn Buddhadasa menekankan kepala negara untuk memperhatikan Dasarajadhamma, sepuluh prinsip bagi Raja dalam memerintah mewujudkan negara sejahtera. Raja hendaknya menerapkan nilai-nilai Dharma mengenai prinsip-prinsip negara kesejahteraan, welfare state dimana nilai-nilai sosialisme menjadi asas-asas bagi tujuan bagi pembangunan ekonomi suatu negara. 

Pandangan Buddhadasa juga mencerminkan engaged Buddhism. Engaged Buddhism sebagai suatu tipologi Buddhadharma yang berkembang saat ini yang model dhammaraja untuk teruwujudnya negara sejahtera. Model dhammaraja dimana raja atau kepala pemerintahan dewasa ini hendaknya melaksanakan nilai-nilai Buddhadharma yang berkenaan dengan tujuan pembangunan ekonomi suatu negara yakni kesejahteraan rakyat, atau apa yang dalam terminologi modern dikenal sebagai welfare state.

Dasarajadhamma merupakan prinsip-prinsip bagi pemimpin politik dalam memerintah negaranya dalam rangka mewujudkan negara sejahtera. Prinsip dalam dasarajadhamma yang diungkapkan oleh Sang Buddha dalam kitab Jataka itu terdiri: Dana (bermurah hati), Sila (bermoral), Paricagga (berkorban), Ajjava (tulus hati dan bersih), Maddava (ramah tamah dan sopan santun), Tapa (sederhana), Akkodha (tidak berniat jahat, bermusuhan dan membenci), Avihimsa (tanpa kekerasan), Khanti (sabar dan rendah hati), dan Avirodhana (tidak menimbulkan atau mencari pertentangan) (indahnyadhamma.blogspot.com/21/2/23).

 

Negara Sejahtera

Pada perkembangan sejarah Buddhisme, model dhammaraja itu diterapkan oleh Raja Asoka, dan dhamma sosialisme yang diketengahkan Buddhadasa ini merujuk pada apa yang pernah terjadi dalam sejarah perkembangan agama Buddha dimana nilai-nilai Buddhadharma diterapkan oleh kepala negara yang dharmis dalam suatu kehidupan bernegara yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan kehidupan rakyatnya, sebagaimana juga yang terungkap dalam dasaraja dhamma, sepuluh prinsip yang perlu dilakukan oleh seorang raja.

In the closing page of one of the essays in his book “Dhammic Socialism,” Ajahn Buddhadasa declares: “the ten royal virtues (of) generosity, morality, liberality, uprightness, gentleness, self-restraint, non-anger, non-hurtfulness, forbearance, and non-opposition … In some cases, this form of Buddhism dictatorial socialism can solve the world’s problems better than any other form of government. In particular, small countries like Thailand should have democracy in the form of a dictatorial dhammic socialism.”

Dalam dasa raja dhamma berjalan sebuah pemerintahaan yang tercerahkan, para elit yang tidak semata karena status sosialnya namun sungguh menjalankan fungsinya dan mewujudkan sosialisme Dharmik: “Furthermore, a ruling class of some kind is absolutely necessary: however, it should be defined by its function rather than by birth ….this kind of government, an enlightened ruling class …. is in fact the kind of socialism which can save the world.”

Ajahn Buddhadasa dengan dhammic socialism telah menjadi sumber inspirasi bagi gerakan engaged Buddhism, Buddhadharma yang terlibat. Dhammik sosialisme yang mencerminkan apa yang diungkapkan dan diarahkan Sang Buddha bagi kepala negara untuk mewujudkan kesejahteraan, prinsip-prinsip sosialisme Buddhis yang tercermin dalam Kutadanta Sutta.

Kutadanta Sutta dan Cakkavattisihanada Sutta: dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil, raja atau pemerintah tidak dibenarkan untuk menaikkan pajak dengan alasan apapun (..janapade sa-upapile balim uddhareyya, akicca-kari). Bagi masyarakat yang mempunyai pekerjaan sebagai petani, maka sebaiknya raja memberi bantuan berupa biji-bijian dan makanan (ye janapade ussahanti kasi-gorakkge tesam bhavam raja bija bhattam anuppadetu). Bagi mereka yang berdagang, kepadanya sebaiknya diberikan modal atau capital (…vajijaya tesam bhavam pabbatam anuppadetu). Sedangkan kepada mereka yang bekerja sebagai pegawai, kepadanya sebaiknya diberikan nasi dan gaji (..janapadesu raja-porise tesam bhatta-vettanam pakappetu). Setelah menerapkan nasihat-nasihat tersebut di lingkungan kerajaan Maha Jivita tidak ada orang yang mengganggu orang lain dengan dalih kelaparan, sehingga masyarakat bisa hidup bersama keluarga mereka dengan bahagia, tenang, sejahtera (khematthita) dan aman meskipun tinggal dengan pintu terbuka (aparuta-ghara). (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Sumber gambar: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTUX1k8AsCxzL22-lQFYDHLDF6fSnsHUz4IAQ&s

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?