Oleh: Jo Priastana
“Kebudayaan tidak dapat dipertahankan, kita harus berusaha mengubah dan memajukan, oleh karena kebudayaan sebagai kultur, sebagai barang yang tumbuh, dapat hilang dan bisa maju” (Mohammad Hatta (1902-1980), Proklamator dan Wakil Presiden RI ke-1)
Ketika merebaknya modernisasi pembangunan di berbagai negara, ekonom pembangunan Gunnar Myrdal (1898-1987), penulis buku “Asian Drama” (1968), memandang nilai-nilai tradisional di Negara-negara Asia sebagai hambatan dan halangan bagi suksesnya pembangunan, dan pertumbuhan ekonomi. Nilai-nilai Asia yang dimaksud itu seperti: nilai yang mementingkan kehidupan spiritual, nepotisme yang menghambat kemajuan ekonomi yang mendatangkan kesejahteraan di dunia dan membebaskan dari kemiskinan.
Namun begitu, proses perubahan sosial dan kesuksesan ekonomi di kawasan Asia yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama juga pernah diketengahkan oleh para pakar. Pada tahun 2001 terbit buku Lawrence Harrison dan Samuel Huntington, Culture Matters: How Values Shape Human Progress. Buku yang menyoroti bagaimana nilai-nilai budaya termasuk nilai agama berperan besar dalam kemajuan suatu bangsa, misalnya Korea yang memiliki etos kerja tinggi yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Buddhisme dan Konfusianisme.
Kemajuan kawasan Asia Timur, seperti Cina, Jepang, Korea, Singapura dan Taiwan misalnya juga dipengaruhi oleh adanya nilai-nilai spiritual atau agama yang mendasarinya yang berkembang di sana. Tidak dipungkiri bahwa paham Konfusius maupun agama Buddha khususnya agama Buddha Mahayana, seperti nilai kemandirian, rasa hormat, komitmen terhadap pendidikan, disiplin diri, penghargaan terhadap proses kemajuan memberikan dampak positif bagi budaya pembangunan.
Nilai-Nilai Buddhadharma dan Budaya Kemajuan
Karenanya, keliru bila beranggapan tidak adanya pengaruh positif ajaran Buddha bagi pembentukan mentalitas untuk budaya kemajuan hidup di dunia. Dalam ajaran tentang “samma ajiva” atau “penghidupan benar” (S. Dhammika: All About Buddhism, 1990), yang merupakan salah satu dari jalan delapan mulia membebaskan diri dari penderitaan, Buddha mengajarkan tentang masalah-masalah yang berkenaan dengan kesejahteraan dan kehidupan ekonomi.
Buddhisme menekankan persyaratan pencapaian keduniawian, seperti: berupa kerja keras sewaktu muda dengan nilai integritas diri, jujur, dapat dipercaya, tekad kuat, sehingga memperoleh kekayaan. Selain itu juga memberi petunjuk tentang penggunaan kekayaan yang tidak hanya bersifat material namun juga mengandung nilai sosial dan nilai spiritual, seperti dalam mewujudkan sikap kepedulian dan menjaga lingkungan, sumber daya alam.
Bhikkhu Buddhadhasa (1906-1993), filsuf Buddhis progresif di Thailand sangat menekankan agar kita memahami pokok-pokok ajaran Buddha yang semestinya. Pentingnya menyelami tentang anicca, dukkha, anatta dan nibbana, dan beragama yang kualitatif seperti pelatihan meditasi untuk transformasi diri, ketimbang melakoni cara beragama yang materialisme (spiritual materialism) yang didasari oleh tiga racun: keserakahan, kebencian, dan kekeliruan.
Dalam menyikapi zaman pembangunan negara-negara di abad modernisasi ini, teori sosial Buddhis pun berkembang. David Loy dalam bukunya “Money, Sex, War, Karma: notes for a Buddhist Revolution”, maupun buku lainnya “The Great Awakening: A Buddhist Social Theory” (2003), menekankan agar kita memahami ajaran Buddha yang sesungguhnya, nilai kehidupan spiritual yang tidak terpisahkan dengan kehidupan di masyarakat.
Apa yang sesungguhnya dimaksud dengan ajaran Buddha, adalah menjalani hidup sederhana, tidak materialisme, tidak egois, tidak melekat, dengan cara melakukan pelatihan diri dan membebaskan dari dari tiga racun kejahatan: lobha, dosa, dan moha. Ajaran Buddha menekankan menjalani perubahan dengan penuh daya (viriya) melakukan transformasi diri, perubahan batin dari sifat-sifat buruk menjadi sifat-sifat utama seperti dana, karuna atau welas asih yang bermanfaat bagi kehidupan sosial, kesejahteraan dan kemajuan.
Mentalitas dan Struktur
Dunia dalam manusia seperti mentalitas sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dengan dunia eksternal seperti struktur, sistem, lingkungan sosial. Di tahun 1970-an ketika merebaknya pembangunan di dunia ketiga dalam rangka mengisi kemerdekaan setelah lepasnya negara-negara berkembang dari era kolonialisme berkembang teori pembangunan. Ada teori pembangunan yang menekankan struktural dan teori pembangunan yang bersifat budaya mengutamakan mentalitas.
Teori pembangunan struktural berkaitan erat dengan perubahan struktur ekonomi yang ada di suatu negara. Teori ini menjelaskan mengenai negara-negara di dunia yang terbagi atas negara maju (industri) dan berkembang (pertanian), yang saling berhubungan dan berkaitan erat antara satu dengan lainnya. Lahan pertanian beralih fungsi di negara dunia ketiga dan siap-siap harus menyambut industrialisasi dengan segala persyaratan potensi kemanusiaannya, seperti relevansi nilai-nilai budaya, mentalitas penduduk dalam dunia pembangunan modern yang bersifat industrial.
Teori pembangunan struktural menitikberatkan pada mekanisme transformasi atau perubahan sistem ekonomi suatu negara sedang berkembang. Sistem yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern, yang didominasi sektor industri dan jasa. Dipandang bahwa kemiskinan yang terdapat di negara dunia ketiga yang mengkhususkan pada produksi pertanian adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang eksploitatif sehingga surplus dari negara tersebut beralih ke negara industri maju.
Teori struktural ini sering dianggap bersumber pada teori yang dilontarkan oleh Karl Marx (1818-1883). Menjelaskan tentang ketimpangan dua negara industri dan dunia ketiga yang bersifat eksploitatif secara sistem dan struktural. Serta teorinya tentang bangunan bawah infrastruktur berupa sistem sosial-ekonomi dan bangunan atas seperti ideologi, sistem budaya, mentalitas dan kesadaran penduduk atau suprastruktur. Dikatakan bahwa lapisan atas suprastruktur amat tergantung pada bangunan bawah infrastruktur, atau dunia infrastruktur menentukan bangunan atas, bahwa kesadaran, nilai, ideologi amat ditentukan keadaan infrastruktur sosial ekonomi.
Dalam salah satu karyanya, Marx dan Engels pernah menyatakan bahwa masa depan dari teori negara-negara yang terbelakang dapat dilihat pada negara-negara yang sudah maju. Bagi Marx, dunia akan berkembang menuju kapitalisme global. Oleh karena itu tidak dapat dihindari lagi, seluruh negara di dunia akan menjadi negara kapitalis. Masyarakat terdiri atas berbagai komponen yang memiliki perbedaan-perbedaan kepentingan bahkan cenderung konflik.
Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses perubahan menuju keadaan yang lebih baik yang mana hal ini dilakukan secara terus menerus di dalam suatu negara. Pembangunan yang berkelanjutan itu menjadikan negara itu mengalami kemajuan yang begitu pesat dalam suatu bidang tertentu, seperti ekonomi yang pada akhirnya akan berdampak ke bidang-bidang lainnya.
Selain teori pembangunan struktural berkembang pula teori pembangunan yang bersifat budaya dan berkenaan dengan mentalitas. Adalah Koentjaraningat, Bapak Antropologi Indonesia yang terkenal dengan karyanya, “Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan,” Jakarta, PT Gramedia, 1983. Ilmuwan antropologi ini mengemukakan faktor budaya sebagai faktor yang menentukan pembangunan. Terdapat faktor budaya yang bisa menghambat atau mendukung pembangunan. Dikatakan, bahwa mentalitas suatu bangsa yang hendak mengintensifkan usaha untuk pembangunan harus berusaha menilai tinggi orientasi ke masa depan ketimbang tenggelam ke masa lalu.
Dikemukakan juga tentang masih kentalnya mentalitas yang menghambat percepatan pembangunan bangsa Indonesia, seperti mentalitas yang meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri sendiri, tidak disiplin, dan tidak bertanggung jawab. Mentalitas ini berlawanan dalam mentalitas untuk mampu mengadaptasi teknologi, yakni mentalitas yang menilai tinggi hasrat bereksplorasi serta mutu dan ketelitian.
Tokoh lainnya yang mengingatkan tentang pentingnya nilai-nilai budaya seperti mentalitas adalah Mochtar Lubis (1922-2004) dalam pidato kebudayaannya “Manusia Indonesia” (1978). Budayawan ini mengemukan stereotipe sifat-sifat manusia Indonesia yang tidak kondusif untuk pembangunan. Sifat-sifat manusia Indonesia itu adalah: munafik, tidak mau bertanggung jawab, berperilaku feodal, percaya pada takhyul, berbakat seni dan lemah karakternya. Stereotipe ini tentu saja tidak semuanya benar, namun tidak juga seluruhnya salah.
Budaya mengandung sistem nilai yang terdiri dari konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Bahwa sistem tata kelakuan manusia, hukum, dan norma-norma berpedoman kepada sistem nilai budaya.
Nation and Character Building
Dalam rangka mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, Soekarno di tahun 1955 mengemukakan pentingnya bangsa Indonesia menanamkan modal-modal dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu: investment of human skill, material investment, dan mental investment. Dalam pandangan Soekarno (1901-1970), investasi manusia dan material amat penting. Tetapi, yang paling penting adalah investasi mental.
Investasi pengetahuan dan material tidak bisa menjadi dasar persatuan dan kemakmuran bersama tanpa didasari investasi mental. Itulah sebabnya, Bung Karno menekankan program nation and character building, mengikis perasaan rendah diri (minderwaardiheidscomplex) untuk memiliki kepercayaan diri (self-confidence), dan berani berkata “ini dadaku, mana dadamu”, berani mandiri dan menghargai diri sendiri. (Yudi Latif, 2014: 555).
Mentalitas Nation and Character Building sangat positif dalam mewujudkan pembangunan bangsa. Hal ini harus dimulai sejak dini dalam dunia pendidikan kewarganegaraan yang juga perlu mendapat dukungan dari agama-agama, mengingat – seperti diungkapkan oleh Karlina Supelli (dosen STF Driyarakara Jakara), istilah ‘mental’ menyangkut cara hidup, cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini, cara berperilaku dan bertindak.
Mentalitas yang mencakup nilai budaya kerap dimaknai sebagai hal yang tidak kasat mata, tetapi sesunguhnya dunia mental itu tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi. Mentalitas berkenaan dengan cara memahami diri dan dunia, bagaimana menampilkan diri dan kepercayaan yang diyakini, seperti cara berpakaian, bertutur, berperilaku, bertindak, bagaimana memandang benda-benda, ritual keagamaan, seni, dan sebagainya.
Untuk itu, pembangunan mentalitas yang sesuai untuk tujuan pembangunan itu bukan semata berkenaan dengan perubahan moral yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti soal-soal struktural ekonomi, politik, dan sebagainya. Ada hubungan integral antara “mental pelaku” dan “struktur sosial” yang terjembatani dengan memahami ‘kebudayaan” (culture), karena kebudayaan merupakan pola cara berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam praktik kebiasaan sehari-hari (practices, habits).
Di dunia nyata tidak ada pemisahan antara ‘struktur’ sebagai kondisi material/fisik/sosial dan ‘kebudayaan’ sebagai proses mental. Keduanya saling terkait secara integral, bersifat dialektis-mutualistis saling memberi pengaruh dan dipengaruhi. Itulah sebabnya revolusi mental harus menjadi gerakan budaya. Agama sebagai sistem nilai budaya sudah sepantasnya mendukung gerakan budaya pembangunan, merubah mentalitas penganutnya dari yang buruk menjadi baik, menumbuhkan nilai revolusi mental seperti: integritas, etos kerja serta gotong royong.
Dalam perspektif Buddhis, perilaku atau tindakan manusia dikenal sebagai karma. Perbuatan masing-masing individu yang mencakup integritas, menyatunya pikiran (mano), vaci (ucapan) dan perbuatan (kaya), sehingga kejujuran dan dapat dipercaya serta integritas diri dapat terbentuk.
Karma berkenaan dengan tindakan dan bukanlah sebuah nasib yang tidak berubah. Karma merupakan sebab-akibat perbuatan yang bersifat dinamis dan menunjukkan bahwa manusia dapat berbuat dan menentukan nasibnya. Perbuatan atau karma itu bermula dari kehendak (cetana) yang berkenaan dengan mentalitas dan kesadaran manusia. Bertindak, berkarma hendaknya menjadi sebuah transformasi diri yang juga berdampak bagi kemajuan sosial dan pembangunan bangsa.
Ada faktor kemandirian, aktivitas dan tanggung jawab dalam karma, yang dapat berimplikasi pada pembentukan sikap profesional. Sikap yang jujur, dapat dipercaya, menumbuhkan etos kerja, solidaritas, kerelawanan maupun perbuatan kebodhisattvaan yang mementingkan kemaslahatan orang banyak. Semua itu berlaku dalam dunia kehidupan modern.
Bisa saja terdapat pemahaman terhadap karma yang dianggap bersifat statis-pasif sebagai nasib-fatalistis. Untuk itu, patut disimak tentang mentalitas yang tidak membuahkan kemajuan dunia dan peradaban manusia serta tidak mendudukung budaya pembangunan sebagaimana disinggung dalam buku “Asian Drama,” Gunnar Myrdal tentang nilai-nilai Asia. (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
sumber gambar: https://www.centili.com/blog/asian-perspective-employing-digital-bundling-in-building-customer-value