Oleh: Jo Priastana
“Hidup di bumi lebih seperti kata kerja. Memperbaiki,
menjaga, menciptakan kembali, dan memenangkannya”
(Lynn Margulis, Ahli Biologi)
Tanggal 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia atau World Environmental Day. Hari Lingkungan ini sangat bermakna bagi kehidupan dunia saat ini, ketika berbagai krisis lingkungan telah menebar ancaman bagi kelestarian bumi. Ada krisis iklim seperti panas yang ekstrim, hujan yang melanda berbagai negara menyebabkan longsor dan banjir, serta banyak lainnya yang disebabkan juga oleh manusia dalam cara hidup dan pandangannya terhadap alam.
Para pakar memandang kepada dunia Timur untuk menemukan nilai-nilai kehidupan yang ramah terhadap alam. Pandangan dunia Timur tentang alam tidak memisahkan manusia dengan alam dan lingkungannya, sepertinya misalnya Buddhadharma yang dikenal sebagai “ecological religion,” yang ajarannya mencerminkan keselarasan terhadap alam.
Buddhadharma yang ramah dengan alam ini merupakan cerminan dari makna kata “Dharma” itu sendiri. Secara etimologi, kata “Dharma” yang bermakna “agama” atau “religion” berisikan tentang “hukum kesunyataan” atau “hukum alam.” Hukum alam yang meliputi apa saja, menyangkut apa pun yang ada di alam ini. (Edward J. Thomas,1953: 219, dan Th. Stcherbatsky,1923:3).
Ecological Religion
Ajaran agama Buddha atau Buddhadharma berkenaan dengan Dharma. “Etymologically, in Sanskrit there is a word dhr, meaning “inside himself” or “contain, bear, sustain itself” – so it is inside “what exist”. “Exist” as mentioned in Anguttara Nikaya, is ontologically grouped in sankhata-dhamma (existence of what’s conditional) and asankhata-dhamma (existence of what’s unconditional).” (Martin Batchelor and Kerry Brown, 1997:7).
Lingkungan hidup bersentuhan dengan alam. Buddhadharma dapat dipandang sebagai sebuah agama yang meliputi apa pun di alam semesta ini dan sangat menghargai keharmonisan dengan alam. Buddhadharma merupakan an ecological religion or a religious ecolocy. (Batchelor and Kerry Brown, 1997: 100).
So, ecology in Buddhism related to deep ecology or deep ecosophy. Menghargai alam sudah sepantasnya tercermin dalam perilaku seorang Buddhis sebagaimana yang terkandung di dalam inti keyakinannya kepada Tri Ratna.
Thich Nhat Hanh menyebut kesatuan Tri Ratna: Buddha, Dharma dan Sangha yang menumbuhkan kejernihan kesadaran sebagai yang mencerminkan keharmonisan dan kesadaran dan menunjuk kepada praktik dharma. Praktik dharma ini berkaitan juga dengan ecology. Ecology not only deep but universal, because there is also pollution in our consciousness. (Batchelor and Kerry Brown, 1997: 102).
“In Buddhism, Sangha is a community that practices harmony and awareness. When there is harmony and awareness to some extent in a community, we call it a Sangha. If the Dharma is there, the Buddha is there too. So, when there is serenity, understanding, knowledge, a good vision of the Dharma, the we can say that Buddha is within Sangha. This is unity of the Jewel of the Three Jewels (Buddha-Dharma-Sangha)”. (Batchelor and Kerry Brown, 1997:101)
Eco-Friendly dan Buddhist Ethic
Dharma sangat bertalian dengan penghormatan terhadap alam. Dalam konteks ini diperlukan praktik-praktik Dharma yang menghargai alam dan kehidupan seperti melakukan dana paramita dengan menanam pohon. Praktik ini dapat dijadikan sebagai sebuah wujud etika kehidupan umat Buddha dewasa ini. Etika Buddhis yang mendasari perwujudan gaya hidup eco-friendly yang merupakan cerminan pandangan kosmosentrisme.
Selain itu upaya-upaya menumbuhkan kesadaran ekologis juga dapat dilakukan dengan menyelenggarakan ragam kegiatan, seperti: menghindari gaya hidup konsumtif, melakukan penghematan energi, mengurangi pembakaran, mengelola sampah, dan lain sebagainya. Pendidikan seperti sekolah-sekolah Buddhis misalnya, memiliki peran strategis untuk menumbuhkan kesadaran ekologis sejak dini.
Bila kita menyelam ke dalam Buddhadharma, maka kita pun akan dapat menyelami dasar dari buddhist ethic tersebut dengan menemukan berbagai ajaran Sang Buddha yang dapat mendukung etika kehidupan eco-friendly. Berbagai ajaran Buddha seperti hukum dependent origination (pratityasamutpada), hukum karma, samsara maupun kelahiran kembali dengan alam-alam kehidupannya yang mencerminkan ketergantungan segenap kehidupan dan kesatuan alam semesta.
Sang Buddha menyatakan bahwa segala apa pun juga di alam semesta ini hadir sebagai suatu akibat dari kondisi sebelumnya yang saling tergantung tanpa sebab pertama dan tanpa adanya suatu permulaan. (Narada Mahathera, 1986: 240).
Majjhima Nikaya mengungkapkan: “When that exists, this come to be; on the arising of that, this arises. When that does not exist, this does not come to be; on the cessation of that, this ceases.” (Narada Mahathera, 1986: 240).
Sementara itu Joanna Macy, seorang aktivis “Engaged Buddhism” Amerika menekankan adanya kedekatan doktrin Buddhis pratityasamutpada dengan konsep modern mengenai ekologi. Ekologi mengandaikan pemahaman tentang kesatuan manusia dengan segenap fenomena di dalam semesta, sebagai kesatuan timbal balik yang tak terpisahkan.
“Joanna Macy have argued for a close congruence between the Buddhist doctrine of dependent origination (pratityasamutpada) and the modern conception ecology. In the Early Buddhist period pratityasamutpada appears to have described the universally applicable rule of causation in which all things are held to come into being in dependence upon specific causes. (Damien Keown., Ed., 2000:124).
Dalam pandangan filsuf Nagarjuna, hukum kesalingtergantungan itu diungkapkan dalam ajarannya tentang emptiness atau sunyata, yang merupakan cerminan ajaran Buddha tentang Tilakkhana: anicca, dukkha, dan anatta.
“As the important Mahayana philosopher Nagarjuna, points out, the temporal flux of causal relations renders all conditioned entities devoid of any self-nature or substantiality. This is the fundamental meaning of the doctrine of emptiness or sunyata.” (David Keown., Ed., 2000: 125).
Untuk itu, dalam rangka menumbuhkan etika kehidupan yang sangat diperlukan dunia saat ini, maka kita dapat bercermin pada Buddhadharma yang memiliki wawasan universal dan mencakup kesalingterkaitan segenap fenomena kehidupan. Buddhadharma mengemukakan kesatuan manusia dengan alam semesta dan sebagai agama yang eco-friendly, ramah terhadap alam dan lingkungan.
“Additional resources for the construction of authentically Buddhist environmental ethics may be drawn from the related doctrines of karma and samsara. The Buddhist wheel of existence, at least as far as sentient beings are concerned (we shall deal with plants later), is divided into five (sometimes six) realms or gates, namely those of the gods (subdivided into the realms of the devas and asuras), human, ghosts, animals and hell beings.” (David Keown., Ed., 2000:118).
Keramahan ajaran Buddha yang terwujud dalam sikap kasih, dan peduli terhadap dalam berbagai bentuk kehidupan. Filsafat yang tidak lepas dari tindakan, dimana ajaran tercermin dalam etika lingkungan yang mendukung kehidupan alam, dan membela kehidupan yang terjerat samsara atas dasar cinta kasih.
The Buddhist doctrine of rebirth provides for an environment ethic. On the one hand it is bound to instill a fellow feeling for sentient beings caught in the beginningless circle of samsara. This general ethical principle is clearly connected with metta-practice. And the example of the Buddha’s pacification of elephant Nalagiri is a good case in point for the metta is employed to eliminate danger to the Buddha himself.” David Keown., Ed., 2000: 120). (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Daftar Pustaka
- Batchelor, Martin and Brown, Kerry., Ed., (1992). Buddhism And Ecology, London:
Cassell Publishers Limited.
- Keown, Damien. (2000). Contemporary Buddhist Ethics. Great Britain: Curzon.
- Keraf, Sonny. (2002). Etika Lingkungan. Jakarta: Gramedia.
- Melvin McLeod, Melvin., Ed. (2007). The Best Buddhist Writing 2007. Boston
London: Shambhala.
- 5. Stcherbatsky, TH., (1923), The Central Conception of Buddhism and The Meaning of
The Word “Dhamma,” London: Royal Asiatic Society.
- Thomas, Edward J., (1953). The History of Buddhist Thought, London: Routledge &
Kegan Paul LTD.
- Narada Mahathera, (1986)., The Buddha and His Teaching, Singapore: The Buddhist
Research Society
***
Sumber gambar: https://theecologist.org/2013/feb/27/faith-ecology