Epilog Cinta Karma Lampau dan Buddhisme

Home » Artikel » Epilog Cinta Karma Lampau dan Buddhisme

Dilihat

Dilihat : 137 Kali

Pengunjung

  • 1
  • 1
  • 89
  • 23,131
7 Epilog Cinta Karma pic

Oleh: Gifari Andika Ferisqo (方诸德)

 

Cinta dapat bertemu kapanpun dan di manapun dimulai dengan perasaan yang begitu kuat di antara keduanya, meski dalam pandangan yang pertama. Ketika masyarakat di belahan bumi barat mengenal dua macam cinta, yaitu eros (kasih manunggal) dan agape (kasih manusiawi), yang berusaha untuk menanamkan kedua jenis cinta tersebut pada sepasang kekasih. Demikian juga dalam pandangan Buddhisme, cinta antara sepasang kekasih tidak semata-mata dipandang sebagai sebuah bentuk lobha (लोभा), namun di balik itu juga ada maître/metta karuna (मैत्री).

Di zaman Buddha bahkan pernah ada cerita mengenai Nakulapita (नकुलपिता) dan Nakulamata (नकुलमाता) yang merupakan sepasang suami istri bucin (budak cinta) yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna (सोतपन), yang menginginkan untuk terus dapat hidup bersama sampai di kehidupan yang akan datang. Cinta mereka tidak semata-mata merupakan lobha (लोभा), cinta yang tumbuh di antara mereka merupakan aspirasi atau kusalachanda (कुसलचन्द) dan harapan postif atau sammachanda (समानछन्द) sekaligus lobha (लोभा). Jadi lobha (लोभा) di sini digunakan sebagai kendaraan untuk sesuatu yang positif berkat kekuatan kusalachanda (कुसलचन्द). Ini juga didukung oleh statement Buddha dalam Shurangama Sutra (शूरङ्गम सूत्रम्) yang berkata, “Engkau mencintai pikiranku (sifatku), aku mencintai ketampanan/kecantikanmu. Oleh karena sebab-sebab dan kondisi tersebut kita melalui ratusan ribu kalpa dalam keterikatan mutual yang terus menerus.”. Statement Buddha ini dalam bahasa sehari-hari kurang lebih artinya, “kita sama-sama saling mencintai, aku ingin kita hidup bersama sampai seterusnya di kehidupan selanjutnya”. Ini adalah salah satu kutipan Sutra yang romantis dalam Buddhisme.

Kekuatan lobha (लोभा) yang membuat seseorang terus bersama-sama, sangat terikat di berbagai kelahiran. Namun apabila lobha (लोभा) tersebut dibarengi dengan kusalachanda (कुसलचन्द), maka kusalachanda (कुसलचन्द) itu akan membuat lobha (लोभा)  – keterikatan – menjadi sarana pembantu kita mencapai Pencerahan Tertinggi, yaitu Samyaksambodhi (सम्यक्षम्बोधि), seperti kisah cinta Pangeran Siddharta (सिद्धार्थ) dan Putri Yasodhara (यसोधर) dalam kehidupan mereka yang berulang kali selama 4 asamkhyeya kalpa (असंख्येय कल्प). Efek negatif dari lobha (लोभा), diubah menjadi sesuatu yang positif dengan kusalachanda (कुसलचन्द).

 

Dilema Jodoh Karma dan Cinta

Jika merujuk pada Tripitaka, kita tidak akan menemukan jawaban langsung mengenai di tangan siapa jodoh itu ditentukan. Namun kita bisa memberikan pendekatan lain yang masih bersumber pada Tripitaka. Kita boleh mengatakan bahwa jodoh itu ada, tetapi yang menentukan adalah diri kita sendiri, karma masa lalu kita sendiri yang mempengaruhi bertemunya jodoh. Buddha pernah berkata bahwa bila pasangan suami istri ingin tetap bahagia bersama di kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya, mereka harus memiliki keyakinan, kemoralan, kedermawanan, dan kebijaksanaan yang setara. Dengan begitu mereka akan terlahir kembali di kehidupan selanjutnya di alam yang sama dan berjodoh. 

Jodoh bisa mempertemukan cinta hingga pelaminan bahkan hingga mati, namun jodoh juga bisa bertemu kembali meski tak harus sebagai pendamping hidup. Kasus seperti ini kalau kita selidiki banyak kita temui di Indonesia, orang yang mereka nikahi bukanlah orang yang benar-benar mereka cintai, umumnya mereka menikah hanya berdasarkan sikap normatif untuk saling menjaga perasaan antar pasangan maupun kedua belah pihak keluarga, juga untuk memenuhi tuntutan sosial di masyarakat bukan berdasarkan murni karena cinta yang mereka miliki. Tidak asing kita mendengar ada cerita ketika seseorang akan menikah secara tiba-tiba mantan pacar, terutama yang memiliki kenangan yang paling indah muncul kembali di hadapan kita, tentu ini bisa menjadi dilema apalagi jika tanggal pernikahan sudah dekat, namun perasaan masih galau karena teringat banyaknya kenangan bersama mantan. Sudah pasti otak dan hati selalu membandingkan mantan dan calon pasangan resmi, kemudian muncul keraguan, ketakutan, stress, sedih, ingin menangis dan menjadi lebih sensitif. Salah satu godaan yang cukup besar memang biasanya ketika ada seseorang dari masa lalu datang kembali ke kehidupan masa kini.

Bisa jadi orang yang benar-benar ingin dinikahi adalah mantan yang memiliki kenangan terindah namun keadaan tidak memungkinkan itu terjadi sehingga terpaksa memilih untuk menikahi pasangan saat ini secara normatif supaya menjaga situasi tetap kondusif dan kehidupan pribadinya lebih tenang meski ada yang harus dikorbankan. Itu terjadi karena mantan dinilai lebih mengenal dan mengetahui seluk-beluk dari diri kita dari pada pasangan saat ini, karena tentu sudah mengenal kita lebih lama, sehingga membuat kita merasa lebih nyaman. Meski ada juga yang tetap nekat dan memutuskan untuk menikahi mantan dan menyakiti pasangan saat ini, namun dengan konsekuensi umumnya diberi sanksi sosial dan keluarga, belum lagi ditambah rasa malu keluarga dari kedua calon mempelai.

Perlu diketahui, kita juga harus sadar bahwa mencintai seseorang bukan berarti kita juga harus memilikinya dan meyakini bahwa mantan dengan kenangan terindah adalah jodoh kita yang sebenarnya, jika masih berpikir seperti itu maka yang muncul hanyalah lobha (लोभा) yang akan menimbulkan kebodohan atau moha (मोह) sehingga bisa bertindak gegabah. Masih banyak orang yang salah paham mengenai konsep jodoh, mudahnya jodoh adalah pertemuan. Seringkali jodoh dimaknai sebagai seseorang yang akan menjadi pasangan kita seumur hidup. Jodoh bukanlah masalah orangnya tetapi pertemuannya, contohnya seperti ini, ketika kita berpapasan dengan orang asing di jalan, bertatap muka lalu saling melempar senyum, maka kita itu berjodoh. Interaksi itulah yang disebut jodoh apapun bentuk interaksinya.

Saya pun juga baru saja memiliki pengalaman mengenai ini ketika saya dan pacar memutuskan akan menikah dalam beberapa waktu ke depan. Mulai muncul godaan menjelang rencana pernikahan. Saat saya akan booster vaksin ketiga di salah satu mall di Jakarta Selatan, pada saat giliran saya yang akan disuntik vaksin ternyata dokter yang mengecek tensi darah saya adalah mantan pacar saya saat SMA, sontak kami sama-sama kaget dan ia pun tetap bersikap profesional dengan tugasnya. Sebenarnya saya tahu ia akan menjadi dokter karena itu cita-citanya sejak SMA, dan mantan saya bukanlah Tionghoa tetapi orang Manado (Minahasa)-Belanda-Yahudi. Semula kami canggung ketika ia menyebut nama lengkap saya dan sambil mengecek tensi darah saya, kemudian ia sedikit bertanya, “kamu abis ini mau ke mana?”, saya hanya memberi ‘kode’ bahwa saya tidak datang sendiri dan kemudian kami sama-sama mengerti. Kami memahami bahwa ada masa lalu yang belum selesai dan terus berlarut, dan yang jadi masalah adalah keraguan saya untuk berinisiatif menuntaskan itu.

Akan tetapi kejadian dan kenangan itu sudah berlalu lama dan saya juga sudah belajar banyak untuk menempa mental saya supaya lebih baik, dan telah sedikit belajar mengenai filsafat cinta dalam Buddhisme yang mestinya saya menjadi lebih matang. Itu membuat saya untuk saat ini secara mental menjadi lebih siap untuk mengirimkan undangan pernikahan saya ke rumahnya suatu saat nanti dan juga siap jika kami sama-sama menangis. Karena sudah sedikit belajar tentang filsafat cinta Buddhisme sedikit banyak membuat saya bisa mengurangi kemelekatan dan berniat menyelesaikan masa lalu saya.

 

Kesimpulan

Perasaan pernah mengenal seseorang di kisah cinta sebelumnya atau berbagi perasaan dan intuisi yang intens dengan mantan tidak terbatas pada satu orang. Cinta sejati tidak muncul begitu saja, itu adalah perasaan yang dibangun melalui inkarnasi yang tak terhitung banyaknya di beberapa kali kehidupan, sebuah proses evolusi di mana dalam kehidupan dua orang saling membantu diri mereka sendiri dan tumbuh bersama.

Dalam filsafat Buddhisme, cinta sejati adalah juga menjadi bahagia untuk orang lain. Seharusnya tidak ada kecemburuan sama sekali, hanya ada suka cita pada kesejahteraan orang lain. Cinta harus seimbang dan sederajat sehingga tidak mengganggu jiwa dan berubah menjadi ketergantungan. Jika cinta tidak memiliki karakteristik seperti itu, Buddhisme akan menyimpulkan itu hanya proyeksi egois dari kebutuhan kita sendiri. Cinta menurut ajaran Buddha tidak ada habisnya, karena energi yang diberikan kepada kita berasal dari kosmos, dan bukan dari diri kita sebagai individu.

Cinta seharusnya tidak pernah memaksa kita untuk melekatkan diri pada orang lain, yang dapat menyebabkan penderitaan. Kita tidak perlu melekatkan diri kepada siapapun untuk mempraktikkan cinta sesuai dengan filsafat Buddhisme, karena itu tidak mungkin. Tidak ada yang tetap di satu tempat selamanya, karena semuanya berubah, tidak kekal.

Perlu disadari juga, kita tidak akan selalu berkumpul dengan orang yang paling dekat hubungannya dengan keberadaan kita, terutama dengan mantan kekasih. Kita mungkin memutuskan untuk menikah dengan orang yang kurang terikat dengan kita dari pada mantan kita, tetapi positifnya ada sesuatu yang dapat kita pelajari dari mantan dan pasangan kita saat ini atau sesuatu yang dapat kita ajarkan kepada mereka. Kalau berjodoh pasti bertemu, entah yang duduk di bangku pelaminan atau sebagai tamu undangan, atau kelak akan bersama di kehidupan berikutnya jika tidak di kehidupan ini.

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Daftar Pustaka

  •  1883. The World as Will and Idea, 3 Vols., translated by R. B. Haldane and J. Kemp. London: Routledge and Kegan Paul Ltd.
  • Freud, Sigmun. 2017. Cinta yang Tak Semestinya. Surabaya. Ecosystem Publishing
  • Tresider, Megan. 2009. The Languange of Love and Passion, Anatomi, Bahasa dan Filosofi Cinta. Surabaya. Selasar publishing
  • Fromm, Erich. 2014. The Art of Loving. Gramedia Pustaka Utama. 
  • Amitabha Buddhist Society Singapore. 2016. The Surangama Sutra., translated by Upàsaka Lu Kuan Yu. Singapore: Buddha Dharma Education Association Inc.
  • Sumber gambar: https://www.google.com/amp/s/www.tabloidbintang.com/amp/film-tv-musik/185351-sinopsis-legenda-cinta-pendekar-rajawali-antv-tayang-perdana-8-mei-2023
Butuh bantuan?