Etika Mencius dan Kekerasan Seksual Orang Terpelajar di Kampus

Home » Artikel » Etika Mencius dan Kekerasan Seksual Orang Terpelajar di Kampus

Dilihat

Dilihat : 108 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 5
  • 31
  • 25,991

Oleh: Jo Priastana

 

“Orang berpendidikan haruslah rasional, selalu mengedepankan akal sehat, cinta akan kesederhanaan dan pengekangan diri, serta tidak menyukai keekstreman logika”

 (DR. Lin Yu-tang, 1895-1976)

 

Sepanjang hidupnya, Konfusius (551-79 SM) dikenal sebagai guru etika dan moralitas. Guru ini mengajarkan mengenai moralitas, tata susila, etika dan sifat-sifat mulia manusia yang sangat penting bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Baginya, masyarakat yang sejahtera adalah pancaran dari ketertiban moralitas yang berkembang dalam diri setiap manusia, dan penegakkan etika moralitas itu diharapkan dari orang yang terpelajar, orang yang terdidik.

 Moralitas itulah yang menjadikan manusia pantas disebut terpelajar, dan karenanya orang terpelajar sangat didambakan Konfusius, karena melalui orang terpelajar itulah masyarakat, bangsa dan negara akan tumbuh dengan baik. Konfusius sendiri sangat dikenal sekali sebagai seorang Guru, seorang pendidik, seorang yang sangat menghargai pendidikan, orang terpelajar yang beretika bermoralitas. Konfusius: “Orang-orang terpelajar dan orang-orang yang memiliki moralitas tidak akan hidup dengan merusak moralitasnya. Mereka akan mengorbankan dirinya untuk menjaga keutuhan moralitasnya.” (Lun Yu XV/8).

Bila representasi ajaran Taoisme jatuh dalam sosok dan tokoh yang bernama Chuang Tzu, maka representasi dari Konfusiaus dengan segenap ajarannnya ada pada sosok dan tokoh yang bernama Men Cius hidup 300 tahun setelah Konfusius. Mencius atau Mengzi (327-289 SM), filsuf Tiongkok, yang disebut sebagai filsuf penerus etika dan moralitas dari yang diajarkan dan didambakan oleh Guru Kung, atau Konfusius. Etika dan moralitas dalam diri orang yang terpelajar yang menjadi harapan dan teladan masyarakat, bangsa dan negara.

 

Kekerasan Seksual Orang Terpelajar

Lalu, bagaimana bila etika dan moralitas ini justru tidak tercermin dalam diri orang terdidik dan terpelajar itu? Pelecehan seksual sebagaimana yang banyak disinyalir akhir-akhir ini mengenai maraknya kekerasan dan pelecehatan seksual di kampus. Kampus yang tentunya berada dan berkumpul orang terpelajar, orang-orang yang mengetengahkan rasionalitasnya, cerdas, rendah hati, arif dan bijaksana yang sepantasnya mampu mengekang diri, tidak menghumbar hawa nafsunya dan tidak merusak moralitasnya.

Tentu Konfusius dan Mencius akan sangat bingung bila mengetahui kalau orang terdidik yang sepantasnya beretika dan bermoralitas itu nyatanya justru melakukan pelanggaran etika dan moral dengan melakukan pelecehan seksual. Tetapi fenomena kekerasan dan pelecehan seksual di kampus yang dilakukan oleh orang terpelajar nyatanya memang terjadi dan disinyalir begitu marak sebagaimana ditunjukkan data-data di bawah ini.

Sulistyowati Irianto (dosen Fakultas Hukum Universtas Indonesia) dalam kolom opini KOMPAS 26 Maret 2021 yang berjudul “Kekerasan Seksual di Kampus” menunjukkan data bahwa kasus kekerasan seksual di kampus sejak 2019 terdapat 174 kasus di 79 kampus di 29 Provinsi. Pelakunya dosen, mahasiswa, staf, tokoh agama di kampus, dokter klinik di kampus, dan warga lain. Peristiwa kekerasan seksual tersebut terjadi di dalam dan di luar kampus, seperti lokasi KKN, tempat magang, dan acara kemahasiswaan. Korban 96 persen mahasiswa 20 persen tidak melapor dan 50 persen tidak menceritakan kepada siapa pun. Kasus yang tidak dilaporkan tenggelam dalam gunung es. Kasus kekerasan di kampus juga bersembunyi dalam Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) karena pelaku melakukannya secara digital.

Laporan KBGS ke Komnas Perempuan naik dari 241 kasus (2019) ke 940 kasus (2020). Laporan KBGS dari lembaga layanan juga naik dari 126 kasus (2019) ke 510 kasus (2020). Kekerasan seksual di kampus terkonfirmasi dari laporan Komnas Perempuan tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) di ranah komunitas atau publik, yaitu 21 persen atau 1731 kasus (2021). Paling banyak memang kekerasan seksual, yaitu 55 persen atau 962 kasus, pelecehan seksual (181 kasus), pencabulan (166 kasus), dan sisanya percobaan pemerkosaan. Sementara 79 persen KTP di ranah privat, seperti kekerasan dalam rumah tangga (49 persen), dan sisanya kekerasan dari bekas suami serta pacar dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Fenomena ini berkaitan dengan relasi sosial, sistem dan etika sosial, serta moral persahabatan.

Fenomena itulah yang menjadikan Mas Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim sampai mengusulkan dan mengajukan peraturan untuk pencegahan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus atau perguruan tinggi. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Permendikbudristek PPKS yang di tandatangani oleh Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim ini kini sedang ditangani tim yudisial Mahamah Agung. (Kompas, 30/3/2022).

 

Etika Mencius Mencegah Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual bertentangan dengan moral etika yang berkenaan dengan kebaikan. Mencius mengemukakan bahwa etika mencerminkan kesesuaian dengan Tao (sebagai jalan kebajikan yang sesungguhnya), yaitu persahabatan dengan kebajikan, dapat dipercaya dalam persahabatan, dan mendorong seseorang untuk kebaikan. Etika yang dikemukakan Mencius ini pada dasarnya sangatlah penting dan relevan dalam mengatasi kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus oleh orang-orang terpelajar.

Kekerasan seksual menyangkut relasi antara manusia, relasi sosial terutama di lingkungan kampus yang mana pergaulan sosial dari segenap civitas akademik itu tumbuh dengan harmonis saling mendukung satu sama lain, sebagaimana makna pendidikan itu sendiri sebagai sarana pertumbuhan insan manusia dalam segenap aspeknya, baik kognitif, afektif, moralitas dan etika. Mencius, pemikir besar Konfusius mengingatkan pentingnya membangun relasi interpersonal yang harmomis dan ramah melalui kerukunan di tengah masyarakat.

Sebagaimana Konfusius, Mencius juga ingin mengatur relasi sosial yang bersandar pada moralitas sistem etika dan sosial. Sistem moralitas dan etika ini berpegang pada Tao sebagai inti kebenaran dan kebajikan, keteraturan tertib semesta dan tertib sosial. Dalam persahabatan sebagai relasi sosial tidak dibenarkan berdasarkan kekuasaan dan tidak boleh ada diskriminasi baik berdasarkan usia, gender, kedudukan dalam organisasi maupun status sosial. Ketika berinteraksi berdasarkan prinsip etis, seperti: persahabatan dengan kebajikan, dapat dipercaya dalam persahabatan, dan mendorong seseorang untuk kebaikan.

Dalam pandangan penerus ajaran Konfusius ini, prinsip itu harus berlaku bagi siapa saja terutama kaum terdidik untuk mewujudkan ajaran tentang Watak Sejati (Xing)  manusia yang memiliki sifat bajik dari Tian, yakni berupa Cinta Kasih (Ren), Kebenaran (Yi), Li (Susila). Bijaksana (Ti) dan dapat dipercaya (Ti). Setiap manusia dikaruniai dengan Wu Chang (Lima Kebajikan) itu, dan karenanya perilaku manusia seharusnya mencerminkan Watak Sejati (Xing) itu.

Mencius beranggapan bahwa pada dasarnya manusia memiliki perasaan atau hati nurani yang sama, tetapi karena pengaruh lingkungan maka Watak Sejati (Xing) yang bersifat bajik tadi bisa dirusak oleh keadaan lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu menjadi kewajiban setiap insan untuk selalu memelihara dan merawat Watak Sejatinya agar selalu memancarkan sifat-sifat baik. 

 Mencius sendiri dalam kehidupannya sering melakukan pembicaraan dengan para Raja atau penguasa pada masa itu untuk meyakinkan mereka agar menjadi pemimpin yang benar dan bermoral, karena seorang Raja atau pemimpin itu dipercaya mendapatkan mandat dari Tian (Langit) atau disebut dengan Tian Ming. Dia harus bertindak sebagai ayah bunda rakyatnya, dan ditegaskannya pula bahwa: “Tuhan melihat seperti halnya rakyat melihat, dan Tuhan mendengar seperti halnya rakyat mendengar”.

 

Langit Tahu Bumi Menjerit

Kampus adalah lingkungan akademis, orang-orang terpelajar yang seharusnya menjaga, merawat moralitas dan etika dan menumbuhkan calon-calon pemimpin masa depan yang sungguh-sungguh memiliki Watak Sejati (Xing). Namun, bagaimana bila ternyata, orang-orang yang katanya terdidik terpelajar di lingkungan kampus yang memiliki mandat mendidik untuk menghasilkan generasi masa depan yang baik sebagai calon-calon pemimpin justru menjadikan lingkungannya tercemar oleh ulah tindak tanduknya yang tidak beretika dan bermoral.

Para guru, para dosen harus bertindak sebagai ayah bunda bagi para anak didiknya, mahasiswa-mahasiswanya. Mereka kaum terdidik dan terpelajar yang seharusnya menjaga dan merawat etika, menumbuhkan Watak Sejati (Xing) anak didik, dan bila ternyata tidak mampu bersikap demikian, maka “langit pun akan tahu, bumi pun akan menjerit”. Seharusnya etika dan moralitas saja sudah sepantasnya bagi pertumbuhan suasana lingkungan kampus karena terdiri dari orang-orang terdidik dan terpelajar.

Tetapi bila ternyata moralitas dan etika sudah tidak tercermin pada orang-orang yang katanya terdidik dan terpelajar, maka amatlah benar dan sangat perlu serta relevan sekali bila Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim mencetuskan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS). Tentunya peraturan ini akan dan wajib didukung masyarakat untuk disahkan menjadi undang-undang demi keselamatan anak-anak kita semua.

Hati orang tua mana yang tidak tergetar dan merasakan sakit bila anaknya yang dititipkan untuk menjadi orang terdidik dan terpelajar, bersekolah di lingkungan kampus pada akhirnya harus menerima kenyataan anaknya ternista dan tercemar justru oleh mereka yang memperoleh kepercayaan dan mandat dari dewa pendidikan, dari langit kebenaran dari Tao yang suci. Langit tahu, bumi tahu, dan semua orang pun jadi tahu, dan dimanakah rasa hormat, rasa malu dan rasa salah itu harus disembunyikan lagi? Bila moralitas dan etika telah tiada mari kita ciptakan hukum untuk kebersamaan kita, dan agar kehidupan dan kewarasan tetap terjaga! (JP).

 

  • REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
  • REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH).
  • SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor).

Bacaan:

Irianto, Sulistyowati. “Kekerasan Seksual di Kampus,” Kompas, 26 Maret 2021, hlm.6.

Lambert, Andrew, “Impartiality, Close Friendship and Confucian Tradition.” Comparative Philosophy. Vol.8, No. 1 (2017), hlm. 205-228.

Lu, Xiufen. “Rethinking Confucian Friendship.” An International Journal of the Philosophical Traditions of the East. Vol. 20, No.3 (2010). Hlm. 225-245.

Mencius. The Life and Teachings of Mencius: The Chineses Classics Vol 2. Penerj. James Legge. London: N. Trubner, 1875.

Yu-Lan, Fumg. Short Histiry of Chinese Philosophy. New York: The Macmilan Company, 1996.

YohanesWahyuPrasetyo OFM, “PersahabatanMenurut Mencius,” dalam JPIC-OFM 24/03/22 dan Majalah GITA SANG SURYA, Vol, 17 No.1 (Januari-Februari 2022), hlm. 33-36.

Wikipedia, Mencius, (40422).

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/7d/Half_Portraits_of_the_Great_Sage_and_Virtuous_Men_of_Old_-_Meng_Ke_%28%E5%AD%9F%E8%BB%BB%29.jpg

 

 

 

Butuh bantuan?