Eufemisme, Budaya Musavada (मुसवद) dan Permainan Kata-kata

Home » Artikel » Eufemisme, Budaya Musavada (मुसवद) dan Permainan Kata-kata

Dilihat

Dilihat : 99 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 16
  • 271
  • 82,519
Pic 3 Eufemisme

Ditulis oleh: Gifari Andika Ferisqo (方诸德)

 

Kejujuran adalah sifat yang terkait dengan sikap mental yang positif, terutama berkaitan dengan kualitas seseorang dalam berbicara. Namun ada kalanya saat menyampaikan sesuatu, seseorang selalu berusaha agar pendengarnya menerimanya dengan baik. Salah satu gaya yang sering digunakan dalam bahasa adalah eufemisme. Sebagian besar orang percaya bahwa eufemisme memainkan peran penting dalam menjaga hubungan dan interaksi sosial tetap selaras. Eufemisme adalah majas (gaya bahasa) yang digunakan untuk mengganti kata atau ungkapan yang kasar dengan kata atau ungkapan yang lebih halus. Dengan menggunakan eufemisme, seseorang dapat dianggap menyampaikan pesan dengan cara yang lebih bermoral, sopan, dan santun. Dalam bahasa, eufemisme digunakan untuk menggantikan kata-kata yang dianggap menghina, menyinggung perasaan, atau mengesankan sesuatu yang tidak menyenangkan. Misalnya (Red):

  • “Anak bapak belum waktunya naik kelas” (Kata belum waktunya menggantikan kata bodoh yang merupakan makna sebenarnya sehingga ia tidak bisa naik kelas).
  • Genangan air di musim hujan itu wajar ada, asal bisa surut sudah cukup baik” (Kata genangan air menggantikan kata banjir).
  • Mencari kandidat maksimal 25 tahun, dan siap bekerja di bawah tekanan” (25 tahun dan siap bekerja di bawah tekanan berarti perusahaan mencari kandidat yang siap di bayar murah, belum banyak mengerti dunia kerja, dan mau kerja dengan ekstra).
  • Mereka bukan di PHK, cuma dirumahkan sementara sampai manajemen kembali bisa memulihkan perusahaan” (Kata Cuma dirumahkan sementara, bisa berarti PHK hanya diperhalus dan diulur-ulur sampai waktu yang tidak ditentukan)

Dengan menggunakan eufemisme, pengertian suatu kata dapat mengaburkan maksud seseorang. Untuk tujuan tersebut, eufemisme menjadi sesuatu yang melekat terhadap suatu etnis, suku, masyarakat hingga penguasa atau pemimpin negara. Selain itu, fenomena kebahasaan yang menggunakan eufemisme sangat mungkin terjadi ketika paradigma kekuasaan adalah stabilitas politik dan ekonomi. Mengkritik halus atau menyindir seseorang adalah salah satu cara untuk menggunakan gaya bahasa eufemisme atau kelompok tertentu secara tidak langsung, dengan menggunakan bahasa simbol yang mencegah serangan terhadap orang lain. Menyindir secara halus, termasuk umum dilakukan oleh orang Jawa terkait latar belakang budaya yang menjunjung sopan santun dalam berbicara dan bertindak. Bahasa dianggap penting bagi orang Jawa, dan dibagi menjadi tingkatan berdasarkan kesopanan berbicara, yaitu ngoko (kasar), krama (menengah), dan krama inggil (halus). Ini menunjukkan bahwa berbicara dengan orang yang lebih tua atau teman sebaya akan berbeda dari berbicara dengan orang yang lebih tua. Cara berbicara ini juga diajarkan sejak kecil, baik di rumah maupun di sekolah dasar. Akibatnya, budaya inilah yang membuat orang-orang Jawa terlihat sangat halus dalam berbicara dan terbiasa dengan budaya eufimisme tanpa mereka sadari.

Proses pembentukan gaya bahasa eufemisme pada orang Jawa dapat dibagi dalam empat bentuk. Pertama, ekspresi figuratif (figurative expressions), yang menghaluskan kata dengan melambangkan sesuatu yang lain; kedua adalah pembiasan (flippancy), menghaluskan kata yang maknanya di luar pernyataan; dan ketiga, berbelit-belit (circumlocution), yang menghaluskan kata dengan menggunakan kata yang lebih panjang dan tidak langsung. Keempat, bentuk ungkapan yang melebih-lebihkan (hyberbole). Alasan gaya bahasa eufemisme pada orang Jawa umumnya diorientasikan berdasarkan kapasitasnya dan disebabkan setidaknya oleh lima alasan, yaitu, melindungi diri sendiri, menggambarkan diri sendiri, menyindir atau kritik halus, menghindari ketakutan, dan keinginan untuk mencapai atau mempertahankan sesuatu. Gaya bicara eufemisme khas Jawa cenderung menjaga keselarasan dalam berhubungan dan tidak suka berkonfrontasi.

 

Asingnya Terhadap Guilt Culture (Budaya Bersalah)

Guilt culture atau budaya bersalah dan mau mengaku secara terus terang yang berarti seseorang harus mengakui jika berbuat kesalahan dan akan dihormati di masyarakat jika melakukan itu. Dalam guilt culture kejujuran tidak hanya dalam skala kecil, tetapi telah berkembang menjadi etika sosial, sehingga pemerintah dan masyarakat harus bersikap jujur secara merata. Berbeda dengan eufemisme yang merupakan sub-budaya dari shame culture (budaya malu), yang berarti orang cenderung menyembunyikan kesalahan agar reputasinya tetap baik di masyarakat, dan akhirnya orang menutupi kesalahan sehingga mereka tidak perlu bertanggung jawab.

Mungkin di kalangan orang Jawa, ada shame culture yang tidak asing dengan istilah menghormati seseorang dengan “mikul dhuwur, mendhem jero”. Pepatah ini mengatakan bahwa kebaikan orang yang sudah meninggal dihormati, sedangkan keburukannya disembunyikan atau setidaknya tidak dibicarakan. Celakanya, jika berpikiran seperti itu tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain, meskipun tidak bersalah, tetap akan malu jika orang lain merasa pihak yang dituding bersalah. Ini berbeda dengan guilt culture yang menganggap bahwa jika tidak bersalah, kita hanya perlu membela diri kita sendiri, jika bersalah, akui dan perbaiki, daripada terus mencari pembenaran dengan permainan kata-kata.

 

Gaya Newspeak; Membudayakan Kebohongan

Praktik komunikasi sehari-hari orang Jawa selalu menggunakan eufemisme dengan berbagai tujuan berdasarkan konteksnya, dan membudaya hingga penggunaan eufemisme ke tingkat yang lebih tinggi seperti penguasa atau pemimpin negara. Misalnya, selama pemerintahan Orde Baru, eufemisme sering digunakan oleh pemerintah, bahkan terlihat terlalu banyak. Itu adalah tujuan politik rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto untuk menghindari perpecahan masyarakat. Dalam kasus ini, bahasa yang digunakan oleh pemerintah Soeharto bertujuan untuk membentuk persepsi publik tentang kebijakan negara. Ini dipengaruhi oleh latar belakang dari Soeharto itu sendiri yang berasal dari etnis Jawa yang mengutamakan unggah-ungguh basa yang mengutamakan tata bicara. Pembiasaan unggah-ungguh basa Jawa merupakan salah satu cara untuk mengubah pola pikir, sikap dan perbuatan di khalayak umum yang selaras dengan eufemisme. Budaya ini sebanding dengan penggunaan bahasa seperti pada novel karya George Orwell berjudul Newspeak yang terbit pada tahun 1984, yang digunakan untuk menghilangkan gagasan yang tidak diinginkan seperti pemberontakkan atau kritik terhadap pemerintah. Ini menunjukkan bagaimana bahasa dapat berfungsi sebagai alat politik yang kuat untuk memegang kekuasaan dan mengontrol kebebasan berpikir.

Dengan menggunakan eufemisme seperti dalam novel Newspeak, mengubah kata atau frasa dengan makna yang lebih luas dan indah. Penggantian dapat mengaburkan pesan yang ingin disampaikan, untuk tujuan tersebut, eufemisme telah menjadi sesuatu yang melekat terhadap penguasa atau pemimpin negara. Selain itu, fenomena kebahasaan yang menggunakan eufemisme sangat mungkin terjadi ketika paradigma kekuasaan adalah stabilitas politik dan ekonomi. Penggunaan gaya bahasa eufemisme terbaru di kalangan pejabat Indonesia saat ini sangat melekat pada Presiden Jokowi dan menarik untuk dipelajari karena latar belakang pencitraannya.

Sebagai kepala pemerintahan yang berasal dari kalangan sipil dan berbudaya Jawa yang kuat, Jokowi dianggap memiliki banyak karakteristik unik dalam menjalankan kepemimpinannya, termasuk gaya bahasanya yang unik dalam menyampaikan sikap dan pernyataan resminya. Gaya bahasa eufemisme yang digunakan dalam pernyataan resminya menarik untuk dipelajari untuk mengungkap karakteristik pemerintahannya terutama sebagai strategi yang digunakan untuk menghindari perhatian yang berlebihan dari masyarakat, seperti saat menetapkan kebijakan yang tidak populer atau kebijakan yang dapat menghasilkan pro dan kontra. Contohnya adalah istilah-istilah seperti “stabilitas nasional”, “pembangunan”, “penertiban”, dan bukan menjajah/menaklukkan tapi ”menyatukan” Nusantara sebagai eufemisme untuk kebijakan-kebijakan represif. Inti dari eufemisme adalah memperhalus kata-kata tetapi maknanya tetap, malah terkadang kata-katanya sederhana tetapi makna jauh bedanya mungkin karena faktor literasi yang rendah seperti “pasir tidak sama dengan sedimen”, “nebeng tetapi yang nebengin tidak ikut”, atau “sudah tetapi belum”, dan lain sebagainya yang intinya membuat bias maknanya di masyarakat sehingga bisa diduga untuk terus membodohi dan membohongi masyarakat.

 

Konklusi

Efek samping dari buruknya budaya ini adalah menimbulkan sub-budaya baru di masyarakat yaitu, confirmation bias (konfirmasi bias), di mana seseorang lebih cenderung mempercayai informasi yang mendukung keyakinan yang sudah dimilikinya, di mana informasi yang diulang-ulang dianggap benar meskipun tidak ada bukti yang mendukungnya ataupun bukti yang ditemukan hanyalah berupa cherry picking data (satu data seolah menggambarkan semuanya). Selain itu, istilah bubble filter dan echo chamber juga untuk menggambarkan lingkungan di mana orang hanya terpapar pada informasi yang sesuai dengan pendapat mereka, yang meningkatkan kecenderungan untuk percaya informasi yang cenderung salah.

Kejujuran dalam penggunaan kata-kata sehingga tidak terjadi pembiasan makna menunjukkan orang yang memiliki moral tinggi dan membuat orang yang mendengarnya menjadi lebih sadar dan tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya dan mungkin saja berpotensi mencegah tindakan yang bersifat moha (मोह) atau kebodohan pada masyarakat luas. Karena jika berbicara benar atau selalu mengatakan yang sebenarnya tanpa memanipulasi kata atau kalimat, dan tidak berbohong atau musavada (मुसवद) dengan eufimisme yang dibudayakan demi kepentingan pribadi atau kelompoknya, pikirannya menjadi tenang dan nyaman, tidak takut atau cemas, dan dapat berinteraksi dengan sewajarnya karena tidak ada yang ditutupi.

Mekanisme seperti ini yang mengutamakan kejujuran meskipun ‘pahit’ di depan sebenarnya juga bisa ditelusuri dari sistem politik meritokrasi yang berakar dari filsafat Konfusianisme (儒家). Bahkan dalam kitab Lún Yǔ (论语) atau Sabda Suci, Guru Agung Konfusius (先知) pernah berkata, “sulit sekali merealisasikan apa yang sudah diomongkan”. Maka berangkat dari premis tersebut Guru Agung Konfusius (先知) juga menekankan sebagai pemimpin untuk menyesuaikan kata-kata yang diucapkan dengan tindakan yang sedang dilakukan dan malu jika perkataannya melampaui perbuatannya, dan dalam Lún Yǔ (论语) juga Guru Agung Konfusius (先知) menyerukan untuk menghentikan perbuatan bodoh berupa pemelintiran dalam bentuk apapun termasuk dalam kata-kata yang bergaya eufemisme yang lama-kelamaan bisa membudaya menjadi kebohongan yang dinormalisasi.

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Daftar Pustaka

  • 2017. Manipulasi Realitas Melalui Eufemisme Bahasa dalam Berita Politik Koran Tempo. Metalingua, 15 (1), 87–102.
  • Astuti, Amelia Yuli. 2016. Eufemisme Bahasa Pendukung Capres RI Tahun 2014 Dalam Akun Facebook: Kajian Sosiopragmatik. Tesis. Padang: Universitas Andalas.
  • C Ren, Hao Yu. 2013. Euphemism From Sociolinguistics Perspective. Studies in Sociology of Science, 4, (4), 45-48.
  • Roosa, J. 2006. Pretext for mass murder: the September 30th movement and Soeharto’s coup d’état in Indonesia. University of Wisconsin Press.
  • Wardhaugh, Ronald. 2002. An Intoductions to Sociolinguistics. Massachusetts: Blackwell Publishers Inc.
  • Yao, Xinzhong. 2000. An Introduction to Confucianism. Cambridge University Press: Cambridge, UK.
  • Anggawati, L, dan Wena, C. 1996. Majjhima Nikaya. Diterjemahkan dari: The Middle Length Discourses Of The Buddha. Klaten: Vihara Bhodhivamsa, Wisma Dhammaguna.
  • Gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHV-xo6SufrtEnisHfzvRQY_ArLUS7Jy0Ze5J-9LEbx82TXaQhOxi3udTyoYgADn2UCciYcGXpvc6msd5kfz7-vu9DAoXN7yGVBpHk9_KP3qFNV1bOxn0q3sQvvGMXRjtzwAW6ghVOk3NC/s1600/Komunikasi.jpg. Diakses 2 Oktober 2024.

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?