Evolusi Feodalisme: Binatang yang Bisa Berbicara

Home » Artikel » Evolusi Feodalisme: Binatang yang Bisa Berbicara

Dilihat

Dilihat : 30 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 86
  • 129
  • 59,870
Pic 3 Evolusi Feodalisme

Oleh: Gifari Andika Ferisqo 方诸德

 

Ahli psikologi Prancis Alfred Binet pertama kali membuat Tes Intelektual, juga dikenal sebagai IQ (Intelligence Quotient), pada tahun 1905. Pemerintah Prancis meminta Alfred Binet untuk menilai kemampuan mental anak-anak yang membutuhkan bantuan pendidikan khusus. Tes IQ adalah ujian yang dirancang oleh Alfred Binet dan rekannya Theodore Simon untuk mengukur kemampuan anak-anak dalam berpikir, memecahkan masalah, dan berbicara. Semula, ujian ini hanya digunakan untuk mengukur tingkat keterbelakangan mental anak-anak dan menentukan kebutuhan pendidikan mereka. Tapi dengan waktu, tes IQ menjadi lebih populer dan sekarang digunakan untuk mengukur kecerdasan dan kemampuan kognitif pada berbagai kelompok usia.

Lalu berapa rata-rata nilai IQ pada orang Indonesia? Menurut penelitian yang dilakukan oleh Richard Lynn dan David Becker pada tahun 2019, rata-rata IQ orang Indonesia adalah 78,49 yang merupakan tingkat IQ paling rendah di Asia Tenggara. IQ mencerminkan tingkat kecerdasan seseorang, keterjangkauan dan kualitas pendidikan, serta kualitas sumber daya manusia. Angka 78,49 menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia memiliki IQ rendah atau keterbelakangan mental.

Memperkuat kehidupan negara adalah salah satu tujuan kemerdekaan, dan pemerintah harus memprioritaskan ini sebagai penyelenggara negara. Semakin cerdas seseorang, semakin besar peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, masyarakat semakin terbuka untuk memainkan peran penting dalam kehidupan negara dan sosial. Dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Namun, tidak semua pihak mau masyarakat menjadi pintar. Dengan tingkat IQ yang rendah, tentu akan sangat menguntungkan bagi sekelompok individu yang cerdas untuk memanfaatkannya. Mudah diyakinkan (dibohongi), murah, mudah diinstruksikan, dan mudah digiring. Karena kecerdasannya yang rendah, ukuran IQ 70-an membuatnya sulit untuk berpikir dengan nalar.

 

Memelihara Kebodohan dan Kemiskinan

Sebenarnya, hubungan antara kebodohan dan kemiskinan adalah ‘mainan yang enak’ bagi politikus. Kemiskinan sering digunakan oleh politikus sebagai alat untuk mendapatkan dukungan, mempertahankan kekuasaan, atau bahkan menggulingkan pemerintahan. Mereka percaya bahwa masalah kemiskinan yang ada di masyarakat merupakan salah satu elemen penting dalam rencana politiknya. Ini sejalan dengan pendapat wartawan Italia Antonio Gramsci dari abad ke-19 yang mengatakan bahwa politikus yang ingin berkuasa harus dapat menemukan dan memperjuangkan masalah yang penting bagi rakyat, seperti kemiskinan.

Kemiskinan di Indonesia adalah komoditas sekaligus masalah struktural yang melibatkan berbagai sektor, seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Sulitnya kehidupan membuat mereka tak punya kesempatan dan ruang untuk berpikir kritis yang kadang juga menjadi penyebab bahwa mereka memiliki tingkat kesadaran setara dengan binatang. Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan sering menggunakan slogan “yang penting hari ini bisa makan”.
Memutus rantai kemiskinan tidaklah semudah itu, kemiskinan adalah masalah struktural yang melibatkan berbagai sektor sekaligus, seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Akibatnya, untuk meningkatkan kualitas hidup. Sayangnya, tidak semua orang memahami masalah di atas, kehidupan mereka membuat mereka tidak memiliki kesempatan atau ruang untuk berpikir secara kritis. Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan sering menggunakan slogan “yang penting hari ini bisa makan”, sehingga melanggengkan kemiskinan struktural yang menyebabkan banyak masyarakat yang awet bodohnya. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh para politikus feodal yang sudah membudaya.

Ini menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting bagi masyarakat untuk menanggulangi ‘kadal-kadalan’ dari politikus feodal yang berharap masyarakat tetap bodoh dan tetap bisa mengagungkan mereka layaknya seorang ‘raja’ dan menciptakan dinasti oligarki sehingga selalu ada ketergantungan terhadap suatu tokoh. Pendidikan meningkatkan kemampuan untuk berpikir kritis dan analitis, yang memungkinkan penilaian argumen politik yang lebih baik. Jika dibandingkan dengan orang-orang yang tidak terdidik atau mungkin memiliki nalar dan kesadaran yang rendah, mereka lebih memprioritaskan kepribadian atau ketokohan, ‘gimmick’, dan bahkan politik uang sebagai acuan untuk memilih.

 

Menularkan Kebodohan Kolektif Melalui Feodalisme

Feodalisme adalah budaya yang merujuk kepada kelompok kelas bawah yang merendah dan sekaligus memberikan kekuasaan kepada kelompok kelas atas secara sepenuhnya. Contohnya masyarakat kelas bawah memberikan kuasa secara penuh dalam berpolitik untuk kelompok kelas atas, dan dilarang keras melakukan sebuah kritik dan apapun yang dilakukan oleh kelompok kelas atas harus dipatuhi sepenuhnya tanpa terkecuali. Karena orang kelas atas harus disanjung secara politik, sosial, dan keluarga, budaya ini cenderung toxic. Budaya ini berdiri dari sejarahnya sebagai inti negara-negara dengan sistem kerajaan, termasuk di tanah Jawa. Inilah kebodohan sebagai sebuah entitas sosial dalam sistem feodalisme, masyarakat dibiarkan dengan tradisi dan pola lama yang membusuk tetap berlangsung.

Secara faktual, sistem feodalisme muncul sebagai hasil dari ikatan monarki masyarakat tanah Jawa di masa lampau. Dalam sistem ini, semua orang, terutama kalangan atas (bangsawan) dan orang tua, dihormati, termasuk kerajaan. Ini juga kemudian diterapkan pada kalangan masyarakat kelas bawah, mereka termasuk semua tanah pertanian/peternakan mereka hanya menjadi alat bagi para penguasa, budaya feodal yang cukup terasa pada era kolonial seperti orang kaya harus disanjung, tokoh agama dihormati secara berlebihan, dan tidak ada hak untuk menentang itu jika terjadi sesuatu yang kontroversial. Kondisi yang terjadi pada masyarakat agraria saat itu menurut Rahmawati sebagai ‘rakyat dikuasai dan dieksploitasi ganda, oleh kaum feodal dan kolonialis. Tentu ini seiring berjalannya waktu dan berlanjut sampai bergenerasi menumpulkan ketajaman berpikir atau dengan kata lain menjadi bodoh terstruktur.

Ini berlanjut di era berikutnya hingga masa negara Indonesia terbentuk. Di sini secara tak langsung sistem kasta di Indonesia sudah berlaku, terutama mengakar pada pondasi di kalangan orang Jawa. Karena populasinya sangat banyak, maka tak heran jika budaya feodalisme masih sangat kental, dan kalau sudah begini sebenarnya tidak hanya Jawa, kepada etnis atau kalangan lain pun di seluruh Indonesia sudah tertular dengan budaya feodalisme ini yang cenderung kontra produktif. Rekrutmen, penempatan jabatan, penitipan pejabat, dan pembagian kekuasaan masih dilakukan dengan cara semangat feodalisme, yang mengutamakan keluarga dan orang-orang dekat, termasuk menantu dan teman dekat tanpa melihat kompetensinya dan menimbulkan ‘lingkaran setan abadi’ yaitu salah kelola kebijakan negara yang berdampak pada kebodohan massal.

Masalah utamanya adalah tingkat kesadaran masyarakat Indonesia tergolong rendah atau lebih mirip seperti ‘binatang yang bisa berbicara dan berbentuk manusia’, serta hanya ingin hidup kaya dan sukses tanpa mau berusaha dan kerja keras, tidak mengerti berproses, dan ini yang menjadi sumber semua perilaku buruk di masyarakat Indonesia, seperti munafik, pemalas, iri dengki, rasis, terlalu percaya mistis, anti asing dan lain-lain.

Jika masyarakat Indonesia dikatakan rajin pun, masalahnya adalah rajin yang tidak produktif, karena tidak ada inovasi atau penelitian apapun dalam bidang usaha dan teknologi sehingga pekerjaan yang dilakukan selalu sama tanpa menghasilkan kemajuan apapun. Kenapa bisa seperti itu? Karena mentalitas segala sesuatu yang serba instan, akibatnya masyarakat Indonesia menjadi terbelakang secara intelektualitas. Dikarenakan segala sesuatu yang serba instan, masyarakat Indonesia cenderung membangun segala sesuatu dengan asal-asalan, mulai dari pendidikan, pertanian, industri, dan teknologi, semuanya dibangun dengan asal jadi.

 

Pura-pura Produktif

Menurut seorang executive headhunter & HR consultant Leigh McKiernon, yang sudah enam tahun bekerja di Indonesia menyoroti budaya kerja di Indonesia yang terlalu banyak berpura-pura produktif. McKiernon mengungkapkan bahwa banyak perusahaan dan institusi negeri lebih banyak menghabiskan waktu dalam rapat daripada melakukan eksekusi nyata. Ia menilai bahwa orang Indonesia seringkali kelihatan sibuk tapi sebenarnya tidak benar-benar bekerja, sehingga ia sering kali menyebutnya sebagai “talk (and talk), but never do!”.

McKiernon mengamati bahwa hotel-hotel mewah di Jakarta sering menjadi tempat pertemuan strategis, seminar, dan diskusi kelompok tentang topik besar seperti “Masa Depan Ekonomi Digital Indonesia” atau “Inovasi untuk Kemajuan.” Disebutkan bahwa rapat atau pertemuan di Indonesia memiliki banyak nama, mulai dari seminar, rapat, diskusi grup, hingga pelatihan/workshop. Meskipun sebenarnya hanya berkumpul. tetapi ironisnya, setelah pertemuan selesai, ide-ide yang dibicarakan seringkali tidak terlihat dalam bentuk nyata.

McKiernon mengatakan bahwa masalah ini sangat mencolok di Indonesia karena kecenderungan untuk mengutamakan formalitas dan diskusi panjang tanpa hasil yang jelas. Sebenarnya ini juga dapat ditelusuri dari budaya Jawa yang mengutamakan keselarasan saat berinteraksi dengan orang lain dan cenderung menghindari konflik terbuka. Sikap berterus terang atau blaka suta dianggap tabu. Komunikasi dilakukan secara berlapis atau simboli dan bahasa tubuh berperan signifikan serta perlu dikupas satu per satu makna di dalamnya, karena tidak jarang antara lisan dan kenyataan saling bertolak belakang.

Tidak mengherankan itu juga menjadi cikal bakal di Indonesia dalam produktivitas pekerjaan supaya tampak produktif yang sebenarnya tujuan utamanya bukan untuk produktivitas dalam pekerjaan tetapi memiliki tujuan lain yang terselubung. Sehingga menciptakan crab mentality yang akut sehingga orang yang semula berniat produktif bisa tertular menjadi tidak produktif karena tekanan lingkungan. Alasan ‘menjaga keselarasan’, sebenarnya bukan menjaga keselarasan namun merupakan ‘ilusi keselarasan’ yang sewaktu-waktu bisa menjadi api dalam sekam.

 

Konklusi

Menciptakan masyarakat dengan tingkat kesadaran tinggi adalah tujuan tertinggi sehingga tercipta masyarakat yang berbudi pekerti dan tidak berkelakuan seperti binatang yang bisa berbicara. Orang yang bertindak baik, seperti ritual, tradisi, dan produktivitas keseharian dapat menyebarkan kebajikan, tetapi orang yang bertindak buruk juga dapat menyebarkan nilai-nilai yang buruk. Orang-orang berkesadaran tinggi, yang pada dasarnya adalah mereka yang paling berbudi luhur dan mampu, harus memimpin masyarakat. Sebagai contoh dalam Konfusianisme (儒家) memandang kepura-puraan sebagai cacat serius, menekankan pentingnya ketulusan dan bertindak sesuai dengan kata-kata dan nilai-nilai seseorang, daripada hanya tampak berbudi luhur tetapi ‘busuk’ di belakang.

Oleh karena itu, Konfusius (孔子) percaya pada suatu negara yang sekuler, tetapi juga tradisional, menekankan pada kerja sama kelas yang adil di mana semua strata masyarakat harus bertindak sesuai. Ketika kita berada dalam kelas sosial yang lebih tinggi, kita memiliki lebih banyak tanggung jawab terhadap masyarakat. Ini bertentangan langsung dengan feodalisme yang menciptakan kebodohan massal, karena dalam feodalisme terdapat konsep mengultuskan sesosok tokoh yang sangat ditolak dalam Konfusianisme (儒家). Budaya feodal seringkali jadi cerminan bahwa seseorang atau sekelompok orang masih terjebak dalam zona nyaman dan enggan berubah, atau malah mentransformasikannya ke dalam bentuk baru.

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Daftar Pustaka
• Breman, J. 1986. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja di Jawa Masa Kolonial. Jakarta: LP3ES.
• Antlov, H. 2001. Kepemimpinan Jawa: perintah halus, pemerintahan otoriter. Jakarta: Yayasan Obor
• Fernando. 1986. “Dynamics of Peasants Economy of Java at Local Level”, dalam D.P. Chandler dan M.C. Ricklefs, Nineteent and Twentieth Century Indonesia, Victoria: Center of Southeast Asian Studies Monas University,.
• Bloch, Marc, Feudal Society, vol. 2 (London: Routledge and Kegan Paul, 1978), p. 446.Google Scholar.
• Ho, S. D. 1996. Analects. The Bible of the Chinese people (compiled by Ho Sy Diep). Vietnam: Dong Nai.
• Rahmawati, D. (2023). PERMASALAHAN FEODALISME TANAH DI INDONESIA. COURT REVIEW: Jurnal Penelitian Hukum (e-ISSN: 2776-1916), 3(03), 1–6. https://doi.org/10.69957/cr.v3i03.6
• Gambar: https://www.ineteconomics.org/perspectives/blog/industrial-feudalism-and-wealth-inequality. Diakses 14 Maret 2025.

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?