Oleh: Vijjavati Anindita
“… Tak ada agama besar yang luput dari perbuatan yang ia sendiri kutuki. Yang tiap orang yang agak kritis, mata terbuka dan berpengalaman bisa memberi contoh bertimbun-timbun. …” (Tan Malaka, 1943: 358)
Sebuah acara yang diselenggarakan oleh stasiun TV ternama baru saja mendapat cekal akibat menayangkan cuplikan video yang dicurigai berisi tindakan-tindakan tidak pantas yang dilakukan di suatu padepokan (institusi perguruan agama). Alasannya sederhana: pemuka agama yang tersinggung mempersatukan kekuatan untuk menggugat stasiun TV tersebut. Tidak diketahui apakah kejadian yang terekam di dalam cuplikan tersebut telah diinvestigasi atau belum. Yang jelas, tuduhan pencemaran nama baik yang dilayangkan oleh para pemuka agama yang masih berkaitan dengan tempat agama yang dimaksud berujung pada pemberhentian acara TV tersebut.
Kehadiran cuplikan video yang ditayangkan di acara TV itu tidaklah terjadi secara mendadak di media massa. Beberapa minggu sebelum tayang, media dihebohkan oleh tragedi rubuhnya gedung asrama bertingkat di sebuah perguruan agama yang memakan korban jiwa dan luka-luka – korban adalah murid yang masih berada di bawah umur. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan bahwa selama gedung dibangun, sejumlah murid dilibatkan untuk mengecor. Keterlibatan murid dalam pembangunan gedung diakui sebagai hal yang biasa terjadi: (1) sebagai sanksi karena melanggar aturan, (2) tradisi turun temurun di perguruan yang dipandang sebagai upaya menambah kebajikan.
Nyawa yang telah direnggut tidak dapat diminta kembali. Tubuh yang luka dan kesakitan mungkin saja sembuh seperti sedia kala tergantung dari kondisi medisnya. Pendidikan umum maupun pendidikan agama sama-sama memiliki masalah yang berakar dari pengajaran yang tidak tepat. Pencetusnya pun beragam dimulai dari murid yang tidak memposisikan dirinya untuk menerima pengajaran, aturan yang mempersulit kegiatan operasional, bahkan guru yang kekurangan kebijaksanaan untuk mengajar murid-muridnya.
Pekerjaan guru bukanlah pekerjaan yang seenteng kelihatannya. Selain mengajarkan ilmu, guru semestinya mampu menjadi role model individu yang baik bagi murid-muridnya. Belajar dan mengajar sejatinya tidak hanya terjadi melalui setting formal seperti kuliah dan seminar, tetapi juga interaksi sehari-hari antara guru dan murid. Menyampaikan pengajaran melalui setting sehari-hari tidaklah mudah. Guru yang mampu mengajarkan lewat contoh di dalam keseharian perlu mengakumulasi kebijaksanaan dan kesabaran yang diperlihatkan melalui kebesaran hatinya. Di sisi lain, murid yang mampu belajar dari gurunya meskipun hanya lewat sebuah gestur atau beberapa patah kata dapat dikatakan sebagai murid dengan kepekaan persepsi yang tinggi.
Mendapatkan pengetahuan melalui mendengar dan melihat bukanlah hal yang membuat malu. Dikatakan oleh Konfusius bahwa tidak terlahir dengan pengetahuan (jenius) justru dapat menjadi motivasi untuk belajar. Seperti yang dikatakan
Kupikir ada orang-orang yang mencoba berinovasi tanpa belajar dahulu. Aku tidak termasuk di golongan orang-orang itu. Aku menggunakan telingaku dengan baik dan seksama, aku memilih hal-hal yang baik dan mengikutinya. Aku menggunakan mataku dengan baik dan seksama dan mengingat hal-hal yang kuamati. Inilah pengetahuan yang terbaik setelah pengetahuan bawaan lahir seseorang.
Menghormati guru adalah kebudayaan timur. Guru dipandang sebagai orang tua murid di lingkungan sekolah, menghormatinya sama saja seperti menghormati orang tua. Perilaku menghormati guru seperti mematuhi instruksi yang diberikan dan menyimak pelajaran dengan tekun memang perilaku yang bajik. Dari sini, terlihat bahwa menghormati guru dimaksudkan agar murid menunjukkan penghargaan atas dedikasi guru dalam membuat dirinya dari yang awalnya tidak tahu menjadi tahu. Guru juga manusia yang tidak sempurna dan mungkin berbuat kesalahan, kesalahan pun lazimnya mendatangkan teguran dan hukuman bagi pelakunya. Jika teguran dan hukuman adalah sarana untuk belajar dari kesalahan, pemberian hukuman tersebut mestinya juga berfungsi sebagai cerminan kebijaksanaan guru terhadap kesalahan muridnya.
Terlepas dari keberagaman tata cara menghormati guru menurut budaya, kebiasaan, atau agama tertentu, cara-caranya perlu mempertimbangkan kembali asas kepantasan. Pertimbangan kepantasan tidak membuat seorang guru menjadi seorang pengatur yang mutlak harus diikuti oleh murid. Justru, mengetahui kepantasan malah membuat seorang guru dapat dinilai tidak hanya dari aspek yang sengaja ditunjukkan ke dunia luar, tetapi juga dari kualitas karakternya dalam mendidik murid.
Terkait dengan rubuhnya gedung perguruan yang diikuti dengan beredarnya cuplikan tindakan-tindakan yang dituduh tidak pantas di perguruan yang berbeda, korban jiwa berjatuhan dan dampak negatif mencoreng reputasi berbagai pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Apakah dapat dikatakan bahwa kebiasaan atau sanksi yang tidak masuk akal dari guru kepada murid masih mutlak untuk dipertahankan? Mungkinkah pandangan fatalistik (guru mutlak diikuti oleh murid) ini pantas dalam dunia pendidikan?
Melibatkan murid di bawah umur dalam pembangunan gedung, yang tentu tidak menguasai ilmu dan keterampilan yang relevan, tidak mencerminkan kebijaksanaan sang guru yang mengajar walaupun dikatakan bahwa penglibatan tersebut sudah menjadi tradisi turun temurun – minimal dari hemat saya. Membangun gedung memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang spesifik yang mana orang dewasa pun baru menguasainya setelah praktik dan belajar bertahun-tahun, belum lagi jika ada ujian kompetensi yang perlu ditempuh. Kalau memang tradisi bergotong royong memelihara sarana perguruan adalah kebiasaan yang dipelihara karena mendatangkan manfaat bajik bagi civitasnya, mengapa tradisi tersebut justru malah berujung menyebabkan kerugian fisik yang sampai meregangkan nyawa?
Buddha Sakyamuni selaku guru besar Buddhisme adalah satu contoh guru yang mengajarkan pengikutnya melalui kultivasi kebijaksanaan. Buddhisme mendorong umat untuk tidak langsung terima jadi informasi yang baru diterima. Malah, umat didorong untuk meragukan informasi tersebut. Ragu-ragu (vicikiccha) termasuk salah satu klesha sehingga selain meragukan, umat pun didorong untuk mencari tahu kebenaran tentang informasi yang diterima (ehipassiko). Pasangan masalah (vicikiccha) dan solusi (ehipassiko) inilah yang ibaratnya belajar refleksi – mengapresiasi ketidaksempurnaan murid alih-alih mencelanya kemudian mendorong murid agar memperbaiki ketidaksempurnaan itu dengan mencari tahu akar masalah hingga jalan keluarnya.
Buddhisme aliran Chan Bodhidharma pun menekankan pada pembebasan klesha para pelakunya dengan meningkatkan kesadaran pelaku hingga kesadaran tingkat tinggi. Tujuannya adalah menjadikan pelaku Chan sebagai orang yang bijaksana, seperti dikatakan oleh guru besar Chan, Bodhidharma
Memiliki hati yang berwelas asih, selalu berbuat baik kepada orang lain, tidak melakukan perbuatan yang melanggar hati nurani.
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Referensi
kumparanNews. (2025). Tradisi Santri Ngecor dan Robohnya Al-Khoziny. https://kumparan.com/kumparannews/tradisi-santri-ngecor-dan-robohnya-al-khoziny-262PW34fcwf/2
Penguin Group. (2014). The Analects – Confucius. Diterjemahkan dan Disunting oleh Annping Chin. New York: Penguin Books.
Wang, A. (2023). Ancient Chinese Wisdom. Cetakan kelima. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Malaka, T. (1943). MADILOG Materialisme Dialektika dan Logika (Koleksi Ro). Econarch Institute.
Foto: Istimewa.