Oleh: Jo Priastana
“One’s life has value so long as one attributes value
to the life of others, by means of love, friendship, and compassion”
(Simone de Beauvoir, 1908-1986, Feminist, Author “The Second Sex”)
Abad 21 sering disebut-sebut sebagai kebangkitan perempuan. Wacana emansipasi dan hak perempuan muncul guna mengatasi nilai-nilai yang membelenggunya seperti ideologi patriarki yang telah berkembang dalam sejarah. Begitu pula, wacana perempuan dan gerakan perempuan Buddhis pun semakin tumbuh dan berkembang. Di Eropa banyak muncul perempuan-perempuan Buddhis dan tidak sedikit yang menjadi aktivis feminis, pejuang kesetaraan perempuan dalam Buddhis.
Diantara para aktivis feminis Buddhis itu adalah Maitreyi. Maitreyi yang berada di Inggris ini adalah seorang feminis Buddhis yang idealistik. Penuh semangat untuk hidup dan berkarya bersama-sama dengan kaumnya dan masyarakat luas. Aktivitasnya sebagai feminis dan pandangannya tentang femimisne diungkapkan dalam artikelnya, “Feminisme dan Buddha Dharma,” yang terdapat dalam buku The Flowers of Buddhism, (1999).
Dalam artikelnya itu, terlihat sekali wawasannya yang luas tentang masalah perjuangan ketertindasan perempuan sepanjang sejarah, dan munculnya ide dan gerakan feminisme. Lebih jauh, dalam artikelnya yang menjadi sumber tulisan ini terlihat juga pemikirannya yang jernih mengenai hubungan Feminisme dan Buddhadharma.
Aktivis Feminis
Maitreyi adalah feminis Buddhis yang tergabung dalam FWBO (Friends of the West Buddhist Order). Sejak bergabung dengan organisasi ini, ia sangat terlibat dalam kelompok yang berdasarkan kehidupan benar dalam bermata-pencaharian. Ia juga pernah bekerja pada sebuah restoran vegetarian di London Buddhist Centre.
Maitreyi juga menaruh minat pada pelatihan tubuh seperti mempraktikkan tekhnik memijat, agar tubuh dapat berlaku bijaksana. Ia adalah salah seorang pendiri sebuah center pelatihan tubuh, untuk melengkapi terapi kesehatan bersama dengan sekelompok wanita Buddhis dimana dia tinggal bersama-sama untuk beberapa tahun. Tahun-tahun belakangan ini, Maitreyi terlibat aktif membantu menyiapkan perempuan-perempuan yang ingin menjadi bhiksuni.
Ia pernah belajar meditasi di London Buddhist Centre kala usianya tiga puluhan. Juga bekerja membantu perempuan yang mengungsi di Leed, sebelah utara London. Selama enam tahun ia terlibat dalam gerakan pembebasan perempuan di London. Ia sangat kuat mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang feminis, meskipun kadang ragu feminis jenis apa yang akan ia perankan. Sebab banyak macam-macam feminis, seperti feminis liberal, feminis radikal, feminis sosialis, feminis humanis atau ekofeminis.
Tetapi ia tampak bangga menjadi feminis Buddhis. Baginya menjadi feminis telah memberikan kehidupannya sebuah arti dan memiliki tujuan, memahami dunia dan membangkitkan semangat hidup, dan banyak kreativitas dan tindakan-tindakan baru yang bisa muncul dan dilakukan.
Ketika aktif dalam memberikan bantuan bagi pengungsi perempuan, ia memberikan sumbangan yang nyata untuk merubah kehidupan perempuan, dan mempraktikkan teori-teori yang pernah dipelajarinya bertahun-tahun di dalam grup yang membangkitkan kesadaran dan juga di dalam berbagai konferensi tentang perempuan. Dalam pengalamannya itu, ia menemui banyak perempuan yang mengalami kekerasan domestik, kekerasan yang dilakukan oleh suaminya atau pasangan hidupnya.
Di London Buddhist Centre dan FWBO, ia mengaku sungguh mengalami suatu perasaan kerasan seperti di rumah sendiri. Ia belajar meditasi dan mendengarkan ajaran-ajaran Buddha dengan sepenuh hati. Maitreyi adalah seorang pejuang yang gigih bagi kemajuan perempuan. Menurutnya kesempatan bagi perempuan untuk bebas dan tidak tergantung saja tidak cukup. Perlu diusahakan prasarana-prasarana yang menunjangnya. Untuk itu ia pun aktif di dalam mengusahakan terdapatnya tempat-tempat retreat bagi perempuan, tempat kediaman bagi komunitas perempuan.
Sejarah Feminisme
Ia melihat masih sedikitnya perempuan-perempuan yang ditahbiskan ketimbang kaum pria. Fakta ini seakan-akan mempertanyakan kepada dirinya, apakah Buddha Dharma itu sejalan dengan gerakan feminisme yang memperjuangkan kesetaraan kaum perempuan dan lelaki, atau apakah Sangha itu memang bias gender, dan secara inheren memang bersifat patriarki?
Sebagai seorang penganut Buddhis, ia mengaku dirinya sebagai Dharmacarini, dan anggota Western Buddhist Order. Ia menjadikan dirinya untuk muncul memperjuangkan resolusi dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Ia lalu melakukan riset mengenai masalah feminisme dan Buddhisme lebih dalam.
Ia memikirkan masalah feminisme dan Buddhisme secara luas, dengan tujuan agar perempuan dapat merubah baik dirinya maupun dunia, mengatasi keterbatasan pandangannya mengenai apa yang bisa dia lakukan, dan untuk menjadikan dirinya bisa efektif di dalam dunia sejauh semua potensi-potensi mereka dapat dikembangkan.
Banyak definisi yang diberikan untuk feminisme. Dan baginya, definisi yang di dalamnya begitu banyak versi tentang feminisme itu tetap saja tidak akan menemui kepuasan. Menurut Maitreyi deskripsi yang baik dan umum untuk feminsime adalah sebuah ideologi atau sebuah gerakan reformasi yang memperjuangkan kesetaraan dan pembebasan perempuan yang telah terdiskriminasi karena jenis kelaminnya.
Karena itu, baginya sangatlah penting untuk mengetahui sejarah dirinya sebagai perempuan. Ia merujuk kepada Mary Wollstonscraft, seorang feminis dalam tulisannya di abad 18, (A Vindication of the Rights of Women) yang mengungkapkan bahwa posisi perempuan di dalam masyarakat begitu rendah, sepertinya mereka dianggap hanya sebagai sub-spesies manusia. Dalam pandangannya, sudah waktunya bagi perempuan untuk memperbaiki posisi keberadaannya yang kehilangan martabatnya itu yang membuat mereka hanya menjadi bagian dari bangsa manusia.
Maitreyi amat memahami sejarah perjuangan perempuan. Menurutnya, sampai dengan akhir abad 19, perempuan tidak memiliki hak-hak kamasyarakatannya, tidak dapat memiliki kekayaannya sendiri, tidak memiliki suara, mewujudkan kehendaknya, atau membuat testamen di pengadilan. Mereka juga tidak memiliki hak untuk mengajukan cerai, dan anak-anak mereka menurut hukum milik eksklusif lelaki. Jika menikah, perempuan dianggap menjadi properti suaminya, dan jika tidak menikah menjadi properti bapaknya.
Bahkan hingga tahun 1885, seorang suami masih dapat menjual istrinya atau saudara perempuannya ke dalam prostitusi. Tetapi tidak sampai tahun 1918, lebih dari satu abad setelah tulisan Mary Wollstonscrafts itu dipublikasikan, organisasi gerakan politik perempuan yang secara umum dikenal sebagai “hak-pilih”, menyuarakan hak-pilih perempuan, hak perempuan untuk bersuara. Tahun berikutnya keluar pembatalan undang-undang berdasarkan gender yang diikuti dengan terjunnya perempuan ke berbagai profesi.
Abad 20 perempuan memiliki kesempatan dan hak yang sangat besar bagi bangkitnya feminisme. Tanpa perjuangan tokoh feminis sebelumnya, saat ini mungkin kaum perempuan masih dipandang sebagai properti dari ayahnya atau suaminya tanpa kebebasan memilih jalan hidupnya sendiri, tanpa bisa mengekpresikan dirinya sebebas mungkin.
Feminisme dan Buddhadharma
Maitreyi melihat dua kecenderungan di dalam feminisme. Pertama sebagai ideologi dan kedua sebagai gerakan. Berdasarkan itu ia ingin melihat hubungan antara feminisme dan Buddhisme. Menurutnya, Buddhisme merupakan istilah yang muncul di Barat, berasal dari istilah di Timur, Buddhadharma. Buddha adalah seorang manusia yang dengan usahanya yang cerdas dan praktiknya yang luar biasa mencapai keadaan kesadaran sempurna atau yang dikenal juga mencapai pencerahan. Dharma adalah ajaran Buddha.
Buddha dan Dharma adalah kebenaran itu sendiri yang membantu kita untuk menemukan hakekat diri kita yang sesungguhnya. Pada dasarnya Buddhadharma adalah sebuah jalan perkembangan dimana kita dapat tumbuh mengatasi kondisi diri kita dan merealisasi segenap potensi kemanusiaan kita.
Titik temu antara Buddhadharma dan Feminisme terletak pada kata emansipasi. Pembebasan dari pembatasan-pembatasan kondisi kita dan pandangan-yang-keliru. Baik Buddhadharma maupun Feminisme bertujuan untuk mencapai perubahan di dalam kesadaran, dan tidak semata-mata perubahan di luar diri. Dengan pemahaman seperti itu, Buddhadharma dan Feminisme mengatasi segala aktivitas yang bersifat politis yang semata menganggap perubahan eksternal sebagai yang terpenting.
Menurut Buddhadharma perubahan internal-lah yang utama. Perubahan kesadaran itu sangat penting. Kesadaran yang tercerahkan akan membentuk tingkah laku yang baik. Dalam konteks feminisme, perubahan kesadaran itu adalah perubahan dari cengkeraman ideologi patriarki. Bila perubahan internal ini telah terjadi, maka tingkah laku pun akan mewujudkan sikap-sikap yang mencerminkan kesetaraan.
Praktik etika atau tingkah laku yang baik, sesuai dengan kesadaran yang tercerahkan adalah sangat penting di dalam Buddhadharma. Melalui praktik etika itu pula kesadaran yang lebih tinggi akan timbul. Bersama-sama dengan refleksi mengenai dharma, maka kesadaran itu akan menimbulkan pandangan yang cerah terhadap realitas, memahami kehidupan manusia tidak semata secara intelektual. Dan akhirnya membawa kepada sebuah perubahan yang mendasar terhadap keberadaan kita dan relasi kita terhadap yang lainnya.
Maitreyi akhirnya mampu melihat dengan jernih hubungan Buddhadharma dengan Feminisme. Menurutnya, feminisme lebih menekankan kepada perubahan pada taraf psikologis dan sosial, sedangkan Buddhisme melampauinya, jauh ke dasar taraf spiritual.
Perjuangan spiritual dalam Buddhis tidak mengalahkan dan juga tidak meninggalkan feminisme. Seharusnya dengan tercapainya pencerahan secara spiritual, yakni perubahan kesadaran itu juga telah termasuk tercapainya pencerahan kesetaraan sebagaimana yang diperjuangkan feminisme.
Perubahan yang diperjuangkan kaum feminis itu juga membantu kita (cita-cita Buddhis) di dalam mengatasi beberapa kondisi yang mengikat. Sebagai awal bagi kita kaum perempuan untuk dapat mengembangkan segenap potensi kemanusiaan kita. Feminisme sangat membantu bagi perjuangan kesetaraan perempuan serta membebaskan kondisi psikologis dan sosial yang sangat dibutuhkan untuk pencapaian spiritualnya.
Dikotomi dan Otonomi
Secara lebih mendasar, setiap makhluk sesungguhnya membutuhkan otonomi terhadap dirinya, baik secara material dan emosi, dalam rangka menjadi individu yang penuh. Feminisme, merupakan sebuah energi yang sangat kuat di dalam mewujudkan kondisi-kondisi bagi otonomi perempuan. Cita-cita di dalam Buddhisme adalah justru mencapai pembebasan spiritual, mencapai kemandirian (otonomi).
Bagi Maitreyi, praktik mendasar mencapai kemandirian itu adalah dengan mengembangkan cinta kasih (maitri), dan maitri ini tidak membedakan antara lelaki dan perempuan. Melalui ideologi kesetaraan ini juga terjadi perpaduan kekuatan dengan pembebasan.
Feminisme menawarkan transferensi kekuatan dari yang menindas (kaum lelaki) kepada dirinya, yang tertindas (perempuan). Tetapi, dalam feminisme juga belum terlihat bagaimana perempuan dapat memperolehnya melalui cara yang terbaik. Karena sebagai makhluk manusia, baik lelaki maupun perempuan juga sama-sama masih diliputi oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan.
Maitreyi mengajak melihat kondisi kita sebagai manusia seperti dalam Buddhadharma. Bagaimana racun keserakahan, kebencian, dan kebodohan dapat meresapi segala yang kita lakukan dan membatasi kita menjadi corak-corak kebiasaan.
Bila feminisme menyelidiki dikotomi antara lelaki dan perempuan, maka Buddhadharma menekankan kita untuk mengatasi dikotomi diri dan yang lain, lelaki dan perempuan.
Dan dengan begitu melepaskan pandangan yang berpusat kepada diri sendiri, keakuan sebagai suatu diri yang terpisah dari yang lainnya. Dan di dalam mengatasi dikotomi itu, sering kali kita harus melakukan transendensi identifikasi baik itu sebagai lelaki maupun perempuan. (JP) ***
(Dimuat dalam buku “Buddhadharma dan Kesetaraaan Gender,” Jo Priastana Ed. 2005. Jakarta Yayasan Yasodhara Puteri)
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
sumber gambar: https://preceptorscollege.online/whos-who/