Oleh: Jo Priastana
“Tidak ada apa pun yang Anda lakukan akan terjadi.
Sekarang apa yang akan Anda lakukan?”
(Shin’ichi Hisamatsu, Guru Zen Jepang)
Diantara banyak legenda tokoh-tokoh dalam Zen Buddhism, satu diantaranya yang fenomenal adalah Hui Neng. Legenda Hui Neng mungkin hanya bisa diatasi oleh Bodhidharma, sesepuh Zen yang membawa Buddhadharma ke negeri Cina dimana Hui Neng lahir dan tumbuh. Seringkali kisah tokoh legenda Zen Buddhis ini difilmkan, diantaranya film “Legend of Hui Neng” (2018) yang di sutradarai oleh Gui Zhenjie. Awal film dijelaskan bahwa nama yang terdiri dari dua kata ini memiliki arti: Hu berarti bermanfaat bagi rakyat. Neng berarti menyebarkan agama Buddha.
Keterkenalan Hui Neng sendiri tidak bisa dilepaskan dari Sutra Intan atau Vajracchedika Sutra. Sutra ini banyak disebut-sebut akan menjadikan hati tenteram dan jernih bagi siapa yang membaca dan mendengarnya. Ironisnya Hui Neng sendiri bukanlah orang yang terpelajar dan bahkan dia tidak bisa membaca. Meskipun begitu ia sangat keras sekali untuk dapat mengenali esensi kitab suci tersebut dan memahami kesunyataan dharma yang mengandung kebenaran batiniah-sejati.
Kebenaran batiniah tidak ada hubungannya dengan soal keterpelajaran atau banyaknya membaca kitab suci. Hui Neng tidak bisa membaca, namun tercerahkan karena pencerahan bukanlah mutlak berasal dari pembacaan kitab suci. Kitab suci ibarat jari yang menunjuk dimana bulan berada, namun jari bukanlah bulan itu sendiri. Hanya hati yang suci murni, polos bersih yang langsung mencerminkan pencerahan layaknya bulan yang bersinar terang di ketinggian mencerahi semua.
Dari Dapur Kuil
Memahami esensi dharma di luar kitab suci, di luar kata-kata, langsung ke hati inilah yang menjadi kekuatan dari Zen Buddhism dan ini terjadi dalam diri Hui Neng. Hal itu sudah terjadi sejak semasa Buddha sendiri, dimana pengalaman hati Buddha diawali dan terjadi pada Maha Kasyapa, murid dekat Sang Buddha.
Maha Kasyapa yang kemudian dianggap sebagai sesepuh Zen pertama. Begitu juga dengan Bodhidharma, sesepuh Zen Buddhism pertama di Cina yang membabarkan dharma mengatasi teks-teks kitab suci. Hui Neng sendiri kemudian dikenal sebagai sesepuh Zen Buddhis ke enam di Cina, dan meneruskan gurunya sesepuh ke lima Hung Ren.
Sejak kelahirannya, Hui Neng sudah diramalkan akan bersentuhan dengan Buddhadharma. Ibunya berkata, sejak kamu dilahirkan kamu memiliki takdir dengan agama Buddha. Dua orang bhikkhu juga turut meramalkannya, bahwa ia akan pergi ke kuil Dong Shan ingin belajar Buddhadharma. Dalam perjalanannya ini, Hui Neng kerap mengalami diskriminasi, padahal sesungguhnya bagi Hui Neng sifat Buddha itu tidak mengenal diskriminasi.
Hui Neng yang berasal dari Nan Hui Lignan, menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk dapat belajar Buddhadharma dan bagaimana cara menjadi Sang Buddha. Meski kerap diperlakukan berbeda, tetapi Hui Neng cukup cerdas untuk mengatakan bahwa setiap orang memiliki sifat Buddha dan setiap orang bisa menjadi Buddha. “Tubuh dan penampilan saya berbeda dari anda tapi saya memiliki sifat kebuddhaan yang sama dengan anda.”, katanya di suatu waktu.
Setelah sampai dan diterima di Kuil sesepuh Hungren, Hui Neng yang datang untuk Buddhadharma ditempatkan di bagian dapur. Ia diperkerjakan menyelesaikan tugas-tugas di dapur, seperti membelah kayu, mengayak beras, menyalakan tungku. Tugas-tugas itulah yang delapan bulan kemudian membuatnya mengalami pertumbuhan kesadaran yang bagus.
Katanya, “sekarang saya mengerti, mengerjakan tugas adalah cara untuk melatih, tidak peduli duduk, membaca atau mengerjakan pekerjaan lainnya. Jika anda menaruh hati anda di dalamnya tidak ada pemikiran lain, anda akan mendapatkan kedamaian batin, hatimu tenang, tingkat keaslian diri anda meningkat”.
Puisi Pencerahan
Dalam suatu kesempatan, sesepuh Hungren mengeluarkan maklumat bagi para muridnya untuk membuat puisi. Sebuah puisi yang menunjukkan pencapaian batin pencerahan yang ingin diketahuinya dari para murid-muridnya. Apakah mereka, murid-muridnya ada yang sudah menguasai dan merealisasi esensi Zen? Begitu latar belakang sayembara membuat puisi dimaklumatkan.
Salah satu murid terpelajar dan kandidat sang pengganti sesepuh Hungren menuliskan puisinya yang berbunyi: ‘tubuh kita menjadi pohon Bodhi. Pikiran kita seperti cermin yang cerah, bersihkan dan sering poles sesering mungkin. Jangan biarkan debu turun”.
Puisi itu ditulis oleh Shen Xiu, sang terpelajar dan terdidik. Sebuah puisi yang dianggap bagus dan mencerminkan pemikiran yang tinggi, sehingga penulisnya dipandang layak untuk menjadi sesepuh ke enam. Namun, sesepuh ke lima Hungren menilai puisi itu dan menyampaikan kepada Shen Xiu, bahwa puisinya itu baik untuk nyanyian bagi dirinya, tetapi belum menemukan esensi dari Zen Buddhism sesungguhnya.
Mengetahui adanya puisi yang ditulis oleh Shen Xiu yang terpampang di dinding wihara, Hui Neng yang tidak bisa membaca meminta kepada seorang bhiksu untuk membacakannya. Setelah mendengar bunyi puisi Shen Xiu, Hui Neng pun meminta untuk menuliskan puisi yang diciptakannya.
Puisi Hui Neng berbunyi; “Tidak ada pohon bodhi sama sekali, dan ada cermin cerahnya. Sekarang tidak ada apa-apa sama sekali. Bagaimana bisa ada debu lagi?”
Mengetahui puisi yang ditulis Hui Neng, sesepuh Hungren pun menyadari bahwa Hui Nenglah yang sesungguhnya telah sampai kepada esensi Zen, dan orang yang pantas menjadi penerusnya sebagai sesepuh ke enam.
Kemudian Hungren mewarisi kasaya/kain dan mangkuk kepada Hui Neng sebagai pertanda bahwa dialah penerusnya. Kasaya adalah tanda yang ditinggalkan oleh pendiri Sakyamni yang melambangkan hati Buddha.
Hui Neng pun menjadi sesepuh Zen Buddhism ke enam dari tradisi Cina, dan kisahnya pun dimulai. Kisah Hui Neng yang menggambarkan perjalanannya sebagai sesepuh ke enam Zen Buddhism dalam menyebarluaskan Buddhadharma. Buddhadharma yang sesungguhnya tersimpan di dalam hati setiap orang dimana Hui Neng akan membangkitkannya.
Sebagai sebuah film, kisah Legenda Hui Neng dalam film ini tak lepas dari bumbu-bumbu tambahan cermin kebebasan dan imajinasi sang Sutradara. Hui Neng mendengar saran dari seorang tukang perahu: “anda sebaiknya tidak hanya membantu diri anda, tetapi juga membantu orang lain, menyebarluaskan dan mengembangkan Buddhadharma”.
Film “Legend of Hui Neng” dengan awal penayangan pada tahun 2018, 21 Desember ini telah ditonton oleh lebih 7 juta penonton. Sebuah film yang memang layak untuk ditonton untuk mengingatkan kembali akan Buddhadharma yang tersimpan di hati kita semua.
Film dengan produser Wang Xiaouqing ini merupakan sebuah film bergenre biografi, sebuah film penuh inspirasi sebagai “inspirational movie” tentang pelajaran Buddhadharma dari legenda Zen Buddhism, master Hui Neng. Pelajaran mengenai esensi Buddhadharma yang bersumber dari hati ketimbang pikiran, bahwa semua tulisan suci itu terdapat di dalam diri dan Buddha ada di dalam diri dan hati kita semua.
Inspirasi Hati Dharma
Buddhadharma mengandung kesunyataan yang menitikberatkan kepada pengalaman, hati dan bukan sekedar pengetahuan intelektual atau pikiran semata. Karena itu, penyampaian melalui kata-kata tidaklah memadai karena kebenaran kesunyataan dimana Bodhi bersemayam hanya dapat dicapai dengan pengalaman hati, bukan kata-kata yang terbatas.
Sebuah pelajaran spiritual yang senantiasa relevan sepanjang masa apalagi di saat berkembangnya polusi kata-kata atau sikap beragama yang hanya tergantung dalam kata-kata, sekedar identitas beragama yang jauh dari esensi kebenaran yang sesungguhnya.
Tidak seperti pikiran dan kata-kata, hati menyimpan kebenaran sejati. Salah satu aliran dalam agama Buddha yang mementingkan pengalaman hati ini, mengatasi kata-kata, di luar kitab suci adalah aliran Zen. Aliran yang dibawa dan dikembangkan oleh Bodhidharma ke Cina ini sering diasosiasikan sebagai ajaran yang mengatasi kata-kata, karena dalam pandangan Zen kata-kata tidaklah identik dengan kebenaran.
Kata-kata dan kebenaran adalah ibarat jari telunjuk dan bulan. Jari telunjuk dapat menunjuk bulan, tetapi bukan bulan itu sendiri. Begitulah kata-kata hanya dapat menunjuk kebenaran, tetapi bukan kebenaran itu sendiri.
Kata-kata tidak menyatakan yang sebenarnya. Mereka yang mempercayai kata-kata akan hilang, dan mereka yang hidup dalam kalimat akan tercemar. Hati Bodhi melampaui kata-kata, dan kata-kata hanya sekedar digunakan untuk menunjuk kebenaran kesunyataan.
Dasar filsafat Zen yang mengatasi kata-kata diungkapkan dalam syair Hui Neng. Syair Hui Neng yang selalu diperdengarkan dan menjadi klasik, contoh teladan dari tokoh legendaris yang telah memahami inti Zen Buddhisme yang mengatasi kata-kata.
Syair dari Hui Neng yang buta huruf namun telah mengatasi dualisme itu ditulis untuk mengatasi syair yang ditulis oleh Shen Xiu, seorang terpelajar namun masih syarat dengan pikiran dualistis. Syair Hui Neng yang bersumber pada hati bodhi cermin tercapainya spiritulitas Zen Buddhism, bahwa Bodhi itu sesungguhnya tiada berpohon dan cermin tiada berbingkai, bagaimana bisa debu menempel dan kita harus membersihkannya?
Baik puisi Shen Xiu dan terutama Hui Neng ini begitu fenomenal dan menjadi contoh untuk melihat kontras bagi mereka yang ingin menyelami esensi Zen. Baik kita simak kembali, kali ini dengam membuka hati kita yang terdalam, sedalam-dalamnya.
Syair Shen Xiu yang berbunyi: “Tubuh adalah pohon Bodhi. Hati bagaikan cermin yang berbingkai. Setiap saat rajin membersihkannya. Hingga tidak terkotori debu.” Setelah mengetahui syair Shen Xiu ini, Hui Neng membalasnya: “Bodhi sesungguhnya tidak berpohon. Cermin jernihpun bukanlah berbingkai. Pada awalnya memang tiada sesuatupun. Bagaimana debu dapat mengotori.”
Buddhadharma menekankan pada pengalaman hati ketimbang pikiran dan kata-kata. Zen membimbing kepada pembebasan pikiran dan ketergantungan terhadap kata-kata atau pengetahuan. Zen menyelami kepada pikiran sejati, hati kita sendiri, pengalaman langsung kita sendiri yang tak terungkapkan. Bila kita mendefinisikan kehidupan, maka kita mengikatnya dalam norma-norma dengan mengandalkan kepada pengetahuan di luar produk pikiran sejati diri sendiri. Dalam Zen, kehidupan tidaklah normatif atau dirumuskan dalam konsep yang abstrak atau dibatasi dalam kata-kata dan definisi melainkan langsung menyelam ke dalam pengalaman hati itu sendiri.
Zen untuk dijalani dengan mempercayakan kepada tumbuhnya cahaya kebajikan dari kedalaman hati murni, dan bukan dari segala jenis pengetahuan atau informasi semata. Hati yang berbicara yang menyentuh kebenaran, dan bukan sekedar kata-kata. Bagi Zen Buddhism kebenaran kesunyataan itu “disampaikan diluar kitab suci”. Tanpa mempergunakan kata-kata atau tulisan. Langsung tertuju kepada hati/jiwa manusia. Mengenal hati dan sifat asli diri itu sendiri adalah Buddha, sebagaimana hati-suci Siddharta yang memancar terang bersama Bulan Waisaka 2568 lalu! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
sumber gambar: https://image.tmdb.org/t/p/w500/wFeIqRbjxZsVAxLl05skC9t3MsY.jpg