Oleh: Jo Priastana
“Kebijaksanaan adalah lebih berharga daripada kekayaan.”
(Heraclitus)
Berfilsafat terbuka bagi setiap orang. Seketika ia mampu menerobos lingkaran kebiasaan yang tidak mempersoalkan hal ihwal sehari-hari. Filsafat bertitik pangkal pada pertanyaan mengenai arus peristiwa sehari-hari yang tidak lagi dianggap serba biasa dan kepada si penanya sendiri sebagai subyek manusia.
Manusia yang serba biasa itu dan yang hidup di tengah-tengah peristiwa yang serba biasa pula disentuh oleh nafas pertanyaan, tali pengikat antara manusia dan peristiwa. Dari situlah manusia mulai mencari, mulai merenung, mulai bertanya, mulai berefleksi tentang segalanya termasuk keberadaan dirinya.
Sejak dahulu kala filsafat atau hasrat, suka akan kebijaksanan atau kebenaran (philo-sophia) dianggap mulai tumbuh bila manusia mulai bertanya-tanya. Pertanyaan yang disertai rasa kagum dan heran. Aristoteles menyatakan sebagai makhluk berpikir, manusia mampu merenungi segalanya, bertanya-tanya mengenai makna dan sebab segala sesuatu yang diamati dan dialaminya.
Filsuf Siddharta Muda
Siddharta Muda pun berlaku demikian. Ketika dia melihat empat peristiwa dan kemudian memikirkannya secara mendalam, Siddharta merasa heran dan bertanya-tanya terhadap peristiwa tersebut. Pertanyaan yang mungkin bagi kebanyakan orang sesuatu yang biasa: melihat orang tua, orang sakit, orang mati, dan seorang pertapa, namun bagi dia tidak. Siddharta bertanya apa sesungguhnya hakekat itu semua?
Menjelmalah sang pangeran menjadi filsuf yang suka merenung, bertanya secara radikal dan menggugat. Pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung selesai sebatas tembok istana. Pertanyaan-pertanyaan yang menjadikan dia meninggalkan kerajaannya, kekuasaan, kekayaannya, kesedapan hidup dunia untuk kemudian membawa dia keluar istana. Menukar kekayaannya untuk menemukan kebijaksanaan dengan menjadi seorang filsuf yang suka akan kebijaksanaan (philo-sophia) dan penemuan hakekat kehidupan.
Siddharta masuk ke dalam Hutan Uruvela, tempat dimana kaum bijaksana belajar mengenali hakekat kehidupan, menyenangi kebijaksanaan dalam sikap askese (laku tapa untuk menahan hawa nafsu, KBBI), hidup sederhana yang jauh dari dari kekayaan duniawi. Siddharta melakukan revolusi dalam modus kehidupannya, menjadikannya merubah kehidupannya secara radikal, dari sebagai pangeran dengan menjadi pertapa. Dilakukan semata untuk menemukan hakekat kehidupan yang sesungguhnya.
Siddharta seorang yang revolusioner. Ia membalikkan kehidupan secara radikal, bahkan tanpa memberitahu istri dan meimnta izin ayahandanya. Ia kabur meninggalkan tampuk kekuasaan, kemewahan hidup dengan menjadi pertapa yang suka kebenaran. Sebagai filsuf, Siddharta memiliki sikap dan ciri-ciri berpikir seperti layaknya di dalam ilmu filsafat masa kini. Ciri berpikir filosofis seperti: kritis, radikal, universal, konseptual, koheren, konsisten, sistematik, komprehensif, bebas dan memandang persoalan secara sinoptik (menyeluruh) serta peka akan nilai-nilai. Pada akhirnya, filsuf Siddharta Muda yang revolusioner ini pun menjadi Buddha, menjadi makhluk yang sadar-tercerahkan sebagai manifestasi sejati dari orang berfilsafat, philo-sophia (suka akan kebijaksanaan).
Karena itulah, setelah keberhasilannya menjadi Buddha, semua segi-segi dan ciri-ciri kefilsafatan itu terlihat kentara dalam ajarannya dan juga cara menyampaikannya. Buddhadharma pun dapat dekat dengan cara kerja, ciri ilmu filsatat yang mau mengungkapkan hal-hal yang dalam, secara sistematis dan bermetodis, dan Sang Buddha pun layaknya filsuf membangkitkan kebenaran kesunyataan yang bersemayam di dalam diri setiap orang yang dihadapinya.
Secara khazanah pengetahuan dan studi, dalam Buddhadharma pun kita akan temui aspek-aspek atau permasalahan yang dikaji dalam filsafat. Aspek-aspek studi filsafat seperti masalah: metafisika, ontology, epistemologi, logika, antropologi, kosmologi, etika dan moralitas serta estetika. Masalah-masalah filosofis yang secara akademis berkembang menjadi cabang-cabang filsafat dalam studi filsafat, dan juga terkandung sebagai dimensi-dimensi pembelajaran yang sesungguhnya atas Buddhadharma.
Pencarian Siddharta Muda akan kebijaksanaan dan suka kebenaran yang sejalan dengan arti “filsafat” yaitu suka akan kebenaran mengingatkan kita akan tradisi berfilsafat bangsa Yunani yang menjadi dasar dan mengawali tradisi perkembangan filsafat hingga dewasa ini. Kegiatan manusia dalam berfilsafat itu dipandang sebagai tujuan hidup manusia tertinggi sebagaimana yang selalu digaungkan oleh Aritoteles, filsuf Yunani Kuno yang mencerminkan zaman keemasan filsfat Yunani.
Bagi Aristoteles (384-322 SM), tahap perkembangan tertinggi jiwa adalah diisi oleh pikiran atau akal, lokus pikiran dan pemahaman. Demikian juga dengan Siddharta Muda yang kontemplatif. Aristoteles memandang bahwa kehidupan manusia yang paling saleh dan terpenuhi adalah kehidupan kontemplatif yang ditunjukkan untuk penalaran, berfilsafat, dan mengejar pengetahuan dan pemahaman.
Dalam karyanya “Nichomachean dan Ethics”, Aristoteles berpendapat bahwa eksistensi yang paling bahagia dan paling mandiri bukanlah mencari kehormatan, kesenangan atau bahkan kebijaksanaan praktis yang diperlukan untuk politik dan kepemimpinan. Sebaliknya, ia melihat bentuk yang paling murni dari eudaimonia (manusia berkembang) sebagai kehidupan kontemplasi teori-studi kebenaran yang tenang dan tidak memihak melalui penalaran filosofis.
Filsafat Religius
Sejalan dengan kehidupan Siddharta yang bersifat eksistensialis dan kontemplatif, dan bahkan melangkah jauh dalam pencaharian kebenaran tertingginya melalui kehidupan asketis-meditatif, maka filsafat yang ditelorkannya pun tidak lepas dari pemikiran filosofis yang cenderung bersifat kebijaksanaan dan arah hidup yang baik.
Karenanya dapat dipahami, meski Buddhadharma memiliki segi-segi dan atmosfir yang sama dengan filsafat sebagai ilmu pengetahuan atau kajian akademis, filsafat Buddha itu nyatanya tumbuh dalam cakrawala dan atmosfir filsafat India. Di Timur, khususnya India (dan juga Cina) filsafat tidak bisa dilepaskan dari tujuan praktek keagamaan yakni dalam mencapai pelepasan atau pembebasan.
Dalam filsafat Timur, filsafat tepatnya diistilahkan dengan Darsana. Filsafat ditujukan sebagai metode, sarana untuk mewujudkan kesempurnaan batiniah dan untuk menampakkan ksempurnaan lahiriah. Filsafat Timur bersifat inklusif dengan berbagai aspek kehidupan manusia. Pada akhirnya, Siddharta Muda sebagai filsuf mampu mewujudkan kesempurnaan bati, mencapai kesadaran sempurna yang dikenal dengan sebutan Buddha.
Dengan kata lain, filsafat Timur itu bersifat spritiual-religius dengan ciri-cirinya: bermotif spiritual, instrospektif, adanya hubungan erat antara kehidupan dan filsafat, intuisi yang mampu menyingkapkan kebenaran tertinggi. Filsafat bukan sekedar kemampuan teoretis tetapi kekuatan yang bisa mengubah manusia, mentransformasi diri. (Radhakrishnan and Charles A. Moore, “A Source Book in Indian Philosophy,” London, 1957; xxii-xxx)
Bahwa filsafat di Timur tidak dimaksudkan hanya sekedar pemikiran teoritis semata, namun bersifat spiritual-religius untuk mencapai pembebasan, juga menjadi ciri dari Buddhadharma. Pemikiran teoretis tidak bisa dilepaskan dari praktek kehidupan, dan diskusi etika tidak bisa dipisahkan dari praktik moral, dan Buddhadharma bukanlah sekedar pencaharian spekulasi filosofis tetapi menuntun siswanya untuk merealisasi hukum kebenaran tertinggi dalam kesunyataan.
“Buddha memandang sia-sia segala pencarian asal-usul dan akhir dunia ini, atau tentang “diri”. Sebaliknya beliau menuntut kita mempelajari kehidupan dan fenomena yang berjalan menurut hukum-hukumnya. Hal ini menjadikan filsafat Buddha sebagai suatu filsafat ilmu yang positif.” (Dr. W.F. Jayasuriya).
Filsafat Buddha
Untuk mengenali Buddhadharma secara filsafat ini, maka terlebih dahulu kita bisa mendekatinya melalui dua pengertian yang umum dikenal tentang filsafat. Dua segi, filsafat sebagai kebijaksanaaan dan filsafat sebagai sistem pemikiran ilmiah.
Filsafat sebagai kebijaksanaan hidup yang menjadi pedoman hidup manusia dalam mengarungi sejarah kehidupannya di dunia ini. Filsafat juga dipahami sebagai suatu sistem pemikiran ilmiah, seperti dalam filsafat sistematis sebagai suatu ilmu yang komprehensif dan dalam tentang kenyataan dan yang tentu saja berbeda dengan ilmu-ilmu khusus lainnya.
Filsafat Buddha dapat didekati dalam dua segi itu, sebagai kebijaksanaan hidup dan juga yang tersajikan sebagai ilmu pengetahuan filsafat yang tersaji dalam berbagai aspek ajarannya yang mengandung masalah metafisika, ontologi, logika, epistemologi, etika maupun estetika.
Tentu saja, sesuai dengan latar belakang kelahirannya, di India dimana filsafat tidak bisa dilepaskan dari konteks religius sebagai upaya mencapai pembebasan, maka filsafat Buddha pun hendaknya dipahami tidak lepas dari konteks filsafat India tersebut, serta filsafat dalam kajian akademik sebagai sistem pemikiran.
Perlu juga dipahami bahwa kemunculan filsafat Buddha tidak lepas dari suasana yang melatarbelakanginya, yakni filsafat India, yakni sebagai suatu filsafat pembebasan yang tumbuh dalam kandungan filsafat India. Suasana yang melatarbelakangi kemunculan Buddha dan pertumbuhan filsafat Buddha adalah juga suasana yang terjadi dalam filsafat India pada umumnya, yakni bersifat religius dalam rangka mencapai pembebasan.
Dalam tradisi filsafat India, seperti dalam Upanisad, para siswa dalam rangka mencapai tujuan pembeban tersebut menjalani tiga jenis latihan: sravana, manana dan dhyana atau yoga.
Aspek religius melandasi filsafat India bahwa filsafat berkaitan dengan usaha manusia mencapai keselamatan yang merupakan tujuan utama (parama-purusa-artha), dan sekaligus filsafat religius ini mempunyai segi mistik, yang merupakan sarana di dalam mencapai keselamatan, dimana filsafat merupakan pencapaian persepsi transenden (saksatkara) dan bersumber pengalaman (anubhava).
Filsafat religius India termasuk filsafat Buddha berorientasi mengatasi lokiya atau duniawi dan bersifat transenden (lokuttara). Filsafat menekankan pengalaman rohani yang dicapai melalui sarana mistik berupa konsentrasi pikiran, pengulangan ucapan suci dan gerakan tubuh tertentu. Dalam filsafat Buddha melalui realisasi etika (sila) dengan sepenuhnya sadar, meditasi dalam kedamaian, kejernihan pikiran dan kebijaksanaan (prajna) yang mengatasi dualitas akam membangkitkan cinta kasih dan sifat-sifat welas asih (karuna). (JP)
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
sumber gambar: https://en.thaythichtructhaiminh.com/early-life-of-prince-siddhartha-gautama-life-of-budda-part-1-d170.html