Flexing dan Fenomena Ingin Cepat Kaya di Media Sosial; Jebakan Penipuan (Part 1)

Home » Artikel » Flexing dan Fenomena Ingin Cepat Kaya di Media Sosial; Jebakan Penipuan (Part 1)

Dilihat

Dilihat : 27 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 5
  • 31
  • 25,991
Flexing 1 pic

Oleh: Gifari Andika Ferisqo 方诸德

A. Fenomena Flexing Di Tengah Masyarakat Digital

Internet sebagai produk teknologi yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat saat ini, maka internet dapat memunculkan jenis interaksi sosial baru yang berbeda dengan interaksi sosial sebelumnya. Jika pada masa lalu masyarakat berinteraksi secara face to face communication, maka belakangan ini masyarakat berinteraksi di dunia maya atau melalui interaksi media sosial.

Pemanfaatan media internet tidak lagi hanya sekedar menjadi media komunikasi semata, tetapi juga sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dunia bisnis, industri, pendidikan, dan pergaulan sosial. Media sosial yang marak belakangan ini seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, WhatsApp hingga TikTok dan lain-lain adalah produk teknologi media sosial baru yang kini sedang digemari banyak kalangan. Hal ini membawa masyarakat ke dalam tindakan yang mementingkan penampilan luar mereka, harga diri mereka, serta bagaimana mengikuti perkembangan di lingkungan sekitar supaya setara. Kebiasaan ini menjadikan mereka sulit untuk bersikap rasional dan menjadi suka untuk ikut-ikutan pamer atau flexing.

Pamer harta atau flexing pada kehidupan nyata menjadi fenomena belakangan ini. Adapun dampak positifnya harta kekayaan sangat penting untuk menunjang kehidupan sehari-hari, tanpa memiliki harta kekayaan yang cukup, seseorang tidak akan mampu membiayai kebutuhan hidupnya. Harta kekayaan bisa digunakan untuk meringankan beban orang lain seperti berdana kepada yang memerlukan bantuan. Demikian juga dampak negatifnya pamer harta atau flexing selalu digunakan sebagai pencitraan dan mengejar popularitas di media sosial yang dapat menimbulkan pro dan kontra dari orang lain yang menyaksikannya.

Sebenarnya orang yang memamerkan harta kekayaan dengan gaya hidup mewah hanya ingin mendapatkan pengakuan publik bahwa mereka adalah ‘orang kaya’ atau minimal terlihat ‘sudah mapan’ sehingga layak disebut sebagai ‘crazy rich’. Terjadinya kesenjangan dan flexing merupakan kebiasaan yang umum dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan pengakuan. Namun, kebiasaan ini pada dasarnya menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk memahami hubungan sosial dalam perspektif yang benar, seolah-olah orang kaya itu buta dan gelap pikiran, tidak berperasaan, mereka dengan bangganya memamerkan harta kekayaan dan kemewahan yang dimilikinya sedangkan kalangan masyarakat lainnya masih ada yang hidup dibawah garis kemiskinan. Padahal seperti yang kita ketahui, umumnya orang kaya sungguhan cenderung ‘silent’ dan takut untuk flexing karena takut akan ditagih pajak oleh negara, dan lebih suka menjadi ‘shadow’ di hadapan publik.

Tanpa disadari mereka juga sering kali memamerkan kekayaan itu melalui sosial media sambil berdana dan dijadikan konten. Jika di zaman dahulu seseorang jika ingin memamerkan harta bendanya dengan cara keluar rumah, maka di zaman ini tak perlu keluar rumah, cukup update sosial media. Ketika banyak orang yang melihatnya, lalu timbul rasa berbangga diri karena telah memperlihatkan harta bendanya.

Dikutip dari strategylab.ca, kajian psikologis terhadap seseorang yang sering menunjukkan kekayaan atau pamer akan terus terpacu untuk melakukannya. Terlepas dari kondisi sebenarnya, seseorang akan terus ingin menunjukkan apa yang dimilikinya. Seseorang yang terbiasa flexing akan merasa ketagihan terlepas dari kondisi keuangannya, tidak terlalu mempedulikan apakah penggunaan barang dengan harga yang harus dibayar sebanding atau tidak, lalu ketagihan ingin terlihat kaya dan merasa terdorong untuk konsisten menunjukkan kepada publik tentang kekayaannya.

Jika dikatakan dari sudut pandang manusia, orang yang flexing, seperti memamerkan jet pribadi, mobil mahal, barang-barang branded hingga gaya hidup mewah dan sebagainya, sebenarnya mereka ingin mendapatkan pengakuan, yaitu ingin dipandang dan diakui oleh publik bahwa mereka adalah orang kaya dan sukses. Terutama dilakukan oleh kaum muda yang berhasil dengan pencapaiannya maka dia merasa perlu menunjukkannya di media sosial. Perilaku pamer kekayaan ini sebenarnya bisa terjadi dengan berbagai macam latar belakang. Ada yang butuh pengakuan, ada pula yang ingin merasa dihormati atau dihargai keberadaannya, dan yang paling baru adalah untuk menipu masyarakat secara halus supaya masuk jebakan bisnis ‘jualan kelas abal-abal’ yang mereka buat.

Flexing tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang negatif, tetapi juga sebagai sarana ‘investasi’ untuk mendapatkan banyak pengikut dan bisa mempengaruhi banyak orang atau istilah populernya adalah influencer. Kelak, para oknum influencer ini nantinya bisa lebih mudah menipu orang secara halus dengan berjualan ‘kelas’, baik trading, open reseller membership, kelas bisnis ekspor-impor, kelas finansial, dan lain sebagainya yang sebenarnya mereka tidak benar-benar melakukan yang diajarkan dalam kelas mereka tetapi mereka menjadi kaya dan mendapat keuntungan dari jumlah member yang mendaftar, ini tidak lain merupakan bentuk dari penipuan ‘kemasan baru’ (sebagai catatan tidak semua influencer menjadi kaya dan terkenal dengan cara seperti ini, hanya oknum tertentu saja).

 

B. Flexing: Metode Penipuan Lama, Kemasan Baru

Di antara sekian banyak kejahatan, mungkin yang paling sedikit dibicarakan dan disorot ke media adalah kejahatan penipuan masyarakat, hal ini tidak mengherankan, dan ada beberapa alasan untuk ini. Pertama, berpendapat bahwa sebaiknya polisi dan aparat terkait menggunakan waktu untuk memeriksa dan mengusut masyarakat kejahatan fisik, seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, atau aksi terorisme yang memakan banyak korban. Kedua, masyarakat yang menjadi korban penipuan jarang melapor ke polisi, biasanya mereka merasa malu karena telah ditipu, dan ada juga sebagian dari mereka yang beranggapan jika menghubungi polisi maka uang yang akan dikeluarkan nantinya akan bertambah, sehubungan dengan buruknya reputasi kepolisian Indonesia. Ketiga, ada pendapat di benak para korban bahwa siapa pun yang tertipu layak mendapatkannya, yang kasarnya ‘siapa suruh mudah dipercaya’.

Kita semua secara tidak sadar sering kali meremehkan masalah penipuan dengan kemasan-kemasan seperti buka kelas trading, kelas membership ekspor-impor, kelas finansial, kelas marketing, open membership reseller, franchise abal-abal, atau patungan urunan dana sebuah business project atau crowd funding dan lain sebagainya. Ketika terjadi kerugian atau tidak mendapat yang sesuai dengan yang dijanjikan maka yang dilakukan para oknum influencer tersebut adalah ‘mengedukasi’ para member-nya bahwa ‘investasi’ bisa naik atau turun. Hal tersebut tidaklah salah, memang benar investasi bisa naik ataupun turun tetapi yang menjadi perhatian adalah sebenarnya para influencer tersebut tidak benar-benar mengedukasi member-nya, tetapi hanya membuat narasi atau lebih tepatnya ‘ngeles’ supaya para member tersebut tetap tenang dan para influencer tetap bisa bersenang-senang dan flexing di media sosial dari uang hasil buka kelas para member tersebut. Ini tentu penipuan yang lebih halus dan aman dari binary option atau robot trading yang sedang ramai belakangan dan telah terciduk para oknum influencer-nya.

Lalu apa saja resep khusus dalam modus operandi yang biasa digunakan para oknum tersebut melancarkan aksinya? Nantikan di artikel bagian dua.

 

Daftar Pustaka

  • Fitz, Patrick, Robert & Taylor, Jon. 2005. Kaya Bersama Lewat MLM, Fakta Atau Ilusi?. Pustaka Pohon Bodhi. Jakarta.
  • Henderson, Les. 1999. Crimes of Persuasion. Coyote Ridge Publishing. Ontario, Canada.
  • Walsh, James. 1998. You Can’t Cheat An Honest Man. Silver Lake Publishing. Washington, United States of America.
  • Carnegie, Dale. 1998. How To Win Friends And Influence People. Gallery Books. Oklahoma, United States of America.
  • What is “Flexing”? And Why You Shouldn’t. https://strategylab.ca/. Diakses 6 April 2022.
Butuh bantuan?