From Ego to Eco

Home » Artikel » From Ego to Eco

Dilihat

Dilihat : 92 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 4
  • 29
  • 31,190
WhatsApp Image 2023-05-15 at 4.31.47 PM

Oleh: Jo Priastana

 

“The First law of ecology is that everything is related to everything else”

(Barry Commoner, Biologist)

 

Setiap tanggal 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Tidak dipungkiri rusaknya lingkungan yang menandai krisis alam dan banyak melanda di berbagai tempat sekarang ini, juga banyak disebabkan oleh ilmu pengetahuan modern. Epistemologi dalam sains modern bersifat dualisme, yakni memisahkan subyek dan obyek, manusia dan alam, roh dan materi. Ilmu pengetahuan modern didasari oleh pandangan tentang ego atau aku manusia yang mau menunjukkan kuasanya atas alam, dimana alam dipandang sebagai sesuatu yang obyektif dengan hukum-hukumnya sendiri.

Akibatnya, alam menjadi obyek eksploitasi manusia sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan, krisis alam di berbagai belahan bumi, dan menimbulkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Krisis ini tidak luput dari kerja sains modern dan ego manusia. Dalam kacamata sains modern yang menempatkan manusia berhadapan dengan alam, alam dipandang sebagai sesuatu yang objektif dengan memiliki hukum-hukumnya sendiri yang bersifat rasional mekanistik.

Epistemologi Barat yang mendasari sains modern ini berbeda dengan epistemologi Timur dalam hubungannya dengan alam. Pandangan filosofi Timur bersifat kebijaksanaan yakni menempatkan manusia sebagai suatu kesatuan dengan lingkungan alamnya (eco), dimana subyek dan obyek tidak terpisahkan. Manusia di Timur hidup dekat dengan alam dan memandang alam sebagai sesuatu yang organis-mistis yang dihampiri dengan penuh penghormatan dan bahkan pemujaan.

 

Rene Descartes dan Isaac Newton

Pandangan dalam filsafat Barat yang mendasari sains modern memisahkan diri manusia dengan alam, subyek terpisah dari alam yang dianggap bersifat obyektif. Pandangan ini menjadikan aku atau ego terpisah dari lingkungannya, bersifat dualisme sebagaimana yang terformulasi dalam rumusan filsafat Rene Descartes pada abad 17. Rene Descartes (1596-1650) mendasarkan pandangannya atas alam dalam pembagian dua wilayah yang terpisah dan independen, yakni pikiran (res cogitan) dan materi (res extensa).

Pandangan yang disebut Cartesian ini memungkinkan para ilmuwan untuk memperlakukan materi sebagai benda mati dan benar-benar terpisah dari diri mereka sendiri. Dunia materi dilihat sebagai sejumlah besar objek berbeda yang terhimpun dalam mesin raksasa. Isaac Newton (1643-1727) mengembangkan pandangan dunia sebagai mesin raksasa dan bersifat mekanistik. Newton merekonstruksi model mekanistik dan menjadikan pondasi fisika klasik.

Pada paruh kedua abad ke-17 dan akhir abad ke-19, model mekanistik Newton tentang alam semesta mendominasi hampir setiap bangunan pemikiran ilmiah bersama dengan filsafat Rene Descartes. Kedua pandangan peletak sains modern ini saling melengkapi satu sama lain. Filsafat Rene Descartes bukan saja penting bagi perkembangan fisika klasik, tetapi juga memiliki pengaruh yang sangat besar pada cara berpikir umum Barat hingga kini.

Rumusan terkenal Descartes, “Cogito ergo sum” – “saya berpikir, maka saya ada”. Rumusan yang sangat terkenal ini yang nyata menjelaskan ego identik dengan pikiran mengarahkan manusia Barat untuk menyamakan identitasnya dengan pikirannya sebagai ganti dari seluruh organismenya.

Konsekuensi dari pembagian Cartesian yang sangat individual ini adalah mereka menyadari diri mereka sendiri sebagai ego-ego yang terisolasi yang berada “di dalam” tubuh-tubuh mereka. Pikiran telah tercerai dari tubuh dan memberikan tugas tak berguna dengan mengawasinya, sehingga meledakkan konflik nyata antara kehendak sadar dan naluri-naluri tak sadar.

Selain itu juga menimbulkan fragmentasi batin yang tercermin dalam pandangannya terhadap dunia “luar” sebagai objek peristiwa yang terpisah dan beroposisi satu dengan yang lainnya. Lingkungan alam diperlakukan seolah-olah terdiri dari bagian-bagian yang terpisah yang bisa dieksploitasi. Pandangan yang terfragmentasi yang semakin luas ini, niscaya akan memandang lingkungan dan alam sebagai sesuatu yang terpisah dan bisa dieksploitasi sehingga mendatangkan berbagai rangkaian krisis: sosial, ekologi, dan budaya seperti yang tengah terjadi saat ini.

 

Mistik dan Sufi Timur

Bertolak belakang dengan pandangan filsafat Barat sebagaimana yang tercermin dalam filsafat dualisme Rene Descartes dan mekanika Isaac Newton, pandangan Timur tentang dunia adalah monisme-organik. Manusia dan alam merupakan suatu kesatuan, keutuhan yang bersifat organik. Dalam pandangan Timur, semua benda dan peristiwa yang disadari oleh panca indera adalah saling berkoeksistensi, saling terkait, berhubungan satu sama lain, sebagaimana dalam hukum Pratitya Samutpada Buddhisme, dan juga merupakan aspek-aspek atau manifestasi dari realitas dasar yang sama.

Kecenderungan dalam filsafat Barat yang membagi dunia sadar ke dalam masalah-masalah individu dan hal-hal terpisah dan memberikan pengalaman kepada diri sendiri sebagai ego-ego terisolasi dalam dunia ini sangat berbeda dengan pandangan Timur. Dalam pandangan Timur, kecenderungan pandangan Barat itu dianggap sebagai ilusi yang berasal dari mentalitas yang selalu dan melulu terukur dan terkategorisasi.

Dalam kebijaksanaan Timur, sifat pandangan Barat yang seperti itu dinamakan Avidya atau ketidaktahuan dalam filsafat Buddha. Sifat dualisme yang memisahkan manusia dan alam ini dianggap sebagai gangguan pikiran yang memunculkan keakuan atau ego.  Bagi dunia Timur diri manusia itu adalah suatu proses yang tak terpisahkan dari lingkungan alamnya, eco.

Meskipun ajaran-ajaran filsafat Timur yang bersifat mistis-religius berbeda dalam masing-masing ritusnya, tetapi pada umumnya mereka bersepakat menempatkan kesatuan dasar alam semesta sebagai unsur sentral ajaran. Tujuan tertinggi bagi para penganut filsafat Timur – Hindu, Buddha, Tao – adalah menjadi sadar akan kesatuan dan interrelasi yang saling bergantung dan menguntungkan dari setiap benda, melampaui makna tentang seorang ego dari individu yang terisolasi.

Pandangan Timur mengidentifikasikan diri dengan realitas dasar (ultimate reality) sebagai perluasan kesadaran yang melibatkan seluruh pribadi karena menyadari tidak terpisahkannya dirinya dengan yang lainnya, alam dan lingkungan, sebagai diri-eco. Perluasan kesadaran ini dikenal sebagai “pencerahan” (enlightenment), yang tidak semata sebagai tindakan intelektual tetapi juga pengalaman yang melibatkan seluruh pribadi dan religius dalam alam dasarnya. Karena itu, sebagian besar filsafat Timur mengenal konsep penyatuan dan jejaring sistem semesta yang menjadi filsafat religiusnya.

Dalam pandangan Timur, pembagian alam ke dalam obyek-obyek terpisah tidaklah fundamental, karena setiap objek memiliki karakter yang selalu berubah. Pandangan dunia Timur bersifat ekologis dan dinamis, secara esensial mengandung perubahan, fleksibilitas di dalam kesatuan semesta alam. Kosmos dipandang sebagai realitas yang tak terpisahkan, selamanya dalam gerak, hidup, organik, bersifat spiritual dan material pada waktu yang bersamaan.

 

Ekologis Saling Keterhubungan    

Dalam Buddhadharma, dharma yang bermakna agama atau religion berisikan tentang hukum kesunyataan. Hukum kesunyataan ini merupakan hukum alam yang meliputi apa saja, menyangkut apa pun yang ada di alam ini, baik yang menyangkut biotik seperti air, tanah atau bumi, udara, api maupun abiotik, manusia, hewan dan tumbuhan.

“Hewan seperti kucing, anjing, burung, nyamuk dan pepohonan, daun serta manusia, cahaya matahari semuanya adalah dharma. Dharma merupakan sesuatu yang sangat esensial. Buddhadaharma dapat dipandang sebagai sebuah agama yang menghargai alam, “an ecological religion or a religious ecolocy.”

Mari di tengah krisis alam, lingkungan, perubahan iklim, pemanasan global yang juga tercermin dalam berbagai bencana alam, seperti tanah longsor, kerusakan hutan, banjir, naiknya permukaan air laut, penurunan permukaan tanah yang juga disebabkan oleh faktor perkembangan sains modern dengan landasan filsafatnya yang bersifat rasional, dualistis, kita tumbuhkan pandangan filsafat kebijaksanaan Timur yang bersifat organis, suatu kesatuan dengan alam. Jauhkan diri yang bersifat ego-aku yang terpisah dengan lingkungan, dan sebaliknya menyadari bahwa hidup kita tidak terpisahkan dari semesta alam dalam diri yang ecologis, from ego to eco (JP).

***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA)

 

DAFTAR PUSTAKA:

Fritjof Capra., 1977.  “Tao of Physics,” Yogyakarta: Jalasutra (2001).

Harun Hadiwijono, 1980. “Sari Sejarah Filsafat Barat 2,” Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Jo Priastana, 2005. “Ada Apa Dengan Aku: Telaah Epistemology Filsafat Nagarjuna”, Jakarta: YasodharaPuteri.

Jo Priastana, 2017. “Cakra Peradaban: Buddhadharma dan Iptek”, Jakarta: Yasodhara Puteri

Martiner Bathchelor and Kerry Brown.1992. “Buddhism and Ecology”, New York: Cassel Publishers Limited.

sumber gambar: https://gardaanimalia.com/dari-antroposentrisme-menuju-bio-ekosentrisme/

Butuh bantuan?