Oleh: Jo Priastana
“The good life is one inspired by love and guided by knowledge”
(Bertrand Russell, 1872-1970, Filsuf dan Ahli Matematika Britania Raya)
Menyambut Hari Asadha, hari yang memperingati Buddha membabarkan ajarannya pertama kali mengingatkan kita akan perjalanan dan sejarah perkembangan agama Buddha melintasi zaman. Memasuki zaman globalisasi ini, Buddhadharma telah tanggap akan kemajuan umat manusia dengan tumbuhnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Sang Buddha sendiri mengawali pembabaran dharma dengan perumpamaaan roda (wheel), roda dharma (dhammacakka, the wheel of dharma).
Roda sebagai sebuah benda teknologi sederhana yang berbentuk bundar, roda (the wheel) memegang peranan penting didalam menumbuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi sampai pada tumbuhnya jejaring internet (the web). Sampai saat ini pun, roda dharma (dhammacakka) tetap berputar bersama jejaring internet (the web) guna mengatasi penderitaan manusia.
Jejaring internet (the web) menghantar hadirnya kehidupan modern di zaman globalisasi yang saling ketergantungan. Fenomena yang telah meresapi segenap manusia di muka bumi ini mengingatkan akan ajaran Buddha tentang nilai manusia universal dan fenomena kehidupan yang saling-tergantung dalam hukum saling ketergantungan (pratitya-samutpada).
Globalisasi dan Hukum Saling Ketergantungan
Mencermati modernitas dan globalisasi yang terjadi saat ini, akan terasa sekali makna ajaran Buddha tentang hukum sebab akibat yang saling tergantung atau pratitya samutpada. Hukum sebab akibat yang saling bergantung yang ditujukan pada fenomena penderitaan manusia dapat pula berlaku terhadap segala fenomena kehidupan di atas bumi ini.
Ciri utama globalisasi keterhubungan umat manusia di muka bumi sejalan dengan hukum saling ketergantungan, bahwa kehidupan manusia di satu belahan bumi mempengaruhi kehidupan manusia di belahan bumi lainnya. Begitu pula kesaling-terjalinan terjadi di antara berbagai sistem kehidupan.
Dengan mengeksplorasi berbagai teori dan pemikiran dalam Buddhadharma kiranya kita dapat menjaga keutuhan kehidupan manusia dari kecenderungan ekstrim dan negatif di zaman globalisasi ini. Berbagai kemungkinan negatif dan kecenderungan ekstrim itu diantaranya adalah:
Kehidupan uniformitas yang tanpa akar budaya, primordialisme sempit, fragmentasi yang tanpa visi mempersatukan, desentralisasi yang tanpa kekuatan mempersatukan, maupun fundamentalisme yang tanpa memiliki perspektif ke depan.
Teori-teori Buddhadharma dalam filsafat Hua Yen atau Avatamsaka yang bercirikan suatu totalitas kesatuan maupun dialektika yang saling melengkapi. Teori filsafat ini dapat menjadi sumber pemikiran kreatif untuk mengatasi segala kecenderungan yang bertentangan yang terjadi di dalam globalisasi.
Beberapa pokok pemikiran dalam filsafat Hua Yen itu adalah: universalisasi-partikulariasi, homogenisasi-diferensiasi, integrasi-fragmentasi, sentralisasi-desentralisasi, jukstaposisi-sinkretisasi. Begitu pula dengan teori enam sifat khusus dari unsur dharma yaitu: universalitas, partikularitas, keserupaaan, keanekaragaman, gabungan dan perbedaan, (Jo Priastana, Filsafat Mahayana, 2017).
Buddhadharma sebagai agama yang menekankan pada kesadaran juga memperhitungkan kekuatan positif dari pikiran atau rasio. Rasio dapat diaktualisasikan untuk kegunaan hidup manusia baik dalam memudahkan hidupnya di dunia maupun untuk saling berkomunikasi (rasio komunikatif) terutama di tengah kehidupan globalisasi yang saling bergantungan ini.
Dengan bersandar pada Dharma yang mengandung nilai kesadaran yang indah dan sempurna, maka setiap bentuk pengembangan nilai-nilai Buddhis merupakan juga cerminan dari kebenaran (ilmu), kebaikan (moralitas), dan keindahan (estetika). Ilmu, kebenaran dan keindahan adalah kawasan-kawasan budaya, cerminan dari kehidupan manusia yang sadar sesungguhnya, sadar sempurna.
Media Sosial dan Indra-Net
Sains memberi pengaruh besar pada perkembangan dan kecanggihan teknologi komunikasi. Media komunikasi dewasa ini melalui internet secara online yang dikenal sebagai media sosial, tampaknya mencerminkan apa yang dikatakan oleh Marshal McLuhan tentang media bahwa “the medium is the massage”, bahwa media adalah pesan itu sendiri.
Media sosial merupakan sebuah media online dimana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi, materi. Berbagai contohnya meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual.
Andreas Kaplan (lahir 1977) dan Michael Haenlein, Professor of Marketing at Europe Business School dan Co-Director of the ESCP Europe Research Center on Big Data yang merupakan ahli media sosial dan viral marketing.
Mereka mendefinisikan media sosial sebagai: “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang terbangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0, dan yang memungkinkan terciptanya penciptaan dan pertukaran user-generates content”. (Wikipedia 2017).
Sejarah media sosial berawal di tahun 1978. Bermula dari penemuan sistem papan bulletin yang memungkinkan berhubungan dengan orang lain berlanjut menggunakan surat elektronik atau mengunggah dan mengunduh perangkat lunak menggunakan saluran telepon dan modem.
Pada 1995 lahir situs GeoCities yang menjadi tonggak dari berdirinya website-website lain. Muncul situs jejaring sosial pertama yaitu Sixdegree.com (1997), meski didahului situs Classmates.com (1995). Tahun 1999 muncul situs untuk membuat blog pribadi, yaitu Blogger, situs yang menjadi tonggak berkembangnya Media Sosial.
Pada 2002 berdiri Friendster, tahun 2003 berdiri Linkedln dan MySpace. Tahun 2004 lahir Facebook, Twitter (2006), Wiser (2007), dan tahun 2011 lahir situs jejaring sosial Google+. Dilihat dari jenis dan fungsinya terdapat berbagai contoh Aplikasi Media sosial: (a) CNN, BBC, Detik, Okezone. (b) Google, Altavista, Yahoo dan website sejenisnya. (c) Youtube, seleb.tv, metacafe dan website sejenisnya, serta kemunculan-kemunculan yang baru lainnya dan seterusnya.
From the Wheel to the Web dan Yana ke-4
Melalui jaringan internet ini terdapat juga berbagai media sosial Buddhis, diantaranya: BuddhaZine, Samaggi Phalla, Dharmacitta, Segenggam Daun, Daun Bodhi, Bhagavant.com., SetangaiDupa.com, dan lain sebagainya.
Media sosial Buddhis ini mengemban misi Buddhadharma yakni berputarnya roda dharma dan sekaligus mencerminkan ajaran Buddha tentang Indra-Net. Adalah jejaring Indra yakni berlakunya hukum kesunyataan Saling-ketergantungan dan Saling-terhubung satu sama lain. Kita hidup di dunia saling berhubungan dan saling tergantung, tidak terpisahkan satu sama lain.
In the Buddhist teachings, there is a description of a huge net reaching in all directions with a multifaceted mirror-like jewel at each of the many knots, every jewel reflecting all the others. It is called the Jeweled Net of Indra and represents our inter-connectedness: See one and you see all within it. No one can be separated from or is independent of any other; take one away and the net becomes unusable. In other words, we are inter-related, interdependent, inseparable, and interconnected all at the same time, part of an integrated whole, not separate from the trees, elephants, owls, our neighbors, the people in South Africa or a river in India (Ed and Deb Shapiro, “Be the Change”, 2011: 184).
Sejarah menunjukkan teknologi menjadi hulu perubahan peradaban. Abad informasi dimulai dengan penemuan mesin cetak oleh Guttenberg. Abad industri dimulai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt. Internet dan kemudian media sosial hadir dan mengubah cara manusia terhubung satu sama lain ke tahap yang benar-benar baru.
Jejaring internet seperti Web di era digital ini menjadi simbol yang menunjukkan secara nyata Buddhadharma, sebagai suatu kompleksitas interkoneksi, sebuah perwujudan dari hukum kesaling tergantungan atau Pratitya-samutpada. Web merupakan simbol sunyata dan wujud nyata dari Hua-yen Sutra tentang Indra’s Net, jaringan Indra yang mencerminkan hukum agung saling ketergantungan.
Dalam buku “Teaching Buddhism in the West: From the Wheel to Web” (2002: xxiv-xxv), kumpulan tulisan mengenai pengajaran Buddhadharma di abad modern, diungkapkan: The Web is also a good symbol for Buddhist concepts. As a complex of inter-related connections, the Web is a good analogy for pratitya-samutpada; as a real phenomenon without any essential core, the Web is a good symbol for sunyata. But it more than just analogy and symbol. The Web is in fact a materialization of Indra’s Net, the net jewels in the Hua-yen Sutra in which each jewel reflects every other jewel and its reflections in an infinite net of unhindered mutual interpenetration. (xxiv).
Bahkan dalam buku yang diedit (editor) oleh Victor Sogen Horu, Richard P. Hayes and J, Mark Shileds itu diungkapkan pula kemungkinan akan kehadiran yana ke 4. Yana ke-4 melengkapi ke tiga-yana: Hinayana, Mahayana, Tantrayana sebelumnya ini berupa cyber-sangha sebagai kendaraan misi pengajaran Buddhadharma. Yana kontemporer Buddhadharma di zaman IPTEK, era digital.
“The phenomenon of the World Wide Web is changing Buddhism itself. Never before have all the teachers and Sanghas of every Buddhist tradition been in communication each other creating for the first time the possibility of a united cyber-sangha. It is now possible to talk of a fourth kaya or body of the Buddha, a fourth yana or vehicle of the teachings. The Web thus represents not mere a new set of skillful means of symbols for the teaching Buddhism, but also a new stage in the evolution of world Buddhism itself.” (xxv).
Kini kita hidup dalam global network society, masyarakat global yang saling tergantung, dimana jejaring internet (the web) menjadi kondisi yang niscaya. Inovasi teknologi telah menghantar umat manusia merambah kehidupan baru yang belum pernah dibayangkannya, dan hal ini tidak bisa diabaikan bila bangsa ingin bangkit meraih kemajuan. (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).