Happy Birth Day, Happy Dead-Day: The Continuities Day

Home » Artikel » Happy Birth Day, Happy Dead-Day: The Continuities Day

Dilihat

Dilihat : 135 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 56
  • 271
  • 82,559
Pic 1 Jan 2025
Oleh: Jo Priastana
 
“Saya tidak takut kematian. Saya telah mati miliaran tahun sebelum saya lahir
dan saya tidak menderita sedikit pun dari kematian.” 
(Mark Twain, Novelis Amerika Serikat).
 
Hari ini 29 Desember 2024, tanggal kelahiran yang tertera di KTP dan memang begitulah. Kelahiran adalah kematian, karena begitu kita lahir, begitu pula kematian telah menanti. Menyambut hari kelahiran yang kata orang sebagai happy birth day, setidaknya juga telah tersedia happy dead-day. Karenanya baik juga menulis sesuatu tentang kematian di hari hari kelahiran.
Meski perjalanan hidup sudah 66 tahun, senyatanya arung hidup ini serasa sekejap, seperti  kesadaran yang menandai hidup dan mengakhiri mati itu hanyalah sekejap, sepersekian detik, 1 ksana 0.01333 .. detik katanya (Visuddhi Magga, Ariya Karniawan,2024). Ksana merupakan ukuran satu waktu yang mungkin terkecil, smallest possible unit of time, the moment (kṣaṇa).
Hidup yang telah dilalui terasa sekejap. Peristiwa di masa kanak-kanak, remaja dan dewasa itu terasa baru saja berlalu. Hari-hari telah berlalu dan tak dapat diulangi kembali meski banyak lintasan pikiran yang mengumandang dari lubuk kalbu terdalam. Andaikan bisa kembali seperti dulu, mungkin banyak tindakan-tindakan yang baik, lebih baik dan terlebih baik yang bisa dilakukan. Meski segala yang terjadi tak patut disesali.
 
Situasi Batas
Hidup dan mati saling berkaitan dan berkelindan. Tak ada kehidupan tanpa kematian. Begitu pula dalam sekalipun dalam perspektif lokuttara, tiada kehidupan juga tiada kematian, kehidupan dan kematian selalu tertera meski tiada.
Perubahan dan pergantian tanpa henti. Arus kesadaran mengalir dalam setiap saat, setiap momen, tumbuh tenggelam tanpa henti. Kesadaran berlanjut, timbul tenggelam dalam kematian dan kehidupan. Tumbuh mati berlangung dalam setiap momen, redup dan nyala seperti musim datang silih berganti tak henti, tak putus.
Ketika mati kita bisa dikremasi atau dikuburkan. Manakah pilihan kita? Sampai saat ini saya sendiri masih kepingin dikubur. Alangkah indahnya nanti dimana di atas kuburan itu akan tumbuh bunga-bunga yang berwarna-warni, indah dan memberi keharuman, keharuman dari setidaknya sisa-sisa dari perbuatan baik yang saya berikan untuk dunia. 
Tulis Thomas Moore (1779-1852), penyanyi dan penyair Irlandia. “Dari tubuh saya yang membusuk, bunga-bunga tumbuh dan saya berada di dalamnya, dan itulah keabadian.” Kematian bisa datang kapan saja. Tetapi kita selalu melupakannya, meski baru berlaku dari rumah duka.
Kontributor Setangkaidupa.com, Bapak Suyena telah meninggal tanpa sempat memenuhi keinginan saya yang ingin berkenalan dan mengunjunginya. Saya tidak menduga bapak yang dikenal lewat tulisannya akan secepat itu meninggal, padahal saya ingin sekali berkenalan dengan beliau. Penulis kebijaksanaaan Timur yang rajin memberikan sumbangsih karyanya bagi setangkaidupa.com.
Kerap orang-orang yang kepingin saya jumpai, namun menunda-nunda tidak berpikir akan kematian yang setiap saat bisa menjemputnya, akhirnya hanya mendapat kabar sudah berlalu. Lupa akan adanya batas waktu, bahwa manusia itu diliputi oleh situasi batas, bagai garis demarkasi yang memisahkan  dunia sini dan dunia sana.
Karl Jaspers (1883-1969), seorang filsuf dan psikiatris dari Jerman mengatakan, bahwa kematian selalu menghadapkan manusia pada “situasi batas” (grenzsituationem), tidak tahu kapan itu datang. Kematian sebagai sebuah kepastian, kata Jaspers, menandakan suatu perjalanan manusia tentang ketidakmampuan asasi manusia yang sifatnya eksistensial.  
Dan karena tidak tahu kapan datangnya, maka sepantasnya hal ini mendesakkan diri manusia untuk selalu mawas diri, bisa berbuat baik dengan tanpa memegahkan diri, sekalipun sedang menikmati hasil dari sebuah prestasi yang sudah diperjuangkan lama, tanda kesukesan hidup dunia, prasasti perjalanan hidup.
 
Kebebasan
Soal kematian, ada pandangan fisuf eksistensialis, Martin Heidegger (1889-1976), ahli filsafat Jerman. Ia menganalisis kematian dalam karyanya “Sein und Zeit (Being and Time).” Saya terkesan dengan pemikiran Heidegger tentang kematian, karena pandangannya itu menjadikan seseorang itu hidup otentik. Menuju ketidakterbatasan. 
Kematian mengingatkan tentang siapa manusia itu sesungguhnya untuk menyelami otentisitasnya, meski justru kematian sering melupakan manusia, manusia melupakannya dan selalu menghindarinya. Keterlupaaan karena manusia terpukau dengan hidup di dalam arus keduniawiaan yang terbatas. 
Pandangan Heidegger mengenai kematian dikaitkan dengan keotentikan eksistensi manusia dan ditunjukkan untuk mengungkapkan keterbukaan manusia pada wujud (Sein). Konsep maut yang tak terhindarkan ini pada dasarnya telah tertanam sejak awal dalam struktur ontologisme eksistesi. Setiap bayi lahir sudah berada di jalan kematian.
Eksistensi manusia dapat didefinisikan sebagai “sein-sum-tode, wujud-menuju-kematian.’’ Meski demikian, Heidegger melihat peran positif dari kematian. Heidegger mengajarkan justru kematian yang memungkinkan kehidupan memiliki makna (bungbesar.multiply.com). Kematian adalah faktor asasi dalam eksistensi manusia yang terbatas. 
Heidegger mengajak kita untuk hidup dalam antisipasi realistik atas kematian. Dalam menghadapi kematian, tak ada orang lain yang berpartisipasi. Dan di situlah manusia menjadi bebas dan otentik. Semua orang harus menantikan kematian dan mengantisipasi kematian yang tak terelakkan. Hanya dalam kebesaran yang tragis dan sepi dari kematian itulah, manusia dapat menemukan dirinya sendiri.
Kebebasannya menjadi “freiheitzumtode, kebebasan-menuju-kematian.” Dengan rumusan perspektif Heidegger menuju akhir kehidupan (eskaton), maka hidup akan dihayati dengan intensif dan ekstensif, dalam arti hidup yang tidak dilihat nilainya dari panjangnya umur melainkan dari makna yang dihayatinya. 
Menurut Heidegger, kematian dapat mendidik manusia. Bukan kematian itu sendiri, juga bukan kesadaran bahwa sesuadah mati masih terus ada/hidup. Yang mendidik manusia adalah kondisi “kemungkinan akan datangnya maut” yang disadari manusia. Persis apa yang diujarkan oleh Buddha tentang marananussati, perenungan kematian.  
Perenungan kematian memiliki nilai kebaikan dan manfaat, karena dengan perenungan atau kesadaran akan kematian ini akan dimungkinkan manusia menjalani hidupnya dengan intensif dan ekstensif dalam sejumlah kebaikan-kebaikan. Kematian juga memiliki nilai edukatif tentang makna kepemilikan.
Pengikut Marxisme, Roger Garaudy (1913-2012), seorang ahli filsafat Prancis, mengungkapkan bahwa kematian mengajarkan bahwa sebenarnya dalam hidup, manusia tidak pernah sepenuhnya “memiliki” sesuatu karena kematian menghapus segala kepemilikan personal dan segala milik pribadi. Marxisme memang mengajarkan tiada kepemilikkan pribadi.
 
Mati Sajening Hurip
Ada kebijaksanaan Jawa tentang kematian. Seperti misalnya yang tercermin dalam Syaikh Siti Jenar. Tokoh Wali ini memandang kehidupan manusia di dunia ini disebutnya sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian justru dia sebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi (Wikipedia.org). 
Menurut pandangan Syaikh Siti Jenar (1426-1517), “Dunia ini adalah alam kematian.” Dunia adalah alam kubur dan raga adalah sebuah terali besi yang menahan jiwa berada di dunia dan merasakan kesusahan di dunia, seperti haus, lapar, dan kesedihan. Hakikat hidup adalah ketika kekal selamanya dan tak tertimpa kematian. Ketika manusia lahir, dia sebenarnya lahir untuk menuju kematian. Dunia bukan jalan hidup, tetapi jalan menuju kematian. Hidup yang sebenarnya adalah tanpa raga, telanjang dalam wujud frekuensi murni (henkykuntarto.wordpress.com). 
Syaikh Siti Jenar sendiri tak lagi punya rasa takut menghadapi kematian. Kabarnya beliau mati dihukum pancung oleh para wali, dan juga ada yang bilang memiliki kematian sendiri. Syaikh Siti Jenar menyambut kematiannya dengan sukacita: “Menuju kehidupan yang sebenarnya,” Seperti Socrates yang dihukum mati dengan meminum racun dan menyambutnya dengan bahagia, happy dead-day”. 
 
Renungan Kematian Marananussati
Kalau kehidupan adalah juga jalan kematian, maka di hari lahir, hari awal hidup atau hari berkelanjutan adalah juga hari yang sangat baik dan tepat untuk marananussati atau merenungi kematian. Melakukan praktik perhatian pada kematian, atau pemutusan indria kehidupan yang disebut kematian. Apakah manfaatnya? 
Kita dengarkan wejangan Sang Buddha. “Dia yang mempraktikkan perhatian pada kematian memiliki ketekunan dalam hal kondisi-kondisi yang lebih bermanfaat, dan ketidaksukaan sehubungan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Dia tidak menimbun pakaian dan perhiasan. Dia tidak pelit. Dia bisa hidup lama, tidak melekat pada benda, diberkahi dengan persepsi ketidakkekalan, persepsi tunduk pada penyakit dan persepsi bukan-diri. Dia pergi dengan baik dan mendekati kenikmatan surgawi. Ketika dia akan mati, dia tidak menderita karena kebingungan.” (Vimutti Magga, Penerjemah Arya Kariawan, 2023, hal 324-331)).
Simak pula, “Ada tiga jenis kematian, menurut pendapat umum, kematian sebagai pemutusan total, kematiaan sesaat. Apa itu? “Kematian menurut pendapat umum”, seperti yang dipahami dalam bahasa umum. Kematian sebagai pemutusan total berarti “Yang Sempurna telah memutus kekotoran batin. “Kematian Sesaat” berarti “kematian sesaat semua bentukan.” 
Selain itu, ada “kematian sebelum waktunya (akalmarana), seperti bunuh diri, karena penyakit, terputusnya kehidupan tanpa sebab. Kematian karena habisnya usia hidup atau karena usia tua atau disebut kematian saat waktunya (Kalamarana). 
Seseorang dapat mempraktikkan marananussati atau perhatian pada kematian “melalui ketiadaan tanda (animittato). Tidak adanya tanda menunjukkan tidak ada waktu yang pasti untuk kematian. Seseorang juga bisa mempraktikkan perhatian pada kematian “melalui momen yang singkat (khanaparittato). 
Marananussati ini menunjukkan jika seseorang memperhitungkan penyebab saat ini dan bukan penyebab masa lalu atau masa depan, maka makhluk ada tetapi hanya satu saat sadar. Tidak ada yang untuk dua saat. Dengan demikian, semua makhluk tenggelam dalam momen sadar (cittakkhana).
Renungan yang bagus ini diajarkan di dalam Abhidhamma sebagai berikut: “Pada saat sadar masa lampau, seseorang tidak hidup, ia tidak hidup, ia tidak akan hidup. Pada saat sadar di masa depan, ia tidak hidup, dia tidak akan hidup. Pada saat sadar di masa ini, dia tidak pernah hidup, dia tidak akan hidup, hanya dia sedang hidup. Makhluk yang disebut masa kini tidak ada di masa lalu dan tidak akan ada di masa depan. Sebuah syair (Nd 42, 117-118) mengungkapkan, “Hidup dan kepribadian, penderitaan, kebahagiaan dan semua bergabung dengan satu pikiran; dengan cepat momen berlalu. Oleh yang belum-menjadi, tidak ada yang lahir; oleh masa kini seseorang hidup. Ketika pikiran hancur, dunia mati, sehingga akhir dunia telah diajarkan.”
 
Happiness dan Ksanika
Pada perjalanan hidup yang kata orang memasuki usia emas, di atas enam puluh tahun. Lama panjangnya hidup, umur tampak relatif, dan bila memandang ke belakang hidup yang telah dijalani terasa sangat singkat, mungkin seperti ksana atau momen singkat untuk kita menyadari bahwa hidup itu memang singkat, sesingkat-singkatnya. Sesingkatnya. Serasa sekejap, sepersekian detik dari kesadaran.
Baiknya jadikan hidup bermanfaat dengan menghidupi sepenuhnya sadar dari momen yang singkat yaitu khanaparittato, yang ditransliterasi sebagai ksana. Hitungannya: 120 ksana = 1 tatksana; 60 tatksana = 1 lava; 30 lava = 1 muhurta; 30 muhurta = 1 hari 1 malam. (Abhidharmakosa, Jilid 12). Oleh karena itu 1 ksana = (24x60x60)/30(3030x60x120) = 1/75 = 0.01333 detik. Cittakkhana, sadar sesaat, 0.0013…detik. Sekejap itu hidup. 
Ksana adalah smallest possible unit of time, the moment. Kesadaran sesaat yang menandai hidup dan mengakhiri mati itu, hanyalah sekejap, sepersekian detik, 1 ksana = 0.01333 detik katanya (Visuddhi Magga, Penerjemah Arya Karniawan, 2024). Saat manusia lahir saat itu, sesaat itu pula kematian menanti. Saat, sesaat hari kelahiran sesaat itu pula hari kematian menanti.
Happy birth day adalah happy dead day, the day of continuity, an individual consciousness continuum (citta-samtana) mengalir sekejap dalam kekosongan waktu. Lalu kelahiran dikatakan sebagai suffering (duka) itu, – begitu juga dengan kematian. Karenanya ketika kelahiran dirayakan sebagai happy birth-day, sepantas juga dengan hari kematian, happy-dead-day.
Dalam rentang hidup dan mati dalam perjalanan hidup, dari lahir sampai kematian, terdapat suka dan duka, ketika suka datang duka mengintip dibaliknya, ketika duka datang suka menanti di sebaliknya, dua sisi dari satu koin yang sama, sama-sama tidak permanen. Lalu, adakah the true happiness, the eternal life mengintip di batas dualitas kehidupan? (JP) ***
 
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
 
Sumber gambar: https://www.facebook.com/groups/301314727699645/permalink/858972875267158/
 
error: Content is protected !!
Butuh bantuan?