Oleh: Jo Priastana
“Pikiran yang tenang membawa kekuatan batin dan rasa percaya diri,
sehingga itu sangat penting untuk kesehatan yang baik”
(Dalai Lama XIV)
Di tengah kehidupan manusia yang disilaukan oleh gaya hidup, konsumerisme dan beban kerja yang tidak lagi bermakna, manusia tampaknya menjalani kehidupan tidak lepas dari penderitaan. Setiap orang menanggung swastika penderitaannya masing-masing; mereka sakit menderita, mencari obat penderitaan, meyakini adanya kebahagiaan dimana penderitaan tak ada dan siap menjalani agar bebas dari penderitaan.
Siapa saja terkena oleh penderitaan yang bisa jadi berakar pada pandangan hidup yang ekstrem karena disilaukan oleh peradaban yang materialistik-duniawi. Tidak saja kalangan yang berekonomi kuat tetapi juga para pejabat, anak muda, kalangan terdidik dan masyarakat pada umumnya galau dengan pemburuan sukses material-duniawi yang pada akhirnya mendatangkan kebingunan dan kesakitan. Kehidupan saat ini pun penuh dengan orang-orang sakit karena tidak seimbang dan tidak utuh dalam menjalani kehidupan.
Meski sukses, kaya, giat bekerja namun sepertinya terbebani penderitaan sehingga hari-hari hidupnya serasa sebagai beban. Karenanya, bila di sana-sini orang bilang perlu healing karena berlibur artinya bukan lagi holidays, itu menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalani hidupnya dengan penderitaan, seakan hari-hari kerja itu membawa beban penyakit yang perlu pernyembuhan alias healing ketika hari tiada kerja atau libur datang.
Pikiran dan Spiritualitas Kesehatan
Orang perlu merestart pandangan hidupnya kembali. Pandangan hidup yang benar penting untuk dapat menjalani hidup dalam kesehatan yang holistis. Adalah Deepak Chopra, MD yang akhir-akhir ini sangat getol menggemakan kesehatan yang bersifat holistis, kesehatan yang menyeluruh antara fisik, jiwa dan spiritual.
Dalam bukunya “Quantum Healing: Exploring the Frontiers of Mind/Body Medicine” (Bantam Book: 2002), tokoh psikologi spiritual ini melansir suatu penelitian spektakuler yang membuktikan bahwa sejumlah zat kimia, yang sebelumnya diyakini hanya dihasilkan di otak, ternyata dihasilkan pula oleh sel-sel di dalam kelenjar-kelenjar tubuh lainnya.
Penelitian ini menelurkan hasil mengenai pemahaman manusia secara holistis, kesatuan tubuh dan jiwa dimana intelegensi itu tak hanya dilokalisasi di saraf pusat, namun juga terdapat di keseluruhan jaringan tubuh. Penelitian ini melengkapi visi ilmu kedokteran tradisional mengenai tubuh dan pikiran, mind and body yang bersifat dualisme.
Dalam ilmu kedokteran tradisional yang dilandasi oleh filsafat Rene Descartes yang menjadi dasar ilmu kedokteran abad 17, tubuh dipahami sebagai sesuatu yang mekanis, dimana tubuh terpisah dari aku atau jiwa. Dalam pengertian seperti ini, maka dokter bagaikan seorang mekanik yang mereparasi mesin fisik yang dikenal sebagai tubuh manusia. David Simon MD, dalam “The Wisdom of Healing” (2006) menyebutkan bahwa dalam model biomedis seperti itu, sang dokter mendekati pasiennya layaknya seorang polisi menginterograsi korban suatu kejahatan.
Dalam pemahaman kesatuan tubuh dan jiwa, tubuh diibaratkan sebagai sebatang sungai atau hamparan jagad raya dengan jaringan intelegensia yang luar biasa. Setiap bagian elemen tubuh sekecil apapun mengandung energi-energi jiwa. Selain itu keberadaan tubuh itu tidak bisa dipisahkan dari aspek lingkungan atau ekologis dimana dia tumbuh bersama kehidupan lainnya.
Akhirnya pandangan holistis, kesehatan yang menyeluruh ini tidak semata menekankan kesatuan tubuh dan jiwa namun juga kesalingtergantungan eksistensi kehidupan manusia dengan lingkungannya. Kesatuan manusia dan kosmos dimana penyakit, kecenderungan emosional dan bahkan kebahagiaan spiritual berkaitan dengan nutrisi dan obat-obatan herbal serta spiritualitas.
Dalam buku “Religious Therapeutics Body and Health in Yoga, Ayurveda and Tantra,” George P. Fields (Albany, N.Y., State University of New York Press, 2001) yang mengungkapkan tentang kesehatan dalam ajaran Hindu kuno seperti dalam Ayurveda, Tantra dan Yoga juga disebutkan mengenai tubuh dan kesehatan sebagai sebuah bentuk terapi religius.
Dalam Yoga tubuh dianggap sebagai sarana untuk mentransendensikan dirinya sendiri, yakni mewujudkan tubuh pencerahan. Tubuh merupakan dasar dari kesehatan, sedangkan kesehatan itu sendiri memiliki faktor-faktor penyebab secara holistis, seperti biologis, ekologis, medis, psikologis, sosiokultur, estetika, metafisika dan religiusitas.
Kesehatan dipandang lebih dari sekedar kesehatan fisik. Ada dimensi religius dalam kesehatan holistis yang berbeda dengan ilmu kesehatan medis modern yang hanya mengobati tubuh sebagai subjek berdasarkan hukum-hukum psikokimiawi.
Kesehatan sebagai wujud terapi religius ini memfokuskan pada kesehatan menyeluruh dan berkaitan dengan pembebasan akhir. Ilmu kedokteran medis Barat sesungguhnya juga telah melihat hubungan antara tubuh dan jiwa, seperti dalam penyakit psikosomatis dan psikoneurologis.
Pikiran, Meditasi dan Kesehatan
Sebagaimana dengan ilmu kesehatan kuno India dalam Ayurveda, Yoga dan Tantra maupun kitab I Ching yang menekankan kesatuan jiwa dan tubuh, manusia dan kosmos serta kesehatan bersifat holistis berkaitan dengan pembebasan penderitaan, maka dalam Buddhadharma pun terungkap hal yang senada.
Dalam Buddhadharma manusia itu kesatuan Rupa dan Nama dan juga terkait dengan hukum kesalingtergantungan dengan alam semesta. Karenanya, kesehatan yang membawa kebahagiaan sejati, perdamaian dan pembebasan penderitaan itu adalah kesehatan yang bersifat holistis, menekankan kesatuan tubuh dan jiwa, serta alam lingkungan.
Langkah awal dalam mencapai ini adalah mendisiplinkan dan mengendalikan pikiran dalam meditasi. Pikiran harus terlatih dan dapat diatasi seperti dalam praktik meditasi. Kesehatan meliputi fisik maupun mental dan juga bermakna spiritual, kesatuan subyek dan kosmos serta pengalaman atau pencapaian akhir dukkha.
Bila pikiran bisa menjadi penyebab dari dukkha dan tak dapat menikmati kesehatan yang sepenuhnya, maka kesehatan yang sepenuhnya itu atau akhir dari dukkha adalah berkenaan dengan sesuatu yang mengatasi pikiran yang bersifat dualistis di dalam keberhasilan bermeditasi yang memperhatikan segenap aspek tubuh dan kerja indera-indera apa adanya.
Kesehatan jadinya adalah sesuatu yang memang dialami, sebagaimana pengalaman meditasi yang mengatasi pikiran seperti dalam kenyamanan tubuh. Kesehatan ini hasil dari latihan praktik meditasi seperti yang tersurat dalam Bahiya Sutta:
“Maka, Bahiya, berlatihlah demikian: di dalam yang terlihat hanya ada yang terlihat, di dalam yang terdengar hanya ada yang terdengar, di dalam yang tercerap hanya ada yang tercerap, di dalam yang teringat hanya ada yang teringat… Bila bagimu (hanya ada itu) … maka, Bahiya, kamu tidak ada. Inilah hanya inilah akhir dukkha.” (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).