Oleh: Jo Priastana
“The limits of my language are the limits of my mind.
All I know is what I have words for”
(Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, 1953)
Teks-teks kitab suci memang sepantasnya dibaca dan dijadikan tradisi. Namun begitu, pembacaan teks-teks kitab suci itu tentunya memerlukan penghayatan dan pemahaman yang dalam akan makna yang terkandungnya. Karenanya ujaran-ujaran Buddha sebagaimana yang terangkum dalam teks suci Tripitaka yang terklasifikasi dalam tiga bagian: Sutta, Vinaya (ajaran dan peraturan) dan Abhidhamma yang sangat perlu dipelajari. Studi kitab suci ini tentu saja tidak bertentangan dengan metode saintifik yang selalu bersikap kritis dalam menemukan kandungan makna yang sesungguhnya
Dalam sistem pendidikan Buddhis yang berkembang, teks-teks kitab suci pun perlu dipelajari agar substansi pesan yang terkandung didalamnya dapat dipahami. Memang sangat gamblang dan jelas bahwa prinsip utama yang terkandung dalam kitab suci adalah memberikan penekanan pada perkembangan moral seperti menghentikan kejahatan, menambah kebaikan, dan pertumbuhan mental-batin dalam meditasi dan pengembangan kebijaksanaan.
Namun begitu, dalam keluasan dan kedalaman kitab suci Tripitaka itu, tidak tertutup kemungkinan juga bertebarannya teks-teks yang tampaknya tidak sesuai dengan pemahaman secara rasional dan logis saat ini. Untuk itu, dalam pendidikan Buddhadharma tentang Tripitaka, pembelajaran kitab suci diarahkan untuk dapat menangkap makna, substansi yang sesungguhnya dari pesan-pesan yang dibawa teks-teks suci itu.
Hermeneutik dan Kajian Kitab Suci
Kitab suci dan literatur Buddhis lainnya tidak lepas dari bahasa yang dikenakan dan digunakannya pada masanya. Begitu pula dengan pembentukan teks-teksi suci Buddhadharma yang tidak dapat dipisahkan dari pengaruh budaya pada masanya. Terdapat aspek kontekstual yang bersifat historis, sosiologis, serta budaya dibalik terbentuknya teks-teks yang kemudian dianggap suci.
Seringkali teks-teks suci ini luput dipelajari secara kritis untuk menangkap pesan dan makna yang sesungguhnya. Untuk keluar dari keyakinan yang membuta yang tinggal kepercayaan saja dan dalam rangka untuk mampu menangkap substansi pesan yang sesungguhnya, kitab suci pun perlu dipelajari secara kritis dan terbuka, diantaranya dengan melibatkan kajian secara hermeneutis.
Hermeneutika merupakan salah satu metode dalam filsafat yang berhubungan dengan rasionalitas dalam memahami teks. Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos dari kata hermeneuo yang berarti interpretasi. Dalam The Concise Oxford Dictionary of Current English (1954:562) hermeneutika yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris hermeneutic memiliki arti interpretasi dari sesuatu (of interpretation).
Interpretasi terutama dari Kitab Suci (interpretation especially of Scripture). Sumaryono (1993: 23-24) mengartikan kata hermeneutic sebagai ungkapan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata, yang merupakan usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya gelap ke dalam bahasa yang maknanya lebih jelas.
Hermeneutika sebagai metode interpretasi teks berusaha menangkap substansi makna atau pesan teks yang sesungguhnya secara kontekstual. Kontektualitas baik ketika teks itu muncul maupun kontekstualitas pembacanya. Segi tiga hermeneutik berkenaan dengan teks, pencipta teks atau pengarang, dan pembaca atau penerina pesan teks.
Peran hermeneutika menjembatani jarak yang bersifat kontekstual ketika teks muncul dengan penerima teks untuk menangkap pesan yang sesungguhnya. Teks sepertinya tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, baik konteks masa lalu ketika teks itu muncul maupun konteks masa kini ketika masyarakat hendak memahaminya.
Melihat kontekstualitas teks sangat penting sebagaimana ditekankan oleh tokoh pluralisme Prof. Dr. Musdah Mulia. Pemikir Islam, pejuang feminisme ini mengemukakan: “untuk memahami ajaran sebuah agama seperti Islam seharusnya kita tidak terpaku hanya pada teks-teks suci yang normatif. Diperlukan kemampuan menggali pesan-pesan moral yang terkandung dibalik teks-teks tersebut. Itulah yang dimaksudkan dengan aspek kontekstual berupa realitas historis, politis dan sosiologis yang berkembang dalam masyarakat ketika teks-teks suci diwahyukan.” (Prof. Dr. Musdah Mulia, Tanggapan Atas Pemikiran Denny JA dalam buku Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama, 12/4/2023, Esoterika Forum Spiritualitas).
Hermeneutik Buddhis
Dalam Buddhadharma, hermeneutik juga dikenal. Buddhis Hermeneutik atau interpretasi teks ajaran Buddha mencakup kegiatan yang menguraikan langkah-langkah dalam menginterpretasikan, memahami serta melaksanakan ajaran Buddha secara bertahap dan berkesinambungan. Mulai dari hal-hal mendasar dan bersifat konkrit konvensional (samutti) sampai hal-hal tertinggi dan bersifat abstrak irasional (paramattha).
Kitab Netti Pakarana (The Guide) dan Kitab Petakopadesa (The Pitaka Disclosure) merupakan salah satu kitab yang berisi metode dalam memahami ajaran Buddha. Berisi uraian yang mengelompokkan Dhamma yang telah diajarkan Buddha secara bertahap dan berkesinambungan mulai dari praktek dasar sampai praktek tertinggi dalam melaksanakan Dhamma.
Hermeneutik (hermeneutic) dalam bahasa Pali adalah anuvada atau anuvadayatta (Buddhadatta Mahathera, 1979:245). Anuvada (berasal dari kata kerja anuvadati) yang artinya menyalahkan (blaming), mencela (censure), memberi peringatan (admonition), sedangkan kata vadanuvada diartikan sebagai percakapan (talk), dan percakapan kecil atau tambahan (lesser oradditional talk) (Davids & Stede, 1986:42).
Jadi dalam agama Buddha yang dimaksud hermeneutika merupakan suatu percakapan dalam bentuk catatan tambahan yang diberikan (komentar atau tafsir) terhadap suatu teks atau kalimat yang terdapat dalam kitab suci (Tipitaka). (Davids & Stede, 1986:33-34).
Kajian hermeneutik juga berkaitan dengan mitos. Bahkan kata yang tidak dikaji lagi makna yang sebenarnya dapat menjadi mitos. Didapatkan bahwa mitologi merupakan salah satu bentuk unsur adaptasi dan peleburan ajaran Buddha terhadap pola sosial dan budaya masyarakat setempat dimana ajaran Buddha berkembang. Mitologi merupakan suatu hal yang dipercaya benar secara konvensional (samutti sacca).
Tugas hermeneutik Buddhis adalah sebagai pembimbing (as a guide) untuk memahami ajaran Buddha termasuk mitologi yang terkandung didalamnya secara bertahap dan berkesinambungan pada kebenaran tertinggi (paramattha sacca). Sebuah teks yang diulang-ulang turun menurun dan tanpa dipertanyakan lagi bisa menjadi mitos yang dipercayai begitu saja.
Dekonstruksi Mitos Perempuan Penggoda
Sebuah contoh sangat baik dilakukan oleh Kustiani sehubungan dengan mitos perempuan sebagai makhluk penggoda. Dalam papernya untuk seminar Buddhist International Sakyadhita Conference (2023) ia mengetengahkan pembahasan tentang Gender Stereotype and Impermanence dalam papernya yang berjudul “The Evolution of ideas of Feminity in the Concept of Mara: A Gender Analysis,” ia menggugat konsep Mara sebagai makhluk penggoda yang identik dengan perempuan.
Gugatannya terhadap konsep Mara yang bias gender terdapat dalam abstrak dari papernya tersebut seperti yang dinyatakannya berikut ini ”Indian beliefs accepted the existence of many gods. One of them was the god of death, known as Mara. Mara is a term that has been in existence for a long period of time in Indian beliefs, mythology, demonology, and in the Vedic texts. In many Buddhist text, Mara physically transform into a woman. For example, the Padhana Sutta describes the temptation of Prince Siddhartha by Mara (as a woman) on the banks of the Neranjara River. The Maradhitu Sutta describes the temptation of the incipient Buddha by the three daughters of Mara, namely: Tanha (Craving), Arati (Boredom), and Raga (Lust). It is often taken for granted that the figure of Mara is a woman or women. However, a discourse in the Ekanipata if the Anguttara Nikaya mentions that a woman cannot become Mara, which introduces a contradiction. In many instances, Mara appears in the form of a woman. This paper questions these contradictions in the conceptualization of Mara in order to examine the evolution ideas regarding the feminine in Buddhism”.
Peran hermeneutika sebagai metode interpretasi teks sangat terasa dalam paper Dr. Kustiani itu. Dosen di Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra ini melihat konsep Mara sebagai sesuatu yang bersifat kontekstual, historis dan evolutif, bukan sebagai suatu konsep yang statis dan tunggal pemahamanan.
Pada mulanya dalam tradisi budaya religius India, konsep Mara itu dipahami sebagai dewa maut, kemudian dalam teks Buddhis berevolusi menjadi makhluk penggoda yang identik dengan jenis kelamin perempuan. Padahal menurutnya, didalam sutta-sutta lainnya seperti Anguttara Nikaya, makhluk berjenis kelamin perempuan tidak dapat menjadi sosok Mara tersebut. Dengan begitu kita dapat melihat beberapa pemahaman konsep Mara. Pemahamannya ini penting dilihat secara kontekstual dan bersifat hermeneutis atau interpretatif dan penafsiran.
Mengatasi Keyakinan Buta
Hermeneutika adalah kegiatan melakukan penafsiran dan memberikan komentar terhadap makna simbolis dalam kitab suci. Kegiatan hermeneutika mencakup demitologisasi teks, yaitu menafsirkan kembali suatu gaya bahasa atau teks yang telah menjadi atau mengandung mitos dan bahkan takhayul yang hanya memiliki makna harafiah-tekstual dan memiliki pesan moral religius tertentu.
Selain teks bisa menjadi mitos, keyakinan yang membuta, agama pun pada perkembangannya tak lepas dari selubung mitos. Untuk itulah, bisa dimengerti bila para pembabar dan pendiri agama dimasanya memanfaatkan mitologi dalam menyampaikan ajarannya agar dapat mudah dipahami karena sesuai konteks masanya.
Kitab suci yang merupakan ajaran agama tertulis yang tidak luput dari selubung mitos dan teks-teks yang menjelma menjadi mitos. Untuk itu, hermeneutika sangat penting dan berguna dalam mengurai selubung mitos, dalam mendekonstruksi teks-teks agama yang sudah menjadi dogma dan mitos agar makna dan substansi yang sesungguhnya dari suatu ajaran dapat ditemukan. Dengan begitu keyakinan agama tidak lagi menjadi buta dan sebaliknya terang dalam cahaya rasionalitas, pemahaman dan spiritualitas! (JP). ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).