Hidup Bersama Kohabitasi atau Kumpul Kebo (1) – Cinta Dalam Kepraktisan dan Filosofi Kebebasan

Home » Artikel » Hidup Bersama Kohabitasi atau Kumpul Kebo (1) – Cinta Dalam Kepraktisan dan Filosofi Kebebasan

Dilihat

Dilihat : 56 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 71
  • 271
  • 82,574
Pic 3 kumpul

Oleh: Jo Priastana

 

“Man is condemned to be free; because once thrown into the world,

 he is responsible for everything he does”

(Jean Paul Sartre, 1905-1980, Filsuf Eksistensialis Prancis)

 

Marak kumpul kebo di RI, alasannya: biaya nikah tinggi, uji relasi, proses cerai rumit, nilai sosial bergeser (Facebook azqia cute/27-6-25 dan instagram pandemictalks/28-6-25/Tirtoid/11/6/25). Dari medsos itu dan pernyataan Prof. Nasaruddin Umar, Menteri Agama tentang fenomena kumpul kebo atau tinggal bersama tanpa pernikahan resmi tampaknya semakin marak, terutama di kalangan pasangan muda. Mereka memilih kohabitasi (hidup bersama) lebih menyangkut kepraktisan karena melihat pernikahan sebagai sesuatu yang mahal, rumit serta administratif dan sarat tekanan sosial. Secara umum pasangan yang memilih jalan hidup bersama tanpa nikah ini cenderung berasal dari latar pendidikan menengah ke bawah, bekerja di sektor informal.

Banyak faktor yang menjadi latar belakang meningkatnya kohabitasi itu, seperti: ekonomi, sosial, dan kultural, atau pengalaman masa kecil yang buruk dalam keluarga. Mahalnya biaya pernikahan dan sulitnya proses perceraian membuat banyak pasangan memilih hidup bersama tanpa ikatan hukum. Namun begitu, samenleven (kohabitasi) juga menghadapi risiko tinggi dalam relasi, seperti konflik rutin, pisah ranjang, hingga kekerasan dalam rumah tangga, dan menyisakan banyak kerentanan, terutama bagi perempuan dan anak, mulai dari kurangnya perlindungan hukum, ketidakpastian nafkah, hingga dampak psikologis.

Samenleven tumbuh bisa juga karena pengaruh nilai-nilai Barat, pergaulan internasional, keinginan untuk ‘menguji’ hubungan sebelum menikah maupun dalam tataran pandangan dan makna hidup. Ada nilai filosofis samenleven, atau cohabitation, hidup bersama tanpa pernikahan, seperti tentang kebebasan eksistensial. Ada pasangan filsuf Prancis Jean-Paul Sartre (1905-1980) dan penulis feminis Simone de Beauvoir (1908-1986), paling ikonik dan kontroversial dalam sejarah abad-20, pasangan intelektual yang menjalin hubungan romantis sangat intens, tidak konvensional, bahkan berhasil menjalani hidup bersama tanpa nikah hingga akhir hayat.

 

Samenleven Sartre dan Simone

Kehidupan hubungan pasangan kumpul kebo ikonik abad 20 antara Filosof Jean Paul Sartre dan Penulis Simone de Beauvoir juga penuh dengan dinamika tidak kalah menariknya dari pasangan yang hidup dalam pernikahan. Jean-Paul Sartre adalah filsuf eksistensialis Prancis, penulis, dan aktivis politik, dan teman kumpul kebonya Simone de Beauvoir adalah filsuf, feminis, dan penulis terkenal, lewat karya monumental “The Second Sex” (1949), buku yang menjadi fondasi feminisme modern.

Hubungan cinta di antara mereka dikenal tidak konvensional karena tidak berada dalam naungan institusi perkawinan, menolak pernikahan dan monogami tradisional, namun mereka berkomitmen dalam hubungan jangka panjang. Dalam komitmen hubungan bersama ini, Jean Paul Sartre menyebut hubungan dengan Simone de Beauvoir sebagai “hubungan esensial”, sementara hubungan lain masing-masing di antara mereka dianggap “kontinjensial” (sekunder dan tidak mengikat). Keduanya sepakat untuk memiliki kebebasan menjalin hubungan lain, meskipun kesepakatan ini tidak selalu berjalan mulus atau tanpa rasa sakit.

Mereka sesungguhnya adalah pasangan dalam kerja sama intelektual yang ideal. Sebagai pasangan intelektual, mereka sering berdiskusi tentang karier dan karya masing-masing, saling mengkritik, dan menginspirasi satu sama lain. Simone de Beauvoir banyak membantu Sartre secara logistik dan administratif, termasuk mengetik dan menyunting tulisannya. Mereka sama-sama aktif dalam gerakan kiri, termasuk mendukung dekolonisasi Aljazair dan menentang perang Vietnam, termasuk tokoh penggerak demonstrasi mahasiswa terhadap kedatangan Presiden RI kedua, Soeharto di Paris, Prancis di tahun 1970-an.

Namun hubungan mereka juga tidak lepas dari kontroversi dan kritik. Ada juga beberapa peneliti dan feminis yang mengkritik Sartre karena diduga mengeksploitasi hubungan mereka, terutama karena ia sering memikat perempuan muda dan melibatkan Simone de Beauvoir dalam perekrutannya. Beauvoir sendiri juga terlibat dalam hubungan yang problematik dengan mahasiswa, yang kini banyak ditelaah secara kritis dalam konteks kekuasaan dan etika.

Sesuai komitmen yang berlaku dalam pernikahan, hubungan mereka juga berlangsung sampai akhir hayat. Mereka tetap dekat sampai Sartre meninggal pada tahun 1980, dan ketika kehilangan pasangannya ini, Simone de Beauvoir sangat terpukul dan menulis memoar “Adieux: A Farewell to Sartre.” Simone de Beauvoir wafat tahun 1986 dan mereka dimakamkan berdampingan di pemakaman Montparnasse, Paris, seperti sejoli pasangan abadi.

Pasangan Sartre dan Simone dijuluki sebagai pasangan kumpul-kebo ikonik abad 20. Pasangan ini kerap disebut-sebut memberi pengaruh atas menggejalanya kumpul kebo, dan terutama kumpul dulu meski sudah punya anak baru nikah. Sesungguhnya, kumpul kebo sendiri sudah ada jauh sebelumnya, tapi baru menjadi heboh dalam diri pasangan intelektual Sartre dan Simone yang mencerminkan filsosofi eksistensialis mereka.

 

Gaya Hidup dan Filosofi

Filsafat eksistensialis yang sarat dengan kebebasan, tanggung jawab pribadi, dan menolak norma sosial yang mapan. Namun, hubungan pasangan itu juga penuh kompleksitas emosional dan etis, serta tidak luput dari kritik-terutama dari perspektif feminis kontemporer.

Samenleven (kohabitasi) dalam konteks filsafat eksistensialis seperti yang dijalani oleh tokohnya Jean Paul Sartre dan feminis Simone de Beauvoir mungkin bisa dimaknai sebagai simbol kebebasan tentang cinta dan makna hidup bersama yang tidak harus dalam institusi pernikahan. Sartre dan Beauvoir adalah tokoh besar dalam eksistensialisme yang menekankan kebebasan individu, otonomi, dan tanggung jawab personal.

Gaya hidup mereka yang memilih untuk tidak menikah, tapi berkomitmen secara sadar dan terbuka, menginspirasi sebagian kalangan intelektual dan bohemian di Eropa dan Amerika, terutama pada 1950-1970 an. Simone de Beauvoir menulis secara terbuka tentang cinta bebas, hak perempuan atas tubuhnya, dan kritik terhadap institusi pernikahan dalam “The Second Sex.” Buku ini berpengaruh besar terhadap feminisme generasi kedua, yang banyak mempertanyakan pernikahan sebagai institusi patriarkal.

Simone de Beauvoir adalah tokoh feminis yang melakukan kritik terhadap pernikahan. Dalam bukunya “The Second Sex”, Simone de Beauvoir menyebut pernikahan sebagai “institusi yang merugikan perempuan”, karena mengunci mereka dalam peran domestik dan subordinasi. Argumen ini banyak memengaruhi generasi feminis setelahnya, yang lalu ikut mendorong perubahan pandangan terhadap relasi pasangan, bahwa komitmen tidak harus dibungkus pernikahan.

Samenleven mungkin pemecahan praktis dalam hidup bersama dan gaya hidup, seperti pasangan Sartre bersama Beauvoir yang dilandasi filsafat kebebasan eksistensialis. Kedua tokoh ini bisa menjadi simbol gaya hidup alternatif, terutama pada kelompok kalangan kiri, seniman, dan feminis. Kehidupan bersama pasangan eksistensialis dan feminis Sartre dan Beauvoir ini sering dijadikan rujukan intelektual, khususnya oleh orang-orang yang mempertanyakan norma-norma tradisional dalam hubungan.

Gaya hidup samenleven Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir yang bersifat filosofis memberi dasar intelektual bagi banyak orang yang memilih cohabitation atas dasar kebebasan dan otonomi pribadi, dan hal ini berpengaruh kuat di kalangan feminis, intelektual, dan budaya progresif.

Sangat menarik apakah hubungan hidup bersama tanpa menikah antara Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir memberi pengaruh pada tren pasangan yang memilih tidak menikah? Jawabannya tentu saja ada pengaruh, tetapi soal signifikasinya itu patut diteliti.

Pasangan Jean Paul Sarte dan Simone de Beauvoir memang menjadi simbol kebebasan dan menjadi ikon samenleven abad 20, pilihan hidup bersama tanpa pernikahan. Namun tren cohabitation massal yang terjadi dewasa ini tampaknya juga memiliki faktor beragam, seperti perubahan sosial, budaya, ekonomi dan lainnya. 

 

Tren Global Cohabitation

Sebuah pertanyaan bisa saja tetap diajukan mengenai dengan tren global cohabitation seperti di negara-negara yang menunjukkan peningkatan dalam hidup bersama tanpa menikah, termasuk di Indonesia saat ini? Adakah tren samenleven di Indonesia kini terpengaruh dan terinspirasi oleh pola hubungan bebas ala Sartre dengan Beauvoir, atau didorong oleh faktor lainnya?

Data menunjukkan, memang ada tren global cohabitation sebagai pengganti pernikahan. Sejak pertengahan abad ke-20, cohabitation menjadi semakin umum dibanding masa sebelumnya menggantikan pernikahan yang dulu masih jadi satu-satunya norma sosial mainstream.

Di negara-negara seperti Prancis, Belanda, dan Swedia yang cenderung progresif, jumlah pasangan cohabiting tanpa menikah memang meningkat, tapi ini dipengaruhi juga oleh faktor lainnya, seperti: sosial-ekonomi, sekularisme, dan kebijakan negara.

Di AS, persentase orang dewasa (18-44 tahun) yang pernah tinggal bersama pasangannya tanpa nikah meningkat tajam, dari 54% di tahun 2002 menjadi 59%. Banyak negara Eropa Barat dan Skandinavia mengalami fase dimana sebagian besar pasangan muda lebih memilih hidup bersama dulu, atau bahkan sebagai ganti nikah. Di Prancis > 40% pasangan dan di Swedia > 50% memilih cohabitation. Statistik menarik per negara: Inggris dan Wales, jumlah pasangan hidup bersama naik 137% sejak 1996 (1,5 juta-3,5 juta, 2020); hampir 90% menikah setelah tinggal bersama.

Di AS, pasangan menikah turun sedikit 58%-53%, cohabitation tumbuh dari 3% menjadi 7%. Di Kanada, ada -20% pasangan hidup bersama dianggap sebagai contoh common-law, naik tiga kali lipat sejak 1981. Di Australia, dari 1986 ke 2006, proporsi yang hidup berdua turun (65-61%), cohabitation naik dari 4% ke 9%; dan 81% pasangan menikah setelah cohabitation. Lebih dari 40% kelahiran di luar nikah di Prancis, Swedia, dan Denmark-beberapa negara mencapai > 50%.

Di Barat dan kehidupan modern diakui adanya faktor pendorong cohabitation seperti perubahan nilai berkenaan dengan kebebasan dan otonomi individu terhadap norma tradisional dan feminisme yang semain meningkat. Pengaruh pemikiran feminis (seperti Simone de Beauvoir) yang menolak pernikahan tradisional patriarkal. Selain itu segi kepraktisan menjalani hidup yang menempatkan pendidikan dan ekonomi sebagai prioritas juga mengemuka.

Pasangan menunda pernikahan untuk mengejar karier, menumpuk tabungan, atau mencapai stabilitas. Ada juga faktor mengenai pengakuan hukum dan kebijakan. Seperti di Kanada dan banyak negara Skandinavia (Swedia, Norwegia, Denmark), cohabitation mendapat pengakuan hukum yang semakin baik. Begitu pula dengan norma sosial yang berubah, peran media sosial, urbanisasi, dan sekularisasi memudahkan cohabitation menjadi bagian normal hidup pasangan bersama faktor lainnya seperti: kebebasan, feminisme, ekonomi, sosial hukum, budaya pop, dan tren hidup yang cenderung semakin praktis minimalis.

Mengatasi semua itu, patut pula disimak bahwa kunci utama kelanggengan pasangan terletak pada kesediaan untuk tumbuh bersama, kemasakan pribadi, kesiapan emosional, finansial-ekonomi, dan komitmen-spiritual, maupun visi-misi hidup besama. Dan mungkin bukan semata hanya soal menikah atau tidak menikah! (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Sumber gambar: meta AI

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?