Hidup Bersama Kohabitasi Kumpul Kebo (2) – Cinta Yang Tak Pernah Benar-Benar Selesai

Home » Artikel » Hidup Bersama Kohabitasi Kumpul Kebo (2) – Cinta Yang Tak Pernah Benar-Benar Selesai

Dilihat

Dilihat : 53 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 18
  • 271
  • 82,521
Pic 4 kumpul

Oleh: Jo Priastana

 

“One’s life has value so long as one attribute value to the life of others,

 by means of love, friendship, indignation and compassion”

(Simone de Beauvoir, 1908 1986, Penulis “The Second Sex” dan Feminis Prancis)

 

Manusia memiliki kebebasan dan juga tanggung jawab. Kebebasan menentukan dirinya sendiri dan juga tanggung jawab terhadap diri sendiri. Filsafat eksistensialis menginginkan agar orang dapat memahami hidup dan menentukan hidupnya dalam porsi dan potensi terbaiknya. Tidak masuk akal apabila seseorang melakukan sesuatu tanpa ia ketahui secara tepat mengapa dan untuk apa ia melakukannya. Filsafat berusaha menyadarkan manusia lewat pertanyaan dari segala rutinitas dan tradisi yang berjalan, seperti cinta dan hidup bersama atau pernikahan yang dilakukan banyak orang.

Mengapa orang pada dirinya sendiri cenderung membutuhkan orang lain? Sungguhkah orang lain itu kelengkapan sejati seperti perempuan bagi lelaki yang layaknya mengisi tulang rusuknya yang hilang? Apakah pernikahan dimaksudkan untuk itu, atau ada cara yang lain dimana cinta dan pernikahan memiliki makna yang jauh lebih luas. Sebuah pertanyaan, mengapa manusia berelasi intim dengan yang lain, dan apakah relasi itu sesungguhnya intersubjektivitas atau sebaliknya saling mengobjektivasi?

Apakah pemenuhan kebutuhan manusia akan relasi intim itu harus berada bersama dalam pernikahan atau cukup kumpul kebo saja? Bagaimana dengan kebebasan, apakah kehadiran seseorang lain bisa diterima tanpa membatasi kebebasannya, ataukah justru dalam kesendirian itulah sungguh terletak kebebasan dimana diri sendirilah sesungguhnya teman sejati. Kebebasan dalam kesendirian yang berdaya terhadap pengenalan diri sendiri, “know yourself.” Dalam kesendirian dimana kebebasan eksistensial itu berada meski tanpa bersama yang lain.

 

Kebebasan dan Cinta dalam “The Age of Reason

Pertanyaan filosofis tentang kebebasan dan cinta dalam novel “The Age of Reason,” kisah tentang hidup bersama tanpa nikah atau kumpul kebo. The Age of Reason (Octopus, 2018) adalah novel tentang pembelajaran bahwa cinta seringkali bukan tempat berlindung, melainkan cermin dari ketakutan terdalam akan kehilangan diri. The Age of Reason adalah pelajaran yang sunyi tentang cinta yang tak harus jadi apa, dan justru karena itu begitu manusiawi (Berdikari Book FB/16/6/25).

The Age of Reason (judul aslinya dalam bahasa Prancis: L’age de raison) adalah novel karya Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis terkenal asal Prancis. Novel pertama dari trilogi novel berjudul “The Roads to Freedom” (Les Chemins de la liberte) yang terdiri dari: The age of Reason (L’age de raison, 1945), The Reprieve (Le sursis, 1945), dan Troubled Sleep (La mort dans l’ame, 1949).

Secara harafiah, judul The Age of Reason berarti “usia nalar” atau “masa akal.” Menyimbolkan fase hidup seseorang (khususnya tokoh utama) yang mulai menghadapi pilihan moral dan eksistensial secara sadar, bukan hanya mengikuti insting, tradisi, atau dogma namun juga akal, nalar, dan rasionalitas. Pilihan antara mengikuti tradisi dan kebebasan otonomi dirinya. Bertarung dalam nurani kebebasan, afeksi cinta, dan nafsu yang terjalin dalam kisah hidup bersama tanpa pernikahan.

Tema sentral dalam The Age of Reason tercermin dalam tokoh utama bernama Mathieu Delarue, seorang dosen filsafat di Paris pada akhir 1930-an, sebelum PD II yang menggambarkan tentang pencarian kebebasan pribadi. Mathieu ingin hidup bebas dan tidak terikat oleh tanggung jawab sosial seperti menikah atau memiliki anak. Ada konflik eksistensial yang dialaminya, dilema karena pacarnya, Marcelle, hamil, dan dia merasa kehamilan ini mengancam kebebasannya.  

Ada dua perempuan dalam hidup Mathieu, yakni: Ivich dan Marcelle. Mathieu memiliki hubungan yang kompleks dengan Ivich, mahasiswa muda, teman dekat, bersifat emosional, campuran antara kasih sayang, ketertarikan dan frustrasi. Selain Ivich, ada Marcelle, pacarnya, perempuan dewasa, konvensional yang hamil atas hubungannya dan mencari cara menggugurkannya, tidak ingin menjadi ayah karena merasa akan menjadi belenggu dalam pencarian akan kebebasannya.

Melalui The Age of Reason, Jean Paul Sartre menggambarkan bagaimana karakter-karakter dalam novel itu berjuang untuk hidup otentik, bebas dari ilusi, sambil tetap harus berhadapan dengan kenyataan hidup. Novel The Age of Reason merupakan penerapan konkret dari filsafat eksistensialisme Sartre, yang intinya adalah manusia bebas dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri, tidak ada “hakikat” atau “takdir” yang sudah ditentukan sebelumnya.

Sartre tidak hanya menyajikan drama pribadi seorang pria yang menolak terikat oleh nilai-nilai konvensional, tapi juga menelanjangi betapa rumit dan tak pastinya perasaan cinta dalam dunia yang kacau dan absurd. Cinta yang tak dipilih dengan sadar akan berubah jadi penjara yang dibangun dengan harapan, namun cinta yang sedari awal dipilih secara sadar dan penuh kebebasan pun tidak juga menutup kemungkinan tersimpan tanggung jawab di ujungnya.

 

Kebebasan dan Cinta Sartre

Dalam The Age of Reason, Sartre menelanjangi kita tentang cinta. Betapa sering kita mencintai bukan karena benar-benar ingin, tapi karena takut menghadapi kekosongan. Kadang, cinta bukan soal perasaan, tapi keputusan untuk tidak melarikan diri. Mathieu mencoba menjadi bebas, tapi justru terseret oleh semua hal yang tak ingin ia ikat, seperti tanggung jawab akan janin dalam kandungan.

Sartre melukis tentang Kebebasan dan Cinta yang jarang akur dalam jiwa yang ragu. Cinta bisa jadi bentuk lain dari ketakutan akan kebebasan. Karena dalam mencintai, kita kerap menitipkan hidup pada orang lain-lalu marah saat ia menjalaninya bukan seperti yang diharapkan.

Cinta muncul sebagai bayangan, ia selalu ada, tapi selalu bergerak. Cinta tak selalu menyelamatkan, tapi ia bisa membuat kita lebih jujur pada ketakutan kita sendiri. Mathieu berusaha merdeka, tapi di dalamnya ada luka yang datang karena tidak pernah tahu bagaimana rasanya benar-benar tinggal untuk seseorang.

Sartre menulis cinta bukan romantis, tapi pertarungan batin antara “aku ingin” dan “aku harus,” mungkin ini realistis atau setidaknya eksistensialis. Begitulah cinta yang tak benar-benar selesai, karena eksistensi mendahului esensi. Siapa dan apa orang itu (esensi) baru diketahui setelah menjalani hidupnya sampai akhir (eksistensi).

Cinta yang paling rumit adalah cinta yang datang ketika kau sedang ingin bebas. Karena saat itu, siapa pun yang menyentuhmu akan kau anggap sebagai belenggu, padahal bisa jadi dia hanya sedang mengetuk, bukan mengikat. Sartre tahu, kita takut bukan pada cinta, tapi pada kehilangan kendali atas diri sendiri.

Cinta yang tak sanggup berkata “aku ingin tinggal” akan selalu merasa dikejar oleh sesuatu yang tampaknya lebih besar dari cinta itu sendiri. Mathieu sendiri tampaknya tak benar-benar jahat, hanya terlalu takut pada komitmen yang terasa seperti pengkhianatan terhadap kebebasan yang belum ia pahami.

Terkadang, cinta tak bicara tentang dua orang, tapi tentang seseorang yang belum selesai dengan dirinya, lalu menyeret orang lain ke dalam pencarian yang belum tentu ingin ditemani. Cinta menjadi sebuah proyek eksistensial yang terlalu berat jika tidak diiringi keberanian untuk memilih, namun justru yang paling menyakitkan dalam hidup ini adalah ketika harus memilih.

Cinta tanpa pilihan adalah nostalgia yang disalahpahami. Kita rindu pada rasa aman yang tak pernah kita punya, lalu menganggap cinta bisa memberikannya. Sartre menulis cinta tanpa ilusi, bahwa mencintai berarti berani menghadapi konsekuensi dari kebebasan, termasuk ditinggalkan.

Cinta bisa jadi bentuk lain dari kebingungan. Ketika kita tak tahu harus ke mana, kita bertahan pada siapa pun yang bersedia tinggal. Tapi dalam hati yang belum utuh, cinta akan terus goyah, sebab bukan cinta yang kurang, melainkan keberanian untuk jujur pada arah. Kadang kita mengira mencintai adalah bentuk pengorbanan, padahal bisa jadi itu bentuk pelarian.

Dalam diri Ivich dan Mathieu, terlihat dua orang yang saling membutuhkan, namun tak satu pun benar-benar mau menetap. Karena cinta tanpa arah seringkali hanya menjadi labirin rasa bersalah. Yang paling menyedihkan dari cinta bukan perpisahan, melainkan kesadaran bahwa cinta itu sendiri tak cukup untuk menyelamatkan dua orang yang tak bisa berdamai dengan dirinya masing-masing.

 

Samen Leven dan Eksistensialisme

Di tangan Sartre, cinta tak lagi menjadi puisi romantis. Ia berubah menjadi ruang genting antara hasrat dan kebebasan. Antara keinginan untuk dekat dan ketakutan untuk terikat. Pelajaran tentang cinta yang ambigu dari buku The Age of Reason. Mencintai seseorang adalah pekerjaan yang berat, dan tampaknya siapa pun harus memiliki energi, kemurahan hati, dan kebutaan, baik dalam hidup dalam pernikahan maupun kohabitasi atau kumpul kebo.

Kumpul Kebo atau kohabitasi, menyentuh inti dari pemikiran eksistensialisme Sartre tentang kebebasan individu, tanggung jawab, dan relasi antarmanusia tanpa institusi pernikahan. Jean Paul Sartre dan pasangannya Simone de Beauvoir sangat terkenal karena menjalani hubungan bebas tanpa menikah puluhan tahun sampai akhir hayat, memberi pengaruh secara simbolik dan filosofis, terutama di kalangan intelektual Eropa.

Istilah “samenleven” di Belanda atau “concubinage” di Prancis itu sendiri sudah ada jauh sebelumnya, tapi Sartre mempopulerkan gaya hidup itu sebagai bentuk perwujudan konkret dari eksistensialisme, yakni hidup otentik tanpa tunduk pada norma sosial yang tidak dipilih secara sadar. Gaya hidup samenleven Sartre adalah cerminan filsafat eksistensialis tentang kebebasan individu, anti-konvensi dan sebagai relasi intersubjektivitas yang intim.

Sartre meyakini bahwa manusia itu bebas secara radikal. Tidak ada Tuhan, takdir, atau struktur sosial yang boleh memaksa kita memilih cara hidup tertentu. Pernikahan adalah institusi yang mengekang dan menciptakan “peran” atau “hakikat palsu.” L’existence precede l’essence – eksistensi mendahului esensi – kita tak punya “kodrat”, kita bebas menciptakan diri kita sendiri melalui pilihan-pilihan.

Pernikahan dianggap Sartre sebagai konvensi borjuis, berisikan aturan masyarakat yang mengikat orang dalam struktur sosial, bukan karena cinta atau kejujuran, melainkan demi status atau moral palsu. Maka, hubungan seperti yang dijalani Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir dalam hubungan terbuka, tidak menikah, tetap saling mendukung secara intelektual dan emosional, dianggap lebih jujur dan otentik.

Sartre menekankan pada relasi intersubjektivitas atau hubungan antar-subjek. Begitulah cinta seharusnya sebagai hubungan yang bukan saling mengobjektivasi atau yang saling memperalat, seperti yang terungkap dalam karya Sartre lainnya “Being and Nothingness” atau “Ada dan Ketiadaan.”

Dalam buku itu, Sartre membahas tentang relasi dengan orang lain sebagai potensi konflik, karena kita cenderung mengobjektifikasi satu sama lain. Dalam hubungan bebas tanpa ikatan hukum, orang dituntut untuk saling memahami satu sama lain setiap hari secara sadar, bukan hubungan karena semata “diikat hukum” atau “karena sudah menikah”.

Mathieu, tokoh dalam novel The Age of Reason mau hidup dengan nilai-nilai eksistensialis. Ia menolak menikahi pacarnya Marcelle, walaupun dia hamil. Baginya, menikah berarti menyerah pada peran sosial sebagai seorang ayah. Ia ingin tetap bebas. Tapi justru inilah konflik utamanya: Apakah menolak bertanggung jawab demi kebebasan membantunya benar-benar bebas, atau justru melarikan diri? Sartre dengan jenius memperlihatkan bahwa kebebasan tidak selalu membebaskan, kadang justru membebani.

Meski begitu, bukankah kebebasan eksistensial itu justru juga terletak di dalam diri sendiri, bahwa hanya diri sendirilah sesungguhnya teman sejati yang dapat digapai melalui pengenalan terhadap diri sendiri, “know yourself” atau “be yourself,” karena setiap orang sadar memanggul swastika-deritanya masing-masing.

Setiap orang bertanggung jawab atas derita dirinya sendiri, dan karenanya tidakkah kesendirian justru bisa menjadi alternatif untuk mengalami sepenuhnya akan kesetaraan, kebebasan dan otonomi individual. Setelah meninggalkan keluarga, anak istrinya, kesendirian itulah yang dilakoni Siddhartha Muda dalam menempuh jalan kesadaran Buddha. Kesendirian sejati yang berdaya, bukan semata soal hidup bersama baik dalam pernikahan maupun samenleven! (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Sumber gambar: meta AI

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?