Hidup itu Pilihan: Pelajaran dari Demon Slayer the Movie

Home » Artikel » Hidup itu Pilihan: Pelajaran dari Demon Slayer the Movie

Dilihat

Dilihat : 84 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 12
  • 195
  • 88,076
Pic 02 Demon Slayer movie

Oleh: Vijjavati Anindita

 

Dewasa ini, seseorang perlu menguasai keterampilan tertentu selain kualifikasi pendidikan yang dibuktikan melalui ijazah. Adanya keterampilan yang dikuasai oleh seseorang perlu dibuktikan dengan pengalaman terlibat aktif di dalam suatu kegiatan yang dampaknya dapat diukur baik secara angka maupun kualitas. Namun, tidak sedikit juga orang-orang terampil dan berpengetahuan yang berbuat menyimpang di lingkungan masyarakat. Sekali kejadiannya tersebar di antara publik, respons masyarakat bercampur aduk mulai dari emosi, prihatin, bahkan terang-terangan mengutuk di forum umum.

Dengan menguasai keterampilan tertentu, seseorang mampu untuk bertahan hidup walaupun tingkat pengetahuannya tidak seberapa. Kebalikannya, seseorang dengan pengetahuan belum tentu mampu bertahan hidup jika tidak memiliki keterampilan tertentu. Namun, keterampilan bukanlah satu-satunya penentu keberlangsungan hidup baik di kehidupan ini maupun kehidupan selanjutnya. Menurut jalan mulia berunsur delapan, memiliki pandangan benar adalah landasan pertama untuk menghimpun kebajikan dan berjodoh baik dengan dharma. Tanpa pandangan benar, pikiran dan perbuatan seseorang belum tentu menjadi benar. Seperti dijelaskan di dalam Dhammapada:

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,

pikiran adalah pemimpin,

pikiran adalah pembentuk.

Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat,

maka penderitaan akan mengikutinya,

bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.

 

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,

pikiran adalah pemimpin,

pikiran adalah pembentuk.

Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni,

maka kebahagiaan akan mengikutinya,

bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya.

 

Film Kimetsu no Yaiba (bahasa Inggris, Demon Slayer: Infinity Castle) adalah anime yang menurut saya mengutip elemen Buddhisme yang kental seperti konsep kelahiran kembali, hukum sebab-akibat, hingga tata cara ritual Buddhis di Jepang. Setiap tokoh memiliki pergolakan batinnya masing-masing sejak terlahir sebagai anak di sebuah keluarga hingga datangnya konflik yang mendorong tokoh tersebut membuat pilihan tertentu. Shinobu Kocho misalnya, memutuskan bergabung ke dalam Korps Pembasmi Iblis setelah melihat keluarganya sendiri dibantai oleh sosok oni, iblis, di depan matanya langsung. Berbeda dengan Akaza, yang memilih menguasai seni darah iblis untuk menjadi iblis terkuat yang tidak bisa mati karena memiliki kemampuan regenerasi super.

Kejadian lampau yang dialami oleh tokoh-tokoh film secara signifikan menyisakan trauma yang dalam yang ujungnya mendorong tokoh tersebut mengambil keputusan tertentu entah menjadi hashira, anggota Korps Pembasmi Iblis, atau menjadi iblis tingkat tinggi dengan memperdalam seni darah iblis. Sebenarnya kejadian yang mendorong pengambilan keputusan tersebut sama-sama menyakitkan (ditinggal mati orang tercinta, memiliki orang tua yang sakit kronis, melihat adegan kekerasan di depan mata), tetapi yang membuat berbeda adalah hasil pengambilan keputusannya. Kehidupan Hashira terlihat penuh dengan rasa pertemanan yang akrab, tetapi kehidupan iblis dilalui dengan tindakan serta pikiran yang kejam.

Sebelum menjadi iblis, Muzan adalah anak laki-laki kecil yang disembah karena ia diyakini punya kemampuan spiritual karena lahir dengan anggota tubuh berwarna putih. Meskipun Muzan menerima kehadiran para umat yang datang menceritakan kesulitan hidup, ia berpikir bahwa umat tersebut bodoh. Pikirnya, ‘buat apa juga orang dewasa yang semestinya lebih mampu malah menyembah sambil minta-minta kepada anak kecil? Toh, mau kesulitannya membaik atau tidak, mereka semua akan mati.’ Pikiran itulah yang mendorong Muzan menjadi iblis yang haus darah.

Akaza berasal dari keluarga yang kekurangan, rumahnya kumuh, ayahnya sakit-sakitan hingga tubuhnya tinggal tulang dibalut kulit. Meskipun sudah bersikeras menjelaskan bahwa alasannya mencuri adalah untuk membeli obat bagi ayahnya, pemerintah setempat tidak peduli dan tetap menandainya sebagai kriminal dengan tato di lengan dan mengasingkannya dari Edo. Ketika hidupnya berangsur membaik dan dirinya ditunjuk sebagai pewaris perguruan Soryu bahkan hendak dinikahkan dengan anak perempuan tunggal gurunya, Akaza berubah menjadi iblis tingkat tinggi setelah direkrut oleh Muzan sewaktu tertangkap membantai perguruan sebelah yang rupanya adalah pelaku pembunuhan guru dan anak perempuannya.

Muzan dan Akaza memiliki alasannya masing-masing untuk menjadi iblis yang membahayakan kehidupan manusia. Tanjiro Kamado dan Shinobu Kocho pun memiliki alasannya masing-masing untuk bergabung ke dalam Korps Pembasmi Iblis yang bertugas melindungi manusia. Ketika dua sudut pandang disatukan dalam pertarungan, Tanjiro dan Shinobu mampu berempati terhadap sudut pandang Muzan dan Akaza tanpa melepaskan sudut pandang awalnya. Di sisi lain, Muzan dan Akaza yang sudah menjadi iblis tidak berempati dengan sudut pandang Tanjiro maupun Shinobu bahkan ngoyo banget untuk langsung membantai Tanjiro dan Shinobu dengan dalih “menghilangkan penderitaan.”

Baik Akaza maupun Muzan memiliki tekad dan semangat juang yang kuat dalam menjalankan perannya sebagai iblis, tetapi peran tersebut justru merugikan orang lain yang tersakiti apalagi kehilangan nyawa. Dalam Buddhisme, tekad dan semangat juang tersebut tidak dibenarkan. Selain karena tidak menimbulkan perbuatan bajik, tekad dan semangat juang dengan tujuan merugikan makhluk lain dianggap sebagai pandangan tidak benar. Pandangan tidak benar lahir karena adanya kotoran batin (lobha, dosa, moha) yang mendorong makhluk berpikiran, berbuat, dan berpenghidupan yang tidak benar. Jika sudah begitu, siapa lagi yang berkenan untuk berdekatan dengan makhluk yang perbuatan dan pikirannya tidak benar kalau bukan sesama makhluk yang perbuatan dan pikirannya sama-sama tidak benar?

Terlepas dari elemen Buddhis, mungkin juga Shinto, yang kental di dalam film Demon Slayer, ada renungan mendalam tentang membuat pilihan hidup yang benar. Semua orang punya hak untuk membuat pilihannya masing-masing, tetapi apapun pilihan yang dibuat, ada orang lain yang akan terdampak oleh pilihan tersebut. Ketika orang lain merasakan dampak dari keputusan yang kita dibuat, apakah kita siap untuk menerima timbal balik dari keputusan tersebut?

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Samaggi Phala. (n.d.). Yamaka Vagga – Syair Kembar. https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/yamaka-vagga-syair-kembar/

Gambar: https://images.justwatch.com/poster/304099705/s718/demon-slayer-kimetsu-no-yaiba-to-the-swordsmith-village.jpg  Diakses 18 Agu. 25.

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?