Ditulis oleh: Gifari Andika Ferisqo (方诸德)
Yamaga Soko (やまがそこ), seorang cendikiawan Neo-Konfusianisme (宋明理學), menulis tentang Chuucho Jijitsu (ちゅうちょ じじつ, kanji; 中朝事実) yang berarti “Kebenaran akan Kekaisaran Pusat”, pada Zaman Edo (えど じだい) abad ke-17. Dalam tulisannya, beliau menyatakan keyakinannya bahwa Jepang seharusnya menjadi negara pusat, bukan Tiongkok yang saat itu masih diperintah oleh Dinasti Qing (清朝). Menurutnya salah satu alasannya adalah bahwa Kekaisaran Jepang tidak pernah runtuh sejak didirikan kaisar pertama Jepang, yaitu kaisar Jinmu (じんむ-てんのう). Sebaliknya, Kekaisaran Tiongkok telah runtuh berkali-kali, mulai dari ide mengenai Zhōngguó (中国) yang dihapus selama Dinasti Zhou (周朝) hingga Dinasti Qing (清朝). Kekaisaran Jepang memang tidak pernah runtuh, kematian kaisar Antoku (あんとく-てんのう) dalam pertempuran Dan no Ura (だん の うら のたたかい) mungkin adalah yang paling parah yang tercatat dan diketahui sejauh ini.
Jepang tidak pernah mengenal gagasan revolusi seperti yang dilakukan Kekaisaran Tiongkok, gerakkan paling revolusioner dari Kekaisaran Jepang hanyalah kokugaku (こくがく, kanji; 国学) pada masa pemerintahan (shogun, re; しょぐん) Tokugawa (とくがわばくふ) oleh para cendikawan Jepang yaitu gerakan Kebangkitan Nasional Jepang namun dengan tetap mempertahankan status kaisar Jepang. Bahkan menurut Motoori Norinaga (もとおりのりなが), salah satu cendikiawan Jepang, tidak boleh ada yang mempertanyakan kewenangan dari kaisar. Beliau sendiri mendukung gagasan bahwa kaisar akan terus memimpin Jepang, sangat berbeda dari Tiongkok, yang mana orang percaya bahwa kaisar akan jatuh jika langit sudah tidak mengizinkannya.
Ide Mengenai Konfusianisme (儒教) Khas Jepang
Selama Zaman Edo (えど じだい), ide Yamaga Soko (やまがそこ) yang dikenal sebagai shido (しど, kanji; 士道), menjadi dasar dari konsep bushido (ぶしど). Beliau sangat cerdas mengenai filsafat Tiongkok. Soko (そこ) belajar dari Hayashi Razan (はやしらざん), seorang cendikiawan Neo-Konfusianisme (宋明理學). Selain mempelajari Konfusianisme (じゅきょう, kanji/hànzì; 儒教), beliau juga mempelajari Buddhisme (ぶつきょう), Shintoisme (しんとう), dan ilmu perang. Kemudian Soko (そこ) menjadi guru dan mengajar banyak siswa, beliau juga menyarankan orang-orang Jepang saat itu untuk belajar ilmu Barat agar Jepang juga bisa cepat berkembang. Pada saat itu pula, berkat Soko (そこ), Jepang memiliki posisi yang lebih tinggi dalam menjunjung nilai-nilai bijak dan itulah yang menurutnya membuat Jepang berhak menyandang gelar Negara Pusat bukan Tiongkok.
Menurut Yamaga Soko (やまがそこ) negara Jepang memang kecil dan tidak bisa dibandingkan dengan Tiongkok, dan di Tiongkok pula para bijaksanawan seperti Konfusius (孔子) lahir. Tetapi, belakangan pada saat itu menurutnya keliru bahwa menganggap Tiongkok negara tengah adalah kekeliruan mengingat seringnya terjadi ketidakstabilan politik dan penurunan moralitas masyarakat Tiongkok saat itu.
Ini menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip Konfusianisme (じゅきょう, kanji/hànzì; 儒教) diusahakan untuk dinaturalisasi dengan nilai-nilai khas Jepang. Soko (そこ) juga memikirkan kembali ajaran Konfusianisme (じゅきょう, kanji/hànzì; 儒教) murni, bukan Neo-Konfusianisme (宋明理學) yang diajarkan oleh Zhū Xī (朱熹). Maka itu, Soko (そこ) berpikir untuk membuat Konfusianisme (じゅきょう, kanji/hànzì; 儒教) meskipun mengambil dasar-dasar pokok dari yang diajarkan oleh Zhū Xī (朱熹) namun dengan karakteristik Jepang. Sehingga Konfusianisme (じゅきょう, kanji/hànzì; 儒教) menjadi ajaran yang sangat melekat dengan masyarakat Jepang dan memunculkan sub-budaya baru dalam masyarakat Jepang yaitu budaya malu atau dikenal sebagai Haji no Bunka (はじ の ぶんか), yang terlahir dari ajaran Konfusianisme (じゅきょう, kanji/hànzì; 儒教) dan telah menjadi identitas yang sangat kuat di dalam masyarakat Jepang baik dalam etika berbisnis maupun berpolitik. Budaya malu ini juga dijadikan sebagai kode etik Samurai (侍) yang disebut bushido (ぶしど) yang juga berasal dari ide Yamaga Soko (やまがそこ) yaitu shido (しど, kanji; 士道).
Konfusianisme (儒教) Khas Jepang di Zaman Modern
Contoh penerapan budaya Haji no Bunka (はじ の ぶんか) adalah pengunduran diri merupakan salah satu yang paling umum terjadi di Jepang. Contohnya adalah pengunduran diri yang menghebohkan adalah pengunduran diri Perdana Menteri Yukio Hatoyama (ゆきおはとやま), Perdana Menteri Naoto Kan (なおとかん), Perdana Menteri Shinzo Abe (しんぞあべ), dan yang terbaru adalah berita tentang 4 menteri Jepang yang mengundurkan diri di penghujung tahun 2023 karena kasus korupsi, yaitu Hirokazu Matsuno (ひろかずまつの), Yasutoshi Nishimura (やすとしにしむら), Junji Suzuki (じゅんじすずき) dan Ichiro Miyashita (いちろみやした), serta sejumlah petinggi perusahaan Jepang yang terlibat dalam skandal kasus besar lainnya. Hingga sekarang doktrin ini di Jepang bahkan dianggap lebih kuat daripada legitimasi hukum yang berlaku di Jepang itu sendiri, keputusan untuk mengundurkan diri dengan cara ini dianggap sebagai tanggung jawab moral yang lebih besar.
Sampai zaman modern saat ini masih bisa terlihat pengaruh Konfusianisme (じゅきょう, kanji/hànzì; 儒教) yang dikembangkan oleh Yamaga Soko (やまがそこ) dalam masyarakat Jepang antara lain penghormatan terhadap leluhur, kesetiaan terhadap atasan di tempat kerja, bakti anak terhadap orang tua serta kepatuhan istri pada suami.
Dibandingkan di Tiongkok saat ini, Konfusianisme (じゅきょう, kanji/hànzì; 儒教) masih lebih relevan dalam kehidupan masyarakat Jepang, menghormati dengan menunduk adalah contoh paling sederhana. Di Jepang, etika ini sangat umum, tetapi tidak di Tiongkok. Orang Tiongkok biasanya hanya akan menuduk ketika mereka menghadapi masalah serius atau meminta maaf karena kesalahan besar, tetapi ketika mereka berada dalam situasi yang sama, biasanya orang Jepang mereka bisa lebih menghormat lagi, sampai berlutut dan merendahkan kepala ke lantai atau zarei (ざれい), atau biasa kita kenal sebagai namaskara (नमस्कार). Membungkuk merupakan salah satu praktik utama dalam ajaran Konfusianisme (じゅきょう, kanji/hànzì; 儒教) yang terdapat kitab Lúnyǔ (论语) 9 : 3, yang kemudian menjadi budaya membungkuk khas Jepang yang disebut ojigi (おじぎ) atau zarei (ざれい) untuk permintaan maaf.
Nilai-nilai ajaran Konfusianisme (じゅきょう, kanji/hànzì; 儒教) yang tergolong rumit sangat memengaruhi cara hidup manusia hanya untuk memastikan bahwa kehidupan bermasyarakat berjalan dengan baik dan beradab dengan mengembangkan berbagai aturan. Jika tidak ada aturan, bencana akan terjadi karena tidak ada aturan yang membatasi bagaimana seseorang bertindak. Memang dibandingkan dengan Tiongkok, Jepang lebih berhasil menjaga beberapa nilai-nilai tradisi Konfusianisme (じゅきょう, kanji/hànzì; 儒教), setidaknya untuk tingkat politikus di Tiongkok masih dilestarikan. Masih dapat kita saksikan politikus Tiongkok memberikan penghormatan satu sama lain dengan cara membungkukkan badan dalam acara kenegaraan.
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Daftar Pustaka
- Tetsuya, N. (2021). Wartime and postwar history of judo ritual. 柔道の礼法における戦中・戦後史, 66:573-590.
- Inoue, N., & Teeuwen, M. (2002). The Formation of Sect Shinto in Modernizing Japan. Japanese Journal of Religious Studies, 29(3/4), 405–427.
- Tucker, J. A. (2004). From nativism to numerology: Yamaga Sokō’s final excursion into the Metaphysics of Change. Philosophy East and West, 54(2), 194 – 217.
- Gambar: https://oggi.jp/192800. Diakses 5 Juli 2024.