Imlek yang Tidak Seperti Dulu Lagi

Home » Artikel » Imlek yang Tidak Seperti Dulu Lagi

Dilihat

Dilihat : 23 Kali

Pengunjung

  • 2
  • 4
  • 35
  • 30,970
Imlek pic

Oleh: Gifari Andika Ferisqo

Perayaan Tahun Baru Imlek/guònián (過年) belakangan ini bagi sebagian etnis Tionghoa sudah memiliki makna yang berbeda dengan makna sebenarnya. Sebelumnya penulis hanya mengangkat kasus tentang pergeseran makna Perayaan Tahun Baru Imlek bagi etnis Tionghoa di Jakarta, karena penulis lahir dan besar di lingkungan keluarga etnis Tionghoa Jakarta dan berdasarkan pengalaman sendiri dari kecil hingga saat ini.

Imlek dapat dikatakan hampir sama dengan perayaan tahun baru yang sering diadakan setiap tanggal 1 Januari. Setiap orang akan sibuk merencanakan kegiatan yang akan diadakan untuk menyambut pergantian tahun, seperti, petasan, terompet, makanan dan lain sebagainya. Tetapi yang berbeda di dalam Imlek adalah aksesoris dan isi dari perayaan itu. Tentunya, di dalam perayaan ini tersembunyi makna tertentu yang membuat etnis Tionghoa mempersiapkan hal itu dan senantiasa berusaha untuk melakukannya secara turun-temurun. Di dalam perayaan Imlek ini terkandung simbol dan makna yang senantiasa untuk dipertahankan.

Kata Imlek (阴 历 : Im = Bulan, Lek = penanggalan) berasal dari dialek Hokkian atau dalam Mandarin ditulis ‘yin li’ (阴历) yaitu kalender bulan. Orang Tionghoa merayakan Tahun Baru Imlek pada tanggal 1 sampai tanggal 15 bulan ke-1 penanggalan kalender tradisional/lǎolì (老历), melibatkan perhitungan matahari, bulan, 2 energi yin yang (阴阳), konstelasi bintang atau astrologi Shio, 24 musim, dan 5 unsur.

Sebagai sebuah etnis yang mendunia, masyarakat Tionghoa memiliki serangkaian tradisi dalam kehidupan sehari-hari, begitu pula ketika merayakan Tahun Baru Imlek. Tahun Baru Imlek adalah tahun barunya semua orang Tionghoa, terlepas dari agama apa pun yang dianutnya. Orang Tionghoa yang sudah berpindah agama apapun tetap harus merayakannya tanpa terkecuali sebagai penghormatan kepada tradisi yang diturunkan oleh leluhur.

 

Asal-usul Imlek

Imlek bermula sebelum Dinasti Qin (秦), tahun di mana Imlek dirayakan pertama kali masih ditelusuri hingga saat ini, ada kemungkinan bermula pada bulan 1 semasa Dinasti Xia (夏), bulan 12 semasa Dinasti Shang (商), dan bulan 11 semasa Dinasti Zhou (周) di Tiongkok. Ada juga yang berpendapat penanggalan Imlek diduga dimulai sejak tahun 2637 SM di Tiongkok, sewaktu Kaisar Oey Tee/Huang Di (黃帝) sekitar tahun 2698-2598 SM mengeluarkan siklus pertama pada tahun ke-61 masa pemerintahannya.

Tapi yang jelas, mulanya Imlek merupakan perayaan untuk menyambut musim semi/chūnjié (春節) yang dilakukan oleh para petani di Tiongkok, saat itu merupakan waktu yang tepat bagi mereka untuk memulai masa bercocok tanam. Bagi para petani saat itu musim semi juga merupakan pertanda akan kehidupan yang bergeliat kembali karena pepohonan mulai memunculkan tunas baru dan bakal bunga mulai tumbuh. Fenomena alam ini membuat mereka terpukau akan merasakan vibes-nya dan perayaan sederhanapun dilakukan. Seiring berjalanannya waktu, perayaan ini tetap terpelihara dari generasi ke generasi dan menjadi tradisi. Tradisi inilah yang kemudian menjadi inti dari perayaan Imlek yang masih terpelihara dengan baik hingga sekarang. Imlek juga menjadi kesempatan bagi orang-orang Tionghoa untuk berkumpul bersama keluarga. Maka, di Tiongkok tidak heran jika seluruh jadwal penerbangan dan kereta api akan penuh di hari-hari menjelang perayaan Imlek.

Dalam pandangan Konfusius, Imlek dirayakan pertama kali pada sekitar tahun 2184 SM yang ditulis dalam kitab Shang Shu (殇叔) yang berbunyi, ‘Pada hari pertama bulan pertama, Kaisar Shun, melayat ke makam leluhurnya, mengunjungi daerah-daerah dan berkata,’ ”untuk menyelesaikan permasalahan pangan, harus benar-benar diperhatikan kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam. Ayomilah rakyat pinggiran sebagaimana engkau mengayomi orang-orang terdekatmu. Angkatlah pejabat berbudi luhur, singkirkanlah pejabat yang licik.”

Artinya memang bisa disimpulkan Imlek semula memang dirayakan oleh para petani, mengingat Tiongkok masih menjadi negara agraris saat itu. Namun, jauh sebelum itu sistem penanggalan kalendernya sudah dirancang oleh Huang Di/ Kaisar Kuning (黃帝) yang merupakan peletak dasar ajaran Taoisme dan Konfusianisme, serta dianggap orang suci oleh para penganut Konfusius, bahkan beberapa guru Buddhis Mahayana menyatakan beliau sebagai wujud upaya Kausalya Bodhisattva (कौशल्याबोधिसत्त्व). Dikisahkan Huang Di (黃帝) berguru ajaran Tao pada Dewi Jiu Tian Xuan Nu (九天玄女) dan Maha Guru Guang Cheng Zi/Tai Shang Lao Jun (太上老君).

Sedangkan menurut ajaran Taoisme, Tahun Baru Imlek adalah hari perayaan Yuan Shi Tian Zun (元始天尊) atau dewata tertinggi. Beberapa naskah Tao dalam kanon Dao Zang (道藏) menyandingkan Yuan Shi Tian Zun (元始天尊) dengan Vairocana Buddha (वैरोचनबुद्ध).

 

Revitalisasi Budaya Tionghoa di Indonesia

Sebelumnya adat istiadat dan kepercayaan Tionghoa direvitalisasi oleh Presiden Gus Dur (Abdurahman Wahid) yang terpilih sebagai Presiden pada tahun 1999. Presiden Gus Dur pada masanya juga mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang pelarangan terhadap berbagai pagelaran budaya etnis Tionghoa di depan umum di Indonesia. Dua tahun kemudian melalui Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2002, Presiden Megawati Sukarnoputri menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Lalu pada tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan dan Peraturan No. 23/2006 tentang sensus penduduk. Kedua peraturan itu memberikan peneguhan kepada etnis Tionghoa untuk mendapatkan hak penuh sebagai warga negara Indonesia. Hal ini mendorong masyarakat etnis Tionghoa Indonesia secara langsung atau tidak langsung berpartisipasi dalam segala kegiatan tradisi kebudayaan di Indonesia baik di kota maupun di daerah, perseorangan maupun berkelompok, yang merupakan perubahan signifikan bagi masyarakat etnis Tionghoa Indonesia.

 

Imlek dalam Perspektif Buddhisme

Dalam tradisi Mahayana, Tahun Baru Imlek dianggap secara simbolis sebagai momen saat Bodhisattva Maitreya datang membawa era baru penuh kedamaian dan tahun lalu yang penuh hal negatif menjadi sirna. Sudah ribuan tahun pula pada saat Tahun Baru Imlek, masyarakat Buddhis Tionghoa menghormati Langit/ Tian (天) dan Bumi/ Di (地), yang diwakili oleh segenap Para Buddha. Perayaan Imlek memang sebenarnya tidak bisa lepas dari 3 ajaran Tionghoa; Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme Mahayana.

Sedangkan dalam perspektif Theravada, seperti di dalam Dīgha Nikāya 31, Sigalovāda Sutta, dianjurkan untuk menjaga tradisi keluarga. Sebagai etnis Tionghoa, tentu kita diwajibkan menjaga tradisi Tahun Baru Imlek. Bahkan dalam kutipan Sigalovāda Sutta tersebut, Buddha mengajarkan untuk bisa menjaga tradisi keluarga. Berikut kutipan ayatnya:

‘… Idamavoca bhagavā. Idaṃ vatvāna sugato athāparaṃ etadavoca satthā – ‘‘Mātāpitā disā pubbā, ācariyā dakkhiṇā disā; Puttadārā disā pacchā, mittāmaccā ca uttarā. ‘‘Dāsakammakarā heṭṭhā, uddhaṃ samaṇabrāhmaṇā; Etā disā namasseyya, alamatto kule gihī. ‘‘Paṇḍito sīlasampanno, saṇho ca paṭibhānavā; Nivātavutti atthaddho, tādiso labhate yasaṃ. ‘‘Uṭṭhānako analaso, āpadāsu na vedhati; Acchinnavutti medhāvī, tādiso labhate yasaṃ. ‘‘Saṅgāhako mittakaro, vadaññū vītamaccharo; Netā vinetā anunetā, tādiso labhate yasaṃ. ‘‘Dānañca peyyavajjañca, atthacariyā ca yā idha; Samānattatā ca dhammesu, tattha tattha yathārahaṃ; Ete kho saṅgahā loke, rathassāṇīva yāyato. ‘‘Ete ca saṅgahā nāssu, na mātā puttakāraṇā; Labhetha mānaṃ pūjaṃ vā, pitā vā puttakāraṇā. ‘‘Yasmā ca saṅgahā ete, sammapekkhanti paṇḍitā; Tasmā mahattaṃ papponti, pāsaṃsā ca bhavanti te’’ti.’

‘… Dan setelah Sang Bhagava berkata demikian, Sang Guru berkata lebih lanjut: Ibu dan ayah adalah arah timur, dan guru-guru adalah arah selatan. Istri dan anak-anak adalah arah barat, dan sahabat-sahabat serta sanak kerabat adalah arah utara; para pelayan dan pekerja adalah arah bawah. Dan arah atas adalah para pertapa dan brahmana. Semua arah ini harus disembah oleh seorang yang baik Ia yang bijaksana dan disiplin, baik hati dan cerdas, rendah hati, bebas dari keangkuhan, seorang yang demikian akan mendapatkan keuntungan. Bangun pagi, mencemooh kemalasan, tidak tergoyahkan oleh kemalangan, berperilaku tidak tercela, cerdas, seorang yang demikian akan mendapatkan keuntungan. Bergaul dengan teman-teman, dan memelihara mereka. Menyambut kedatangan mereka, tidak menjadi tuan rumah yang kikir, seorang penuntun, guru dan teman, seorang yang demikian akan mendapatkan keuntungan. Memberikan persembahan dan berkata-kata yang baik, menjalani kehidupan demi kesejahteraan orang lain, tidak membeda-bedakan dalam segala hal, tidak memihak menuruti tuntutan situasi: Hal-hal ini membuat dunia berputar, bagaikan sumbu roda kereta. Jika hal-hal demikian tidak ada, tidak ada ibu yang akan mendapatkan dari anaknya, penghormatan dan penghargaan, tidak juga ayah, sebagaimana seharusnya mereka dapatkan. Tetapi karena kualitas-kualitas ini dianut oleh para bijaksana dengan penuh hormat, maka hal-hal ini terlihat menonjol dan sangat dipuji oleh semua.”

 

Dalam sebuah video yang diunggah di YouTube, Bhikkhu Uttamo Mahathera menjelaskan, Ajaran Buddha bukanlah agama yang menentang tradisi, umat Buddha boleh melaksanakan Tahun Baru Imlek. Bagi umat Buddha dari etnis Tionghoa diperbolehkan melaksanakan tradisi Tionghoa, sebaliknya umat Buddha dari etnis Jawa pun diperbolehkan melaksanakan tradisi Jawa, begitu pula dari tradisi lain.”

Bagi umat Buddha pula, Imlek dilakukan dengan kebahagiaan yang dirasakan pada tahun baru sebagai hal yang patut dirayakan. Tahun Baru Imlek identik dengan suka cita dan berkah kepada sesama, pemberian angpao menjadi simbol untuk berbagi berkah, berdana, dan praktik untuk melepaskan kemelekatan.

 

Mulainya Pergeseran Makna

Chinese Lunar New Year atau yang lebih sering dikenal Imlek merupakan perayaan penting bagi orang Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal ke-15 malam saat bulan purnama. Dalam menyambut datangnya Tahun Baru Imlek, orang Tionghoa biasa untuk membersihkan rumah beberapa hari sebelum perayaan Tahun baru Imlek. Membersihkan rumah memiliki makna yaitu untuk membuang ketidakberuntungan dan kesialan yang ada di rumah tersebut. Selain membersihkan rumah, mengganti perabotan rumah yang sudah usang, menghias rumah dengan pernak-pernik bernuansa merah dan emas hingga mengecat tembok rumah hingga menjadi seperti baru lagi sudah menjadi kebiasaan orang Tionghoa dalam mempersiapkan Tahun Baru Imlek.

Menurut budayawan Tionghoa yang dikutip dari hasil wawancara dalam jurnal penelitian mahasiswa Untar (Universitas Tarumanagara) yang berjudul ‘Pergeseran Makna Perayaan Tahun Baru Imlek bagi Etnis Tionghoa di Jakarta’, Prof. Dr. Ir. Dali Santun Naga, MMSI (Yo Goan Li) menyampaikan bahwa Imlek adalah perayaan musim semi, namun bagi etnis Tionghoa adalah saat untuk berkumpul bersama keluarga. Persiapan yang dilakukan etnis Tionghoa dalam mempersiapkan perayaan tahun baru biasanya membersihkan rumah, menyiapkan hidangan khusus, hingga membeli pakaian baru berwarna merah dengan makna kegembiraan serta potong rambut.

Namun, semakin ke sini penyebab pergeseran pada makna perayaan Tahun Baru Imlek semakin ‘absurd’, ditambah pada masa Orde Baru yang membatasi warga keturunan etnis Tionghoa untuk mengekspresikan budayanya di depan umum yang secara tidak langsung juga melanggar hak asasi, akibatnya tradisi budaya etnis Tionghoa di Indonesia kian meluntur. Perayaan Tahun Baru Imlek merupakan perayaan penting untuk etnis Tionghoa, sehingga setiap tahunnya secara rutin dirayakan dan diwariskan ke generasi selanjutnya, melalui orang tua dan diajarkan kepada anak-cucunya.

Seiring berkembangnya zaman dan adanya pergeseran makna yang terjadi, tidak banyak etnis Tionghoa yang masih mengikuti tradisi lama dalam menyambut datangnya perayaan Tahun Baru Imlek. Bagi sebagian orang, persiapan seperti menyiapkan pakaian baru dan membersihkan rumah sudah bukan hal yang wajib atau dipercaya dengan arti tertentu. Gagasan ini mendukung adanya makna konotatif yang terbentuk bagi sebagian etnis Tionghoa berdasarkan pengalaman pribadi. Dengan demikian pernyataan ini didukung oleh Susanne K. Langer dalam bukunya yang berjudul ‘Philosophy In A New Key’ makna sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu makna denotatif yang merupakan makna yang disetujui secara bersama dan makna konotatif, gambaran atau makna pribadi oleh seseorang yang berdasarkan pada pengalaman atau lainnya.

Menurut Larry Samovar dalam bukunya yang berjudul ‘Komunikasi Lintas Budaya’, salah satu karakeristik budaya adalah dinamis. Masih menurutnya, penyebaran budaya dapat terwujud dalam berbagai bentuk (Karya seni, cerita dan pepatah) dan dapat memiliki banyak media yaitu media massa, media sosial, teman/ kerabat, keluarga, tempat ibadah, sekolah dan lainnya. Budaya juga dipelajari melalui berbagai proses salah satunya proses enkulturasi di mana proses pembelajaran suatu budaya yang total.

Cara penyebaran tradisi budaya etnis Tionghoa seperti perayaan Tahun Baru Imlek salah satunya melalui keluarga. Dengan demikian ajaran dari orang tua pun sangat berpengaruh terhadap budaya yang diwariskan secara turun temurun. Bila budaya sudah mulai luntur maka nilai dalam tradisi mulai hilang.

Saat ini, etnis Tionghoa memang diizinkan untuk mengekspresikan tradisi dan budayanya di hadapan umum, namun hal ini yang juga ditanggapi sekelompok pihak lain entah itu pengusaha ataupun yayasan Buddhis ‘melenceng’ yang tujuannya komersial. Berdasarkan tradisi yang biasa saya lakukan, biasanya pada hari pertama tepat di hari pertama tahun Imlek, saya habiskan berkumpul bersama keluarga besar. Lalu datang ke rumah ngkong (公 Gong, kakek) dan mak (媽 Ma, nenek), memberikan penghormatan soja dan mereka berbagi angpao kepada para cucu dan keponakannya. Karena menurut petuah dari orang-orang tua zaman dulu, yang diperkenankan memberi hanyalah orang yang sudah menikah, jika belum menikah tidak boleh memberikan angpao.

Sejauh apapun keluarga merantau atau sesibuk apapun diusahakan untuk berkumpul pada malam Imlek, dengan berkumpulnya keluarga dekat, papa, mama, ngkong-mak, anak-cucu, keponakan untuk makan bersama setelah itu berkumpul, bercengkrama, membincangkan apa saja. Hari kedua dan ketiga barulah mengunjungi para tetangga dan teman-teman yang sama-sama merayakan. Diutamakan untuk mengunjungi semua keluarga dahulu, tujuannya adalah untuk menghormati dan memberi selamat kepada mereka. Orang yang pertama diberi ucapan selamat adalah orang yang lebih tua dengan ucapan ‘Kiong Hi’ atau ‘Gong Xi Fa Chai’ (恭禧发财). Imlek bagi saya adalah hari di mana bisa berkumpul dan merayakan tahun baru bersama.

Perayaan Tahun Baru Imlek yang saat ini melenceng dirasa karena sekelompok pihak pengusaha ataupun yayasan Buddhis ‘melenceng’ yang memanfaatkannya hanya untuk tujuan komersial yang terkesan merusak tradisi dan budaya yang diwariskan leluhur. Imlek saat ini menjadi komoditi, persis seperti Natal saat ini, contohnya, saat ini mulai banyak ‘kebaktian Imlek’ yang dilakukan tidak jauh dari tanggalnya, Imlek menjadi dirayakan di luar rumah padahal semestinya Imlek dirayakan harus pada ‘inner circle’ dahulu bukan pada ‘outer circle’.

Imlek saat ini memang sudah diterima masyarakat, milik masyarakat umum Indonesia saat ini, tetapi penerapannya sering salah kaprah terutama oleh non-Tionghoa yang ingin terlihat toleransi apalagi Buddhis non-Tionghoa yang ingin membuat terkesan kenalan Tionghoanya dengan berpartisipasi dan turut memeriahkan tetapi menjadi salah kaprah karena mereka tidak mengerti inti dari Imlek yang seolah hanya diisi oleh hura-hura dan bagi-bagi angpao saja, ditambah dengan kebaktian-kebaktian yang menurut saya terlalu ‘maksa’ seolah juga turut meramaikan dan mengajak orang agar ramai-ramai ke vihara/cetiya yang diadakan suatu yayasan Buddhis ‘melenceng’ saat Imlek. Semestinya berkumpul dengan keluarga, kerabat-teman terdekatlah yang diutamakan, kecuali jika satu umat vihara isinya keluarga atau teman-kerabat kita semua baru boleh deh, hahaha. Belum lagi ada acara doorprize konyol dan tukeran kado bodoh, memangnya seperti apa budaya kami, serta semakin kacau dengan diadakan seminar/webinar tentang Imlek, untuk apa pula Imlek dijadikan seminar/webinar. Tujuan sebenarnya dari itu semua sudah terbaca bagi yang peka yaitu hanya untuk menarik simpati umat Buddha Tionghoa agar senantiasa setia berdana pada yayasan tersebut yang tidak mengerti sama sekali mengenai tradisi budaya-agama Tionghoa.

Pengalaman penulis yang juga ikut dalam suatu organisasi bercorak Buddhis Mahayana dari Taiwan, juga ada merayakan Tahun Baru Imlek bersama tapi itupun dilaksanakan setelah Cap Go Meh atau 15 hari setelah Imlek, karena yang diprioritaskan adalah merayakan Tahun Baru Imlek bersama keluarga dan kerabat-teman dekat dahulu baru merayakan bersama yang di luar itu. 

Kerusakan makna tersebut belum lagi diperparah oleh para pengusaha yang terlalu komersil, contohnya Imlek saat ini justru diramaikan di mall-mall agar orang datang dan tidak merayakan Imlek di rumah bersama keluarga atau bersama kerabat-teman dekat dan menghabiskan uangnya untuk belanja dengan diskon fiktif.

 

Kesimpulan

Perayaan Tahun Baru Imlek saat ini mulai bergeser maknanya bagi etnis Tionghoa dengan makna sebenarnya. Bagi etnis Tionghoa adalah saat untuk berkumpul bersama keluarga, karena di dalam suatu inti perayaan Tahun Baru Imlek terkandung nilai-nilai luhur yang patut untuk mendapatkan perhatian. Eksistensi Imlek sebagai sebuah budaya didukung oleh nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam perayaan itu, Imlek bukan hanya perayaan tahun baru biasa, bukan pula sebuah perayaan yang diisi dengan berbagai ritual yang serba meriah dan glamor. Sebagai sebuah perayaan tradisi, Imlek mempunyai ‘isi’ yang ingin ditawarkan kepada para penerusnya maupun masyarakat umum. Imlek merupakan bentuk simbol yang merupakan bentuk aktualisasi orang Tionghoa dari berbagai pengalaman perjumpaan peristiwa dan manusia lainnya dengan kehidupannya. Oleh karena itu, berbicara tentang perayaan Tahun Baru Imlek tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan orang Tionghoa yang memiliki kesan dengan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Pengalaman dan kesan inilah yang kemudian menjadi ‘bahan’ bagi etnis Tionghoa dalam merayakan Imlek, dan inilah yang disebut sebagai makna dari Imlek.

 

新年快樂! 万事如意! 恭喜发财!

 

 

Daftar Pustaka

  • Xin, Qi. Chinese Festivals. Foreign Languages Press. Beijing.
  • Langer, S. K. Philosophy In A New Key. Mentor Book. New York. 1955.
  • Samovar, Larry A, et al. Komunikasi Lintas Budaya. Salemba Humanika. Jakarta. 2010.
  • Cheristien, Veranica dan Susanto, Eko Harry. Pergeseran Makna Perayaan Tahun Baru Imlek bagi Etnis Tionghoa di Jakarta. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara. Jakarta. 2018.
  • Taniputera, I. History of China. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. 2008.
  • Bloomfield, F. Chinese Beliefs. Arrow Books. London. 1983.
  • http://www.buddhanet.net/. Diakses 16 Januari 2022.
  • https://www.taoist.org/. Diakses 16 Januari 2022.
  • https://komunitasaleut.com/2013/02/13/catatan-ngaleut-imlek-part-2-keunikan-cap-go-meh-tempo-doeloe/. Diakses 17 Januari 2022.
  • Rahayu, Puspita Puji dan Indiarti, Priscilla Titis. Makna Peruntungan Usaha dalam Simbol di Budaya Imlek bagi Masyarakat Etnis Tionghoa Surabaya. Fakultas Psikologi Universitas Nasional Karangturi. Semarang. 2020.
Butuh bantuan?