Independen ≠ Soliter

Home » Artikel » Independen ≠ Soliter

Dilihat

Dilihat : 33 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 86
  • 129
  • 59,870
Pic 5 Independen

Oleh: Majaputera Karniawan, M.Pd.

 

“Tidak ada wanita yang gila kerja,
Kecuali wanita-wanita yang sadar
Bahwa tidak ada satupun orang yang
Akan mewujudkan keinginannya,
kecuali dirinya sendiri.
Itulah kenapa, independen women tahan banting.”
(Copasan Mbak-Mbak Independen di FB Pro)

 

A. Narasi Independen Di Titik Ekstrimnya

Belakangan ini narasi Independen mencapai titik ekstrimitasnya. Banyak orang menarasikan dirinya sebagai superman yang tidak memerlukan bantuan orang lain karena merasa dirinya independen, yakni bisa berdiri sendiri (hidup mandiri) dan tidak memiliki ketergantungan kepada orang lain. Celakanya adalah mereka mengasosiasikan kemandirian ini sebagai “Hidup soliter” (Baca: Hidup sendiri). Sehingga ia mendeskripsikan eksistensinya sebagai “Singa di antara manusia”, aku tidak butuh anda makanya aku independen kok! Demikianlah narasinya. Hidup soliter, hidup sendiri layaknya singa dengan gagah berani meninggalkan kawanannya yang justru akan bergantung padanya. Lama kelamaan ia tidak lagi memiliki kepercayaan kepada manusia dan kelak narasi Independen akan mencapai titik ekstrimitasnya, pada tahapan ekstasi ia akan memuncak menjadikan manusia independen larut dalam euforia sebagai “Homo Homini Lupus

 

B. Homo Homini Lupus vs Homo Homini Socious

Dalam fenomena manusia modern, semakin merasa independen seseorang, ia semakin soliter, individualis, egosentris, hanya mementingkan diri sendiri, bahkan rela mengabjeksikan jasa-jasa dan bantuan orang lain. Kita bisa lihat banyak orang di korporat yang merasa dapat bergerak sendiri, narsistik-manipulatif (bahkan cenderung marchiavellianism) dengan menyatakan “Sadar gak kalo gak ada gue ini proyek gak jalan?” Merasa si paling penting dan tidak butuh siapapun padahal ia sendiri bisa sampai di titik ini berkat kerja sama banyak pihak, baik yang secara sukahati maupun secara terpaksa bekerja sama dengan orang seperti ini. Sebagai contoh saja, misalnya ada pelaku narsistik dari generasi boomers yang tidak punya kemampuan teknologi (sekedar convert file dari word ke pdf saja tidak bisa), tetapi merendahkan generasi berikutnya sebagai pemalas dan mental tempe, meski begitu ia mengklaim hasil kerja satu divisi bisa jadi karena “dia”.

Fatamorgana nya tentang independen di titik ekstrim telah membawanya pada sifat terburuk manusia, yakni “Homo Homini Lupus” yang dapat diartikan sebagai “Manusia adalah Serigala bagi sesamanya”. Jadi benarkah ia seperti singa? Atau justru ia hanya serigala kesepian yang berusaha eksis dengan menggigit sesamanya? Secara ontologi dia hidup sebagai manusia, tetapi secara eksistensial ia telah menjadi berjiwa serigala. Wujudnya bisa muncul sebagai banyak trait perilaku seperti “Power Syndrome” (Kegilaan karena kuasa kekuatan); “Savior complex/Superman syndrome” (merasa diri dia sebagai penyelamat), dan sebagainya.

Ketika ia ditinggal oleh orang-orang yang selama ini membantunya, ia akan menunjukkan penolakan (Grief) bahkan merasa tidak bersalah. Sampai ia melawan seluruh dunia dan mungkin pada titik terparah, ia diabaikan oleh dunia. Bisa oleh orang-orang yang tidak lagi menganggapnya “Ada” dalam hidupnya, atau ketika fisiknya sudah tidak lagi optimal. Mungkin di titik ini orang-orang yang over independent akan sadar bahwa dirinya adalah Homo Homini Socius (Manusia adalah mahluk sosial bagi sesamanya).

 

C. Sembuh dari Penyakit Independen Gila

2024 lalu saya membuat meme “Penyakit Independen Gila” merujuk pada orang-orang yang over independent, kondisi di mana orang memutuskan menjadi soliter seutuhnya dan mengabjeksikan orang lain (baca: menganggap orang lain ada, namun tidak penting untuk ada). Tetapi apakah manusia menjadi soliter dan individualis karena masalah psikologi semata? Nyatanya tidak demikian. Dunia berubah dan berlari terlalu cepat, hal ini disebut dromologi. Dromologi pada tahap ekstrimitasnya dikepung oleh narasi Kapitalisme yang berangkat dari materialisme kronis. Kalau narasi ini dijadikan diktum logika kira-kira berbunyi seperti ini: “Aku punya banyak uang maka aku punya modal. Karena aku punya modal, aku punya POWER. DIAM LU MISKIN! SELAIN DONATUR DILARANG NGATUR”.

Tanpa sadar saat mereka sudah menjadi soliter seutuhnya, mereka menjadi “Kapitalis-kapitalis kecil” yang tidak lagi menganggap manusia sebagai manusia. Bagi mereka manusia bagian dari kapita (modal) dan semua yang berurusan dengan modal harus bicara dividen atau laba. Dengan kata lain mereka menganggap manusia sebagai “Instrumen/Modal” saja. Menikah pun bagi seorang kapitalis adalah “Transaksi”. Tidak semata-mata menghasilkan keturunan dan hidup bahagia. Karena hidup bahagia baginya adalah memiliki banyak materi dan kapita. Celaka bagi manusia bila semua sudah menganggap seluruh tarikan nafasnya dan gerak tubuhnya harus dihitung dengan uang. Demikian sebaliknya bila semuanya untuk sosial manusia juga melarat, terlebih di masa kini terlalu baik justru dimanfaatkan bukan? Maka boleh jadi orang baik tapi jangan sampai kita dimanipulasi oleh “Manusia serigala” lain yang mencoba memangsa kebaikan kita. Lalu salahkah kita menjadi “Singa”???

Tidak salah mencari harta karena harta (Artha/Bhoga) adalah jalan dari jasa kebajikan (Punna). Toh manusia juga Homo Economicus (Mahluk yang memahami ekonomi). Hanya saja manusia perlu mendeskripsikan kembali eksistensinya sebagai homo homini socius (mahluk sosial) yang secara nilai-nilai tradisional dinarasikan dalam budaya gotong royong dan tolong menolong. Cobalah buka mata kita: Apakah kita lahir karena bantuan orang tua kita? Pernahkah ada orang yang menyelamatkan bahkan peduli dengan kita? Sampaikah kita di titik ini bila tanpa dukungan orang tua, guru, dan sahabat kita? Terakhir bertanyalah pada diri sendiri: Apa makna eksistensi kita di dunia? Sebagai singa soliter (yang ternyata seekor serigala) atau sebagai singa pemimpin kawanan (yang mandiri namun kepadanya orang lain berlindung dan saling memberi manfaat padanya).

Selamat berpikir dan merenung di tengah gurun kehidupan. Banyak-banyaklah meragukan dan bertanya, sehingga kamu bisa banyak belajar.

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Daftar Pustaka
“Homo Homini Lupus”. The English Encyclopedia. http://www.encyclo.co.uk/define/Homo%20homini%20lupus Diakses tanggal 20 Mei 2014.
Homo Homini Socius vs Hell is Other People: Sebuah Perbandingan Konsep Eksistensi antara Driyarkara dan Sartre. https://suarakita.org/2012/05/homo-homini-socius-vs-hell-is-other-people-sebuah-perbandingan-konsep-eksistensi-antara-driyarkara-dan-sartre/. Diakses 1 April 2025.
Piliang, Yasraf Amir. (2011). Dunia yang Dilipat ; Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan (3). Bandung: Matahari.

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?