Jangan Memperkosa Semangat

Home » Artikel » Jangan Memperkosa Semangat

Dilihat

Dilihat : 11 Kali

Pengunjung

  • 25
  • 18
  • 31
  • 30,861
memperkosa semangat jpg

Oleh: Majaputera Karniawan

Semangat dapat diartikan sebagai perasaan  fundamental yang  sangat  kuat  yang dapat dialami  oleh  setiap  orang dalam suatu  kegiatan  sehingga  seseorang mampu melakukan pengarahan potensi yang    menimbulkan, menghidupkan, dan menumbuhkan tingkat keinginan yang tinggi (Maspupah 2018: 7). Namun apa jadinya jika perasaan semangat tersebut diperkosa? Ya, ini berasal dari pemikiran Mèngzǐ (Bingcu 孟子 372 SM-289 SM) seorang filsuf konfusianis yang melegenda.

Menurutnya semangat yang bergelora adalah jodoh dan pembantu dari kebenaran dan jalan suci. Semangat tersebut tumbuh karena seseorang berkumpul dengan kebenaran terus menerus, bukan karena satu atau dua perbuatan baik saja. Dalam hal semangat berbuat baik, ia memandang bahwa seseorang hendaknya senantiasa bersemangat dan mengusahakan perbuatan-perbuatan benar secara terus menerus tanpa mengharapkan hasilnya dahulu, serta jangan membantu tumbuh (memaksakan sebuah perbuatan baik). Ia memberi alegori seperti seseorang dari negeri Song yang tidak sabar ingin membuat tanaman padi tumbuh cepat menariki setiap pucuknya, keesokan harinya padinya layu semua (Bingcu, IIA: 2).

Memperkosa semangat baginya bukan karena ‘hal yang tidak dapat diterima pikiran jangan dicarikan pertimbangan dalam semangat’, tetapi karena ‘hal yang tidak dapat diterima dalam pembicaraan jangan dicarikan pertimbangan pada pikiran’. Karena adanya penolakan (denial) akan sesuatu yang tidak dapat diterima pikiran (citta) inilah yang membuat semangat belajar atau berbuat baik seseorang tidak timbul. Pikiran (citta) akan membuat semangat memenuhi seluruh tubuh, maka seseorang perlu menjaga pikiran, pegang teguh pikiran (citta) dan jangan memperkosa semangat (dengan membiarkan pikiran tidak terjaga atau bergejolak, Ibid). Dalam hal melakukan kebajikan, seseorang perlu banyak mendengar, melihat, dan memahami terlebih dahulu.

Seringkali penolakan di awal membuat seseorang mengambil kesimpulan lebih awal sehingga belum memahami esensinya sudah melakukan penolakan, sudah memperkosa semangatnya sendiri. Sekalipun bertemu dengan orang-orang yang seakan-akan Toxic (beracun, maksudnya merugikan dan menyesatkan orang lain), ia harus menyelidikinya dulu dengan mendengar dan memahami, baru setelah ia tahu toxic atau tidaknya seseorang baru melakukan tindakan lebih lanjut yang diperlukan. Itulah sebabnya dikatakan ‘Yang dibenci umum harus diperiksa, dan yang disukai umum harus diperiksa pula’ (Lun Gi XV: 28). Hal ini dalam paradigma fenomenologi disebut Emik, berusaha mengetahui perspektif seseorang yang sebenarnya.

Dalam hal semangat, Konfusius (551 SM – 479 SM) memiliki pandangan tersendiri. Beliau membaginya dalam tiga masa kehidupan yang harus benar-benar diperhatikan seorang susilawan berbudi luhur (Kuncu/Junzi 君子, dalam Lun Gi: XVI: 7):

  1. Sewaktu muda ketika semangat masih berkobar-kobar, berhati-hati dengan masalah asmara.
  2. Setelah dewasa saat badan jasmani sedang kuat-kuatnya dan semangat membaja, menjaga diri dari perselisihan.
  3. Setelah tua dikala semangat sudah lemah, hendaknya berhati-hati terhadap ketamakan.

Pemikiran ini menegaskan meskipun seseorang bersemangat penuh, namun hendaknya tetap tahu batas, agar tidak sampai terjadi hal yang merugikan. Dalam hal tahu batas, Laozi (570 SM – sekitar 470 SM) memiliki pemikiran bahwa siapapun yang tahu batas kemampuan diri akan selamat. Dikatakan bahwa setelah seseorang memiliki nama, harus mengetahui batas dirinya dan melaksanakan kewajibannya masing-masing sehingga akan jauh dari marabahaya (Dao De Jing Bab 32). Hanya yang tahu diri baru dapat terlepas dari kehinaan, tahu kapan saatnya harus berhenti akan lebih selamat sehingga dapat bertahan serta hidup lebih lama (Dao De Jing Bab 44).

Maka itu ada sebuah pepatah Tiongkok kuno yang berbunyi ’Zhi zu chang le’ (知足常乐), secara harfiah artinya: Merasa cukup adalah kebahagiaan sejati (Halim, 2021). Mampu merasa puas dan tahu batas akan kemampuan diri sendiri membuat seseorang dapat selamat dan tidak terjadi bahaya yang tidak diinginkan.

Sementara itu Sang Buddha (Siddhartha Gautama 563 SM – 483 SM) memandang bahwa semangat perlu diusahakan dalam tiga kasus (Anguttara Nikaya 3.49), yaitu:

  1. Semangat harus dikerahkan untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk (Akusala Dhamma) yang tidak bermanfaat yang belum muncul.
  2. Semangat harus dikerahkan untuk memunculkan kualitas-kualitas yang bermanfaat (Kusala Dhamma) yang belum muncul.
  3. Semangat harus dikerahkan untuk menahankan perasaan-perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tidak menyenangkan, dan melemahkan vitalitas seseorang.

Sederhananya, seseorang harus memunculkan semangat untuk mengeliminir sifat sikap buruk pada dirinya, kemudian seseorang harus memunculkan semangat untuk menambahkan hal-hal bermanfaat pada dirinya, dan terakhir ketika sedang sakit, seseorang harus mengupayakan agar tetap bersemangat guna menjalani pengobatan dan mengatasi penyakitnya. Jika Anda bijak, jangan biarkan semangatmu melemah, meskipun rasa sakit mengganggu, walaupun dilanda rasa sakit, tidak akan pernah berhenti untuk berharap mendapatkan kebahagiaan (Jātaka Aṭṭhakathā 483).

Menurut Nagasena (sekitar 150 SM), yang menjadi ciri dari semangat adalah Penguatan (Upatthambhana), dengan semangat yang dikerahkan maka tidak ada kondisi batin yang baik akan menjadi berkurang atau menurun (Milindapañha 3.1.12). Bersemangat dalam melakukan hal-hal yang benar menjadi modal seorang Bodhisattva mengumpulkan kebajikan (parami), dalam salah satu kehidupan lampaunya, Sang Bodhisattva berkata “Kita harus selalu teguh dalam melakukan hal yang benar … Tetaplah semangat, Saudaraku; tetap teguh memegang harapan; Jangan biarkan semangatmu surut dan melemah” (Jātaka Aṭṭhakathā 124).

Dari berbagai pemikiran-pemikiran para tokoh timur di atas menegaskan bagaimana seseorang perlu menjaga semangat, meski masing-masing menekankan pada bidang yang berbeda. Ada yang menekankan pada fase kehidupan, pada semangat belajar dan menyelidiki dengan empati, pada pengembangan (kultivasi diri), maupun pada saat sakit. Tetapi semuanya merujuk pada satu kata, semangat dapat timbul bergelora dengan menjaga pikiran (citta), jangan biarkan pikiran kita bergejolak atau terganggu sehingga semangat menjadi diperkosa hal yang mengganggu pikiran kita.

Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita bebaskan semangat kita dari perkosaan? Semua tergantung bagaimana anda menjaga pikiran sendiri. 

***

Daftar Pustaka

Halim, Harjanto. Zhi Z(h)u Chang Le, Bisa merasa cukup dan tidak egois, adalah dua sisi dari sebuah keping mata hati. https://aseng.id/kongkow/2021/03/28/zhi-zhu-chang-le/. Diakses Desember 2021.

Karniawan, Majaputera. 2020. Kumpulan Petikan Dhamma (Dhammaquote) Seri Jataka Atthakatha. Jakarta. Yayasan Yasodhara Puteri.

Karniawan, Majaputera. 2021. Kumpulan Petikan Dhamma (Dhammaquote) Seri Cariyapitaka, Buddhavamsa, dan Milindapanha. Jakarta. Yayasan Yasodhara Puteri.

Lika. ID. Dao De Jing Kitab Suci Utama Agama Tao. Jakarta. Elex Media Komputindo.

Maspupah, Siti Amin Nur Hayati. 2018. Dampak Pekerjaan Orang Tua Pada Semangat Belajar Siswa Ma Hasan Muchyi Kelas Xi. Undergraduate (S1) Thesis. IAIN Kediri. http://etheses.iainkediri.ac.id/1376/ Diakses Desember 2021.

MATAKIN. 2010. Su Si (Kitab Yang Empat). Jakarta. Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).

Suttacentral.net (Online legacy version). Anguttara Nikaya. http://www.legacy.suttacentral.net/an Diakses Desember 2021.

Butuh bantuan?