Oleh: Gifari Andika Ferisqo (方诸德)
Profesi guru merupakan profesi yang sangat mulia karena mereka yang berjasa besar mendidik kepada penerus bangsa supaya mumpuni dan berkualitas. Namun, banyak di antara para guru di Indonesia yang dihargai dengan gaji yang kecil dan hanya diiming-imingi ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ tanpa memerhatikan realitas sesungguhnya bahwa guru juga harus memiliki kualitas penghidupan yang layak supaya lebih baik dalam kualitas mengajarnya.
Seorang guru sangat berpengaruh dalam perkembangan para muridnya, baik itu dari pengetahuan, keterampilan, bahkan sifat atau kebiasaan gurunya. Dikatakan berpengaruh karena sosok guru pasti akan banyak ditiru oleh muridnya dan penyampaian ilmu pun dapat berjalan dengan baik sehingga mudah diterima oleh para murid tergantung dari gurunya sendiri. Dengan begitu guru bukanlah hanya sekedar profesi melainkan juga sebagai sosok role model oleh para muridnya sehingga seorang guru harus berusaha bersikap dan bermoral dengan baik, dan menjadi tanggung jawab besar yang diemban oleh seorang guru yang tidak semua orang mampu menjalankan itu semua.
Guru akan berinteraksi dengan anak-anak yang notabene adalah muridnya, yang mana merupakan kelas manusia yang mudah sekali terpengaruh. Bagaimana guru berperilaku/bertindak di dalam kelas, memberikan afeksi positif, melakukan konfrontasi pada murid yang sulit diatur, cara guru berbicara (menggunakan bahasa kasar atau sopan), mindset seorang guru (patriarkis/feminis/liberal/konservatif, dan sebagainya), semuanya pelan tapi pasti akan ditiru oleh anak didiknya. Saat malam, role model seorang anak adalah orang tuanya, namun dari pagi sampai sore hari, role model mereka adalah guru mereka di sekolah.
Pentingnya Latar Belakang Seorang Guru
Di Indonesia, melihat latar belakang guru itu masih dianggap sesuatu yang merepotkan dan tidak penting oleh para orang tua atau bahkan mungkin belum terpikirkan. Namun di negara berbudaya Sinosfer seperti Korea misalkan, sangat umum para orang tua atau sekolah rela menyelidiki calon guru sebelum disetujui menjadi pengajar sekolah, ini berkaitan dengan dengan ajaran Konfusianisme (儒教) yang sangat mementingkan pendidikan dan sudah mendarah daging di Korea. Terutama kalau si guru akan berinteraksi dalam waktu lama dengan sang anak seperti misalnya guru les, para orang tua pasti akan menyelidiki bibit, bebet, bobot sang calon guru mengenai siapa keluarganya atau apa marganya, di mana ia pernah bersekolah dan berkuliah, dan siapakah sang calon guru di lingkungan sosialnya, dengan tujuan untuk mendapatkan guru yang berkualitas bagi anaknya.
Sebagai contoh, pacar saya adalah guru bahasa Mandarin dengan latar pendidikan lulusan kampus di Tiongkok, pada pertengahan 2021 pernah mencoba untuk melamar sebagai guru bahasa Mandarin di salah satu sekolah Internasional di Jakarta karena tertarik dengan gajinya yang menyentuh angka dua digit. Pada saat seleksi administrasi, pacar saya dimintai data keluarga secara rinci dimulai nama papa, mama, dan saudara kandung serta tanggal, tahun, dan tempat lahirnya. Kemudian juga ada kolom pendidikan terakhir orang tua dan saudara kandung, tempat tinggal saat ini, tempat bekerja, dan gaji/pendapatan terakhir mereka. Pacar saya yang sudah pernah mengisi form aplikasi dari berbagai sekolahpun agak heran mengapa mereka meminta data keluarganya serinci itu.
Singkat cerita setelah lolos seleksi administrasi dan interview pertama dan kedua, tahap selanjutnya adalah interview ketiga namun pacar saya tidak menghadirinya dan dianggap gugur karena sudah mendapatkan tawaran yang sedikit menarik di sekolah lain meskipun gajinya tidak menyentuh angka dua digit.
Sebenarnya latar belakang keluarga dari seorang guru sama pentingnya dengan latar belakang pendidikan guru tersebut. Sekolah-sekolah yang baik dan berkualitas rata-rata memiliki guru dengan latar belakang yang juga baik, entah dari sisi pendidikan mereka, catatan aktivitas mereka, maupun dari keluarga mana mereka berasal. Seringnya, metode seleksi guru berfokus pada pendidikan dan seberapa pintar sang calon guru tanpa memerhatikan dari mana sang calon guru berasal, dan seperti apa kondisi keluarganya. Padahal, seperti apa lingkungan sang calon guru bertumbuh dan berkembang hingga dewasa akan memberikan pengaruh penting kepada murid-murid yang akan ia didik kelak.
Saat SD/SMP/SMA saya berlatar belakang mengenyam pendidikan di sekolah Katolik dan pernah dididik oleh berbagai jenis guru. Dari guru yang pintar memotivasi, guru yang cerdas sekali, guru yang menyokong tiada henti, sampai guru yang malas-malasan, tidak serius mengajar, suka membawa masalah keluarga ke dalam kelas yang mana beberapa jenis guru itu yang saya sebutkan terakhir berujung tidak bisa melanjutkan karirnya lagi di sekolah saya. Mungkin ini juga berkaitan bagaimana sekolah berusaha menjaga kualitas pendidikannya semaksimal mungkin sebagai bentuk tanggung jawab terhadap orang tua murid yang memercayakan anaknya bersekolah di sana.
Namun untuk banyak sekolah Buddhis tampaknya masih kurang maksimal dalam menjaga kualitas pendidikan mereka. Beberapa dari guru di sekolah Buddhis pernah saya dengar juga kadang kurang melakukan afeksi. Minimnya apresiasi terhadap para siswa seperti contohnya ketika guru melihat muridnya bisa mengerjakan soal yang sulit tidak dipuji tetapi justru sang guru berkata kalau itu masih soal mudah. Ada lagi, saya pernah mendengar kasus guru yang bersikap rasis kepada anak didik dan orang tuanya karena orang tua dari murid tersebut complain mengenai hukuman yang diberikan kepada anaknya, sebenarnya dari sini sudah bisa dikatakan kalau orang tua murid tersebut juga salah tetapi di luar dugaan adalah sikap guru tersebut yang rasis dengan mengatakan ‘cina’ kepada orang tua dan muridnya. Akibatnya orang tua murid tersebut geram dan melaporkan ke polisi dengan bukti CCTV sekolah dan sempat membawa lawyer ke sekolah anaknya, namun semua berakhir damai karena guru tersebut takut hukum dan dengan catatan guru tersebut diberikan sanksi oleh sekolah karena guru tersebut memohon supaya tidak dipecat.
Guru bermasalah tersebut adalah lulusan dari STAB (Sekolah Tinggi Agama Buddha) di Jakarta yang mendapat beasiswa untuk berkuliah dan dibawa dari kampungnya di daerah Jawa Tengah supaya mengangkat ekonomi keluarganya dan mengubah nasibnya agar menjadi lebih baik. Logikanya adalah guru bermasalah tersebut dibiayai dan difasilitasi kuliah oleh orang Tionghoa yang berdana untuk beasiswa tersebut, kemudian setelah lulus bekerja di sekolah yang yayasannya dibangun oleh orang Tionghoa dengan murid yang juga mayoritas Tionghoa yang mana orang tuanya membayar iuran untuk gajinya namun setelah diberi kemudahan itu semua seolah guru bermasalah tersebut terkesan ‘menggigit’ orang Tionghoa. Bisa diduga kasus seperti ini juga terjadi karena monotonnya lingkungan, masa lalu dan latar belakang kurang baik dari guru tersebut sehingga kaget ketika bertemu orang tua Tionghoa yang umumnya bawel dan terkesan galak layaknya ‘ncim-ncim’ pada umumnya. Melihat dari kasus ini apakah yakin anak kita mau dididik oleh guru seperti ini? Kita yakin anak kita tidak akan terpengaruh jika gurunya melakukan perbuatan tersebut? Ini adalah kasus dari sebuah sekolah Buddhis yang cukup besar di wilayah Bekasi.
Di sekolah saya terdahulu sebenarnya juga banyak para guru, pastor/bruder dan suster yang berasal dari etnis Jawa, namun bedanya mungkin karena mereka sudah lama dididik dengan tradisi supaya bersikap seperti bangsawan Eropa/Belanda, menyebabkan banyak sikap dan kebiasaan buruk dari tradisi lama mereka yang terkikis dan tidak terkesan kampungan. Bayangkan, untuk menjadi dianggap sebagai ‘guru seutuhnya’ di sekolah mungkin mereka harus menghabiskan waktu sekitar 10 tahun dari sekolah seminari sampai S-1 pendidikan, sehingga tidak heran dalam kurun waktu tersebut mereka banyak ditempa baik mental dan kesiapan sebagai guru. Ini juga yang saya harapkan dan menjadi kritik bagi kita semua umat Buddha agar lebih selektif dalam memilih calon guru dari seleksi calon mahasiswa di STAB sampai latar belakang dari calon mahasiswa yang kelak akan menjadi guru tersebut. Memang terkesan diskriminatif tapi untuk pencapaian tujuan yang baik, kadang banyak yang harus kita korbankan dan tidak bisa terus-menerus bersikap idealis supaya anak-anak kita yang juga umat Buddha bisa memiliki kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) yang baik dan bisa bersaing di kancah dunia.
Warning Untuk Para Calon Guru
Sebenarnya ini sebagai warning, baik untuk anda yang mau jadi guru maupun untuk para orang tua yang akan menitipkan anak-anaknya di sekolah. Warning untuk anda para calon guru karena jika anda ingin jadi guru, jangan hanya karena anda ingin dan punya passion di sana atau karena tidak ada pilihan lagi kecuali menjadi guru dengan berkuliah di STAB, tetapi anda juga harus mawas diri dengan melihat dan merunut apakah masa lalu anda akan merugikan orang lain atau tidak. Apalagi tanggung jawab anda itu anak-anak yang sudah dipercayakan para orang tua kepada anda. Apakah hasil dari masa lalu anda bisa anda kendalikan? Jika anda ragu tidak bisa mengendalikannya sebaiknya sadar diri dan pikir-pikir kembali untuk menjadi guru. Anda harus sadar kalau dari masa lalu itulah anda terbentuk menjadi orang yang seperti apa. Apakah anda lahir dari keluarga yang asal-asalan dalam mendidik anak-anaknya, keluarga yang banyak hutang, temperamental, senang mengumpat, senang mengontrol, bermental keroyokan dan takut jika sendiri atau tidak respect terhadap orang lain? Inner child dan hasil dari masa lalu yang menyakitkan tidak bisa dikendalikan sendiri oleh anda kecuali melalui bantuan psikolog/psikiater.
Kesimpulan
Alasan saya menekankan point di latar belakang keluarga dan lingkungan karena saya paham our environment shapes our personality much more than we think. Ini seperti lingkaran setan, karena mungkin banyak dari kita tidak sadar kalau personality atau habit itu sifatnya menular. Sikap dan adab buruk calon guru ditularkan oleh keluarganya, dan calon guru tersebut juga akan menularkannya pada anak orang lain yang notabene adalah murid-muridnya. Kalau saya jadi orang tua pasti akan merasa tenang dan berbahagia jika guru dari anak saya ternyata orang baik-baik yang berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik-baik juga. Saya akan melakukan apapun agar anak saya lebih dekat dengan guru itu supaya anak saya bisa melihat contoh yang baik-baik dan termotivasi untuk menjadi baik juga.
Salah satu pengalaman nyatanya juga masih dari pacar saya yang juga part time mengajar bahasa Mandarin untuk anak-anak kelas menengah ke atas. Untuk dapat into atau nyambung dengan mereka, kemampuan mengajar bahasa Mandarin saja tidak cukup, nyatanya juga dituntut harus punya wawasan luas tentang apapun. Bahkan di tengah pembelajaran harus siap ditanya mengenai sesuatu yang random oleh anak-anak tersebut. Seperti, ”老师 (lǎoshī), mengapa Tiongkok dan Amerika bermusuhan?” atau, “老师 (lǎoshī), apakah bahasa Inggris nanti tidak berguna lagi?”, dan masih banyak deretan pertanyaan random lainnya untuk ukuran anak usia 6-12 tahun. Anak-anak orang ‘berada’ umumnya memiliki cakupan diskusi yang luas dan berbeda. Jika seorang guru tidak bisa mengimbangi wawasan mereka, maka guru tersebut akan merasa insecure.
Intinya, melihat pengalaman dan keberhasilan sekolah berkualitas mencari guru yang mampu menyamakan perspektif atau cara berpikir mereka dengan muridnya. Mereka tentu mencari guru yang tidak hanya pandai dalam bidang ilmu tertentu, tetapi juga pandai memberi wawasan baru mengenai banyak bidang. Kenyataan pahitnya, guru yang memiliki wawasan bagus ini juga rata-rata berasal dari latar belakang lingkungan yang bagus dan baik-baik juga, dan itu langka sehingga mereka pantas dibayar mahal.
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Daftar Pustaka
- Alter, J & Coggshall, J.G. (2009). Teaching as a clinical practice profession: Implications for teacher preparation and state policy. New York: New York Comprehensive Center for Teacher Quality.
- Schmidt, W.H, Cogan, L., & Houang, R. (2011). The role of opportunity to learn in teacher preparation: An international context. Journal of Teacher Education.
- Lee, Deok-nyung, 2004. “Dreaming about a Revolution in Education.” Korea Focus. 12 (1):39-41. Originally Joong Ang Ilbo, April 10, 2004.
- Voss, T., Kunter, M., & Baumert, J. (2011). Assessing teacher candidates’ general pedagogical/ psychological knowledge: Test construction and validation. Journal of Educational Psychology.
- Roqib, Moh. dan Nurfuadi. 2009. Kepribadian Guru. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.
- 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
- Gambar: https://www.teachwire.net/news/the-school-i-taught-in-was-a-toxic-work-environment/