Oleh: Arya Karniawan
Artikel ini berasal dari artikel penelitian yang telah diterbitkan di Jurnal Pendidikan Buddha dan Isu Kontemporer milik STAB Bodhi Dharma.
(https://bodhidharma.e-journal.id/JS/article/view/70)
Perkembangan agama Buddha di Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam beberapa tahun ini. Sejak diakuinya agama Buddha sebagai agama resmi pada tahun 1978 (Bhagavant, 2015) hingga saat ini, telah banyak kanon-kanon Buddhis yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan agama Buddha di Indonesia, terkadang memunculkan pro dan kontra dalam menyikapi berbagai masalah, salah satunya adalah pemujaan dewa-dewi Kelenteng di dalam Vihara. Terdapat segelintir orang yang menganggap bahwa tradisi pemujaan dewa-dewi bernafaskan Kelenteng tidak sejalan dengan agama Buddha. Salah satunya seperti pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh orang-orang ini:
Sumber gambar: Pengolahan sendiri.
Hal ini sendiri tentunya menimbulkan keresahan dan kebingungan tersendiri di kalangan umat Buddha. Apakah benar bahwa umat Buddha dilarang keras untuk melakukan pemujaan pada altar-altar keagamaan/ tradisi non-Buddhis? Apakah praktek pemujaan kepada dewa-dewi non-Buddhis adalah salah bagi umat Buddha? Apakah pelaksanaan tradisi dilarang dalam agama Buddha? Apakah tradisi menyebabkan kemerosotan dalam agama Buddha? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini dapat muncul dari pernyataan-pernyataan segelintir orang tersebut. Oleh karena itulah, peneliti melakukan suatu penelitian kajian pustaka apakah yang dikemukakan oleh orang-orang ini sudah benar dan sesuai dengan Dhamma dan Vinaya Sang Buddha, atau malah sebaliknya, bertentangan dengan Dhamma dan Vinaya Sang Buddha.
A. Pelaksanaan Tradisi Dalam Sudut Pandang Agama Buddha.
Berdasarkan fakta yang ditemukan oleh peneliti, ternyata Sang Buddha Gotama sendiri memang pernah tidak memuji tradisi-tradisi tertentu seperti tradisi pengorbanan hewan-hewan (AN 4.39). Namun, Sang Buddha sendiri tidak pernah berupaya untuk mengubah secara radikal atau melenyapkan tradisi-tradisi dan kepercayaan yang ada, melainkan cenderung untuk membiarkan tradisi-tradisi dan kepercayaan pada tempatnya. Dengan tidak mengubah tradisi yang ada, ajaran Buddha tumbuh bersama dengan tradisi-tradisi yang ada di daerah tersebut.
Kesimpulan ini berasal dari berbagai sudut pandang dari Sutta-sutta yang ada. Misalnya pada MN 95, di mana dikatakan bahwa Sang Buddha tidak berniat mencelakai silsilah para Brahmana. Selain itu, pada Dhp 49 dikatakan bahwa Para bijaksana layaknya seekor lebah yang mengambil nektar dari bunga-bunga tanpa merusak warna dan baunya, yang berarti tidak merusak tatanan masyarakat yang dikunjunginya. Juga pada DN 25, Sang Buddha mengajar Dhamma bukan untuk merubah peraturan-peraturan, gaya hidup, atau ataupun apa yang dianggap baik/ buruk dari ajaran yang dianut seseorang. Melainkan untuk meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat, yang mengarah pada kelahiran dan penderitaan di masa depan. Dari tiga kutipan Sutta ini, dapat ditarik benang merah bahwa Sang Buddha sendiri memang tidak berniat sama sekali untuk mengubah tatanan masyarakat yang ada pada masa itu, melainkan hanya berfokus pada pembabaran ajaran-Nya demi kebahagiaan banyak makhluk. Sehingga dapat dikatakan bahwa agama Buddha, dalam perkembangannya tidak berupaya untuk merusak pelaksanaan tradisi-tradisi, adat-istiadat, dan budaya yang ada.
B. Tradisi Pemujaan Dewa-Dewi Non-Buddhis Dalam Agama Buddha.
Dalam hal tradisi pemujaan dewa-dewi non Buddhis, Sang Buddha sendiri tidak pernah menunjukkan sikap antipati terhadap altar-altar pemujaan/ cetiya-cetiya kuno yang ada pada saat itu. Dalam MN 4, Sang Buddha Gotama ketika masih menjadi Bodhisattva, Beliau justru berdiam di altar-altar di hutan dan kebun, juga altar-altar pohon pada malam-malam Uposatha untuk melatih diri mengatasi rasa takut. Bahkan ketika Beliau telah menjadi seorang Buddha, Beliau tetap tidak bersikap antipati terhadap altar-altar pemujaan kuno.
Di dalam Tipitaka, terdapat nama-nama altar pemujaan/ cetiya kuno yang dibangun sebelum masa Buddha Gotama, yang sering dikunjungi oleh Sang Buddha. Cetiya-cetiya ini pada umumnya didedikasikan untuk pemujaan terhadap Yakkha. Nama-nama cetiya itu adalah Cetiya Aggalava (Snp 2.12; SN 8.1), Ajakalapaka (Ud 1.7), Ananda (DN 16), Udena (DN 16), Gotamaka (DN 16), Capala (DN 16), Makutabandhana (tempat Buddha dikremasi DN 16), Bahuputta (DN 16), Sattambaka (DN 16), Sarandada (AN 7.22), Supattittha (Kd 1), Pasanika (Snp 5.18). Di cetiya-cetiya ini, Beliau bersama dengan para siswa-Nya seringkali dikatakan berdiam dan membabarkan Dhamma kepada masyarakat yang berkumpul di sana.
Selain itu, Beliau juga sangat mencela perilaku penghancuran pohon-pohon, baik yang berupa altar ataupun bukan, yang dianggap sebagai tempat keramat dan dihuni oleh makhluk halus. Misalnya pada Dg-Bu-Pm-Pc 11 di mana terdapat larangan seorang Bhiksu menghancurkan desa hantu dan makhluk halus. Pararel dari aturan ini dapat dilihat dalam Bu-Vb-Pc 11, di mana Sang Buddha mencela perilaku Bhikkhu yang menebang pohon secara sembarangan dan mengabaikan kehadiran makhluk halus berupa sesosok dewa dan puteranya yang berdiam di pohon tersebut. Kisah lainnya dalam Vinaya Pitaka dapat dilihat pada Bu-Vb-Ss 7, di mana Sang Buddha mencela perilaku seorang Bhikkhu yang membangun Vihara dengan menebang pohon yang sangat dikeramatkan di wilayah tersebut.
Juga dalam beberapa khotbah-Nya, Beliau seringkali mengajarkan kepada umat awam sehubungan dengan pemujaan terhadap altar-altar tradisi. Misalnya pada DN 16, Sang Buddha mengajarkan perilaku pemujaan dan penyembahan leluhur dan altar-altar kuno sebagai prinsip ketidak-munduran. Kemudian dalam AN 5.58, di mana Sang Buddha membabarkan lima kualitas kemajuan seorang anggota keluarga kepada Mahanama, salah satunya adalah pemujaan kepada para dewata dengan memberikan persembahan. Dan yang terakhir pada AN 5.228, di mana Sang Buddha menjelaskan tentang bahaya terlambat mempersiapkan makanan di siang hari, salah satunya adalah para dewa tidak mendapatkan persembahan tepat pada waktunya.
Dari banyaknya penjelasan yang terdapat dalam Tipitaka, dapat diambil kesimpulan mengenai sudut pandang agama Buddha terhadap tradisi pemujaan dewa-dewi non-Buddhis. Bahwasannya Sang Buddha sendiri tidak pernah bersikap antipati terhadap altar-altar keagamaan/ tradisi non Buddhis. Beliau sendiri malah mengajarkan perilaku pemujaan terhadap altar-altar tradisi, dan Beliau tidak pernah mengatakan pelaksanaan tradisi pemujaan adalah salah.
C. Penyebab Kemerosotan Dhamma dan Vinaya
Dalam beberapa khotbah-Nya, Sang Buddha menjelaskan bagaimana terjadinya kemerosotan Dhamma dan Vinaya. Yang pertama dalam SN 16.13. di mana Sang Buddha mengatakan Dhamma Sejati akan lenyap karena orang-orang yang tidak tahu diri, yaitu Bhikkhu, Bhikkhuni, Upasaka dan Upasika yang tidak memiliki rasa hormat dan sopan santun kepada Buddha, Dhamma, Sangha, terhadap pelatihan, dan terhadap konsentrasi. Sedangkan dalam AN 6.40, poin keempat dan kelima adalah tidak menghormati dan menghargai kewaspadaan dan keramahan. SN 47.22 juga senada dengan kedua Sutta sebelumnya, yaitu ketika Satipatthana tidak dikembangkan dan dilatih.
Juga dalam AN 5.154-156, masing-masing Sutta menjelaskan lima hal yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma Sejati. Sutta pertama menyebutkan bahwa lima hal itu adalah: Para Bhikkhu bersikap tidak hormat ketika mendengarkan; mempelajari; menghafalkan; memeriksa makna Dhamma yang telah dihafal; dan memahami dan berlatih sesuai Dhamma. Sutta kedua menyebutkan lima hal itu adalah yaitu para Bhikkhu tidak mempelajari Dhamma dari kanon (yang pada saat itu berupa 9 Anga); tidak mengajarkan Dhamma secara terperinci; tidak menyuruh orang lain untuk mengulang Dhamma secara terperinci; tidak melafalkan Dhamma secara terperinci; dan tidak mempertimbangkan, memeriksa, dan menyelidiki Dhamma yang telah didengar. Dan Sutta terakhir menyatakan kelima hal itu adalah: para Bhikkhu mempelajari Dhamma yang disusun dengan buruk; memiliki sifat sulit dikoreksi, tidak sabar, dan tidak dengan hormat menerima Dhamma; tidak dengan hormat mengajarkan Dhamma; para Bhikkhu hidup mewah dan menjadi pelopor kemerosotan; terjadinya perpecahan Sangha.
Dari Sutta-sutta ini dapat disimpulkan bahwa penyebab Dhamma dan Vinaya lenyap adalah karena sikap tidak hormat kepada Buddha, Dhamma, Sangha itu sendiri dalam segala aspeknya, yaitu mempelajari Dhamma, mempraktikkan Dhamma yang telah dipelajari, dan menembus Dhamma yang telah dipelajari. Dari tidak menghormati inilah, Dhamma tidak akan dipelajari dengan baik, sehingga mengarah kepada kemunduran dan kehancuran. Bukan karena pelaksanaan tradisi pemujaan altar non Buddhis yang dilakukan oleh umat awam.
Kesimpulan
Dari bagian pembahasan dapat disimpulkan bahwa agama Buddha sendiri tidaklah bersikap antipati terhadap tradisi-tradisi non-Buddhis yang ada. Hal ini terbukti dari sikap Sang Buddha yang tidak berniat sama sekali untuk mengubah tatanan masyarakat yang ada, melainkan hanya berfokus pada pembabaran ajaran-Nya demi kebahagiaan banyak makhluk. Sehingga dapat dikatakan bahwa agama Buddha, dalam perkembangannya tidak berupaya untuk merusak pelaksanaan tradisi-tradisi, adat-istiadat, dan budaya yang ada. Dalam hal tradisi pemujaan, Sang Buddha sendiri tidak pernah menunjukkan sikap antipati terhadap altar-altar pemujaan/ cetiya-cetiya kuno non-Buddhis yang ada pada saat itu. Beliau sendiri malah mengajarkan perilaku pemujaan terhadap altar-altar tradisi, dan Beliau tidak pernah mengatakan pelaksanaan tradisi pemujaan adalah salah. Sedangkan penyebab Dhamma dan Vinaya lenyap adalah bukan karena pelaksanaan tradisi dan pemujaan altar non Buddhis. Melainkan karena sikap tidak hormat kepada Buddha, Dhamma, Sangha itu sendiri dalam segala aspeknya, yaitu mempelajari Dhamma, mempraktikkan Dhamma yang telah dipelajari, dan menembus Dhamma yang telah dipelajari. Dari tidak menghormati inilah, Dhamma tidak akan dipelajari dengan baik, sehingga mengarah kepada kemunduran dan kehancuran.
Daftar Pustaka
Bhagavant. 2015. Buddhisme di Indonesia Zaman Orde Baru Oleh Bhagavant. https://bhagavant.com/buddhisme-di-indonesia-zaman-orde-baru diakses pada 29 Juni 2022 14.20 WIB.
Dhammacitta. 2009. Khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha Digha Nikaya. Diterjemahkan dari judul asli “The Long Discourse of the Buddha A Translation of Digha Nikaya” oleh Maurice Walshe, Wisdom Publication–Boston 1995. Jakarta. Dhammacitta Press.
Dhammacitta. 2010. Samyutta Nikaya Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Buddha Buku 1. Diterjemahkan dari judul asli “The Connected Discourses of the Buddha A Translation of the Samyutta Nikaya” oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publication – Boston 2000. Jakarta. Dhammacitta Press.
Dhammacitta. 2010. Samyutta Nikaya Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Buddha Buku 2. Diterjemahkan dari judul asli “The Connected Discourses of the Buddha A Translation of the Samyutta Nikaya” oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publication – Boston 2000. Jakarta. Dhammacitta Press.
Dhammacitta. 2010. Samyutta Nikaya Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Buddha Buku 5. Diterjemahkan dari judul asli “The Connected Discourses of the Buddha A Translation of the Samyutta Nikaya” oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publication – Boston 2000. Jakarta. Dhammacitta Press.
Dhammacitta. 2013. Khotbah-khotbah Menengah Sang Buddha Majjhima Nikaya Bagian Satu. Diterjemahkan dari judul asli “The Middle Length Discourse of the Buddha A Translation of Majjhima Nikaya” oleh Bhikkhu Bodhi dan Bhikkhu Nanamoli, Wisdom Publication – Boston 1995. Jakarta. Dhammacitta Press.
Dhammacitta. 2013. Khotbah-khotbah Menengah Sang Buddha Majjhima Nikaya Bagian Dua. Diterjemahkan dari judul asli “The Middle Length Discourse of the Buddha A Translation of Majjhima Nikaya” oleh Bhikkhu Bodhi dan Bhikkhu Nanamoli, Wisdom Publication – Boston 1995. Jakarta. Dhammacitta Press.
Dhammacitta. 2015. Anguttara Nikaya Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha Jilid 1. Diterjemahkan dari judul asli “The Numerical Discourses of the Buddha A Translation of the Anguttara Nikaya” oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publication – Boston 2012. Jakarta. Dhammacitta Press.
Dhammacitta. 2015. Anguttara Nikaya Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha Jilid 2. Diterjemahkan dari judul asli “The Numerical Discourses of the Buddha A Translation of the Anguttara Nikaya” oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publication – Boston 2012. Jakarta. Dhammacitta Press.
Dhammacitta. 2015. Anguttara Nikaya Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha Jilid 3. Diterjemahkan dari judul asli “The Numerical Discourses of the Buddha A Translation of the Anguttara Nikaya” oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publication – Boston 2012. Jakarta. Dhammacitta Press.
INDONESIA TIPITAKA CENTER (ITC). 2008. VINAYA PITAKA VOLUME I (SUTTAVIBHANGA). Medan. Penerbit Indonesia Tipitaka Center (ITC).
INDONESIA TIPITAKA CENTER (ITC). 2012. VINAYA PITAKA VOLUME II (SUTTAVIBHANGA). Medan. Penerbit Indonesia Tipitaka Center (ITC).
INDONESIA TIPITAKA CENTER (ITC). 2019. VINAYA PITAKA VOLUME IV (SUTTAVIBHANGA). Medan. Penerbit Indonesia Tipitaka Center (ITC).
- Supandi, Cunda. 2004. DHAMMAPADA. Jakarta. Penerbit Vidyāvardhana Samūha.
Karniawan, Arya. 2020. Dharmaguptaka Bhikṣu Pratimokṣa. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Arya Karniawan. https://aryakarniawan.blogspot.com/2020/04/dharmaguptaka-bhiksu-pratimoksa.html. Diakses pada 29 Juni 2022 16.30 WIB.
Karniawan, Arya. 2022. BOLEHKAH UMAT BUDDHA MEMUJA DEWA-DEWI TRADISI? SEBUAH KAJIAN PENTING BERDASARKAN PERSPEKTIF BUDDHA DHAMMA. Medan. Jurnal Pendidikan Buddha dan Isu Sosial Kontemporer (JPBISK)
SuttaCentral. 2017. Sutta Nipāta. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Indra Anggara https://suttacentral.net/snp8.1/id/anggara. Diakses pada 29 Juni 2022 16.08 WIB.
SuttaCentral. 2017. Sutta Nipāta. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Indra Anggara https://suttacentral.net/snp5.18/id/anggara. Diakses pada 29 Juni 2022 16.10 WIB.
SuttaCentral. 2017. Udāna. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Indra Anggara https://suttacentral.net/ud1.7/id/anggara. Diakses pada 29 Juni 2022 16.12 WIB.