Kebahagiaan Manusia Dari Mutu Hidup Yang Bernilai dan Baik

Home » Artikel » Kebahagiaan Manusia Dari Mutu Hidup Yang Bernilai dan Baik

Dilihat

Dilihat : 12 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 304
  • 181
  • 55,319
Pic 3 Feb Kebahagiaan

Oleh: Jo Priastana

 

“Kebahagiaan bergantung pada diri kita sendiri”
(Aristoteles, Fisuf Yunani)

 

Kesuksesan dalam hidup selayaknya menghantar pada hidup yang bahagia. Persoalannya bagaimanakah sesungguhnya kehidupan yang bahagia itu? Adakah kebahagiaan itu bersifat subyektif dan andaikata pun demikian, tidakkah bisa dibaca atau setidaknya dimengerti kebahagiaan tersebut dari berbagai pandangan yang dipahami dan diyakini banyak kalangan?

Sejak zaman dahulu, adanya kehidupan manusia dengan peradabannya, kebahagiaan menjadi bahan perbincangan. Kebahagiaan diperbincangkan karena menjadi dambaan manusia untuk dapat mengalaminya dan hidup tumbuh di dalamnya. Karenanya, baik pula bila kita mendengar dan mencoba memahami pendapat-pendapat tentang apa itu kebahagiaan dari berbagai kalangan, terutama para filsuf ahli pikir maupun dari kalangan agama dan terutama para penekun kedalaman spiritual.

Jauh dari kesuksesan yang bersifat duniawi-material yang masih berada dalam tataran yang relatif dan mudah berubah, tampaknya kebahagiaan yang dikemukakan dari para flisuf dan kaum penekun spiritual patut disimak. Para filsuf yang memang sungguh-sungguh mendambakan hidup yang bahagia atau bahkan mereka memang bahagia karena menjalani hidupnya itu demikian, yakni hidup yang dikatakan bernilai dan baik. Hidup yang lebih mengatasi tataran duniawi-material, namun berada dalam nilai keabadian yang menawarkan pengalaman kebahagiaan.

 

Kebahagiaan Para Filsuf, yang Bernilai dan Baik

Kesuksesan tampaknya selalu dikaitkan dengan kebahagiaan, dua istilah yang tidak dapat dipisahkan ketika membahasnya. Dalam buku karya Sunaryo dan Pipip A. Rifai Hasan, yang berjudul “Konsep Kualitas Hidup Dalam Kerangka Kapabilitas,” Penerbit Buku Kompas, 2024, diungkapkan tentang kesuksesan menurut para filsuf. Selain itu juga ditelusuri pengenalan tentang kebahagiaan menurut agama dan mistisisme yakni kebahagiaan yang berujung pada kata hidup yang bernilai dan baik.

APA itu hidup yang baik? Adalah salah satu pertanyaan besar, baik dalam filsafat dan agama, hidup yang baik terkait dengan hal yang dianggap luhur dan bernilai. Kita simak pendapat dari para filsuf seperti: Plato, Aristoteles dan Sokrates. Ketiganya merupakan rangkaian guru dan murid.

Plato, filsuf di abad ke 4-SM (427-347 SM), memahami kebahagiaan yang sejati sebagai sesuatu yang diarahkan pada dan oleh “Yang Baik.” “Yang Baik” ini dipahami sebagai kebaikan pada dirinya sendiri, dan karena itu ia merupakan kebaikan yang hakiki. Keterarahan manusia pada “Yang Baik” akan membuatnya meraih kebahagiaan dalam arti yang hakiki.

Aristoteles yang merupakan murid Plato di Akademia merumuskan kebahagiaan sebagai eudomonia. Eudomonia dalam bahasa Inggris bisa diartikan sebagai kebahagiaan (happiness) atau kondisi baik/kesejahteraan (well-being). Tujuan hidup manusia selalu diarahkan untuk meraih kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan tujuan puncak hidup manusia.

Bagi Sokrates (470-399 SM), guru Plato, kebahagiaan muncul karena hal-hal baik, seperti kemakmuran, ketampanan (good looks), popularitas, dan keberuntungan yang baik (good fortune). Sokrates mengingatkan, perlunya aktivasi dari hal-hal yang baik, yaitu bagaimana sesuatu digunakan dan untuk tujuan apa. Sesuatu yang baik bila digunakan untuk hal yang buruk akan menjadi buruk.

Dengan pengetahuan dan kebijaksanaan, kepemilikan hal-hal baik yang berfungsi dengan baik akan diarahkan untuk sesuatu yang baik. Di sini kita melihat bahwa nilai dari kepemilikan segala sesuatu yang baik dan berfungsi baik ada dalam panduan kebijaksanaan (wisdom). Kebijaksanan adalah kebaikan tanpa kualifikasi, dan ia yang menentukan kebahagiaan (Russel, 2005:19-20).

Apa yang membuat orang bisa berbahagia? Jawabannya bisa berbeda-beda. Dalam dialog Sokrates, disebutkan beberapa hal yang membuat orang bahagia di antaranya adalah 1) kemakmuran (wealth), 2) kesehatan, kecantikan/ketampanan dan semua manfaat tubuh, 3) kelahiran yang baik dan posisi kekuasaan serta kehormatan di dalam kota, 4) kesederhanaan, keadilan, dan keberanian, 5) kebijaksanaan, dan 6) keberuntungan yang baik.

Dalam soal ini, Aristoteles juga mengidentifikasi hal yang sama. Ia menyebut semua itu sebagai hal yang membuat kita semakin cukup diri (autarkeia) dan aman (security/asphaleia). Dalam pandangan Aristoteles, kebahagaiaan mengandaikan adanya kecukupan diri dan keamanan. Ide mengenai kebahagiaan terkait dengan konsep keutamaan (virtue, arete).

Aristoteles (384-322 SM) mendeskripsikan keutamaan sebagai “Satu kapasitas yang mengamankan dan melindungi hal-hal baik, satu kapasitas yang memberikan manfaat dalam banyak cara.” Kesehatan dan kekuatan dapat dianggap sebagai keutamaan dalam arti keutamaan tubuh.

Aristoteles menjelaskan kata virtue, yang dimaknai lebih tinggi sebagai karakter yang bernilai. Orang yang memilkiki karakter bernilai disebut sebagai agathos, yakni orang baik tanpa spesifikasi. Keutamaan dalam arti karakter yang bernilai itu misalnya dalam keadilan, keberanian, kesederhanaan, keindahan, kemurahan hati, kelemahlembutan, kecerdasan, dan kebijaksanaan (Irwin, 1995: 33-34).

 

Kebahagiaan, Agama dan Mistisisme

Perhatian besar terhadap hidup yang baik dan kebahagiaan tidak hanya disadari oleh para filsuf, namun juga dari kalangan agama. Pembawa agama, para nabi, dan orang beragama memiliki perhatian besar pada hidup yang baik. Para pembawa agama dan para nabi biasanya mengaitkan kehidupan yang baik dengan yang ilahi dan alam akhirat yang kekal.

Kebahagiaan dipahami sebagai perjumpaan atau penyatuan kembali dengan yang ilahi, dan pandangan ini biasanya dikaitkan dalam tradisi mistik dan tasawuf. Para mistikus dan sufi adalah para pencari kebahagiaan yang dianggap sejati. Puncak kebahagiaan sejati ada pada saat manusia mengalami penyatuan dengan ilahi.

Untuk meraih kebahagiaan yang hakiki ini, manusia harus menjaga jarak dari kehidupan dunia dan kenikmatan duniawi. Hasrat manusia pada kenikmatan dunia bisa menjadi penghalang untuk semakin mendekat pada kebahagiaan yang hakiki.

Mistisisme dan tasawuf merupakan kecenderungan spiritual yang ada dalam setiap agama, bahkan ia menjadi bagian yang vital dalam agama. Fase puncak dalam mistisisme adalah penyatuan dengan realitas paling tinggi (ultimate reality). Dalam mistisisme, manusia terserap dalam kesadaran mengenai yang ilahi dimana ia melihat segala sesuatu itu sebagai sesuatu yang tidak bermakna. Mistisisme dapat digambarkan sebagai pengalaman spiritual di mana seseorang bisa merasakan Tuhan pada level yang paling tinggi (Smith, 1995:2).

Dalam tradisi mistik, biasanya ada yang disebut tahap-tahap perjalanan. Ada tiga tahap perjalanan, yaitu: purgative life, illuminative life, dan unitive life (Smith, 1995:6-8) (Sunaryo dan Pipip A. Rifai Hasan, 2024:4).

Tahap pertama adalah tahap purifikasi jiwa (purgative life) dari semua belenggu dosa dalam bentuk hasrat diri dan daya tarik sensualitas. Proses purifikasi hanya bisa terjadi melalui disiplin diri. Ritus penyesalan, puasa, berdoa, dan selalu terjaga (tidak banyak tidur) adalah praktik yang bisa dianggap mempurifikasi jiwa dan membersihkan diri dari segala hasrat.

Ketika seseorang sanggup melewati fase purifikasi, maka ia bisa masuk pada fase berikut yang disebut sebagai fase iluminatif (illuminative life). Capaian pada fase ini akan membuat mereka mengerti apa yang disebut Kehendak Ilahi. Menurut Smith, pada fase ini seseorang sudah berjalan dalam cahaya. Jiwa sudah tidak memiliki hasrat dan keinginannya sendiri, melainkan ia sudah berjalan dalam kehendak Ilahi.

Setelah melewati dua tahap itu seorang mistikus sampai pada fase yang disebut penyatuan (unitive life). Ini adalah fase ketika seorang mistikus sudah melewati ketidaksempurnaan menuju pada kesempurnaan, dan dari kegelapan menuju pada realitas tertinggi. Mereka sudah pada level penyatuan dengan realitas tertinggi (Beatific Vision) (Smith, 1995:6-8). Bila Aristoteles mengatakan kebahagiaan itu tergantung dari diri kita sendiri, maka dalam Buddhadharma pun tampaknya demikian. “Jadilah sebuah pulau di tengah lautan bagi Dirimu Sendiri,”

Bahwa kebahagiaan (sukha) adalah bebas dari penderitaan (dukkha) memang harus ditempuh oleh manusia itu sendiri dalam menjalani kehidupan yang bernilai dan baik. Hidup yang dijalani dimana manusia yang memanggul swastika penderitaannya menggapai puncak kebahagiaannya melalui jalan Dharma. Jalan hidup bernilai melalui purifikasi batin melalui keutamaan sila (moralitas dan etik), iluminatif dan unitive life dalam keheningan samadhi dan kebijaksanaan/wisdom atau kecerdasan spiritual prajna! (JP) ***

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Sumber gambar: https://hbr.org/resources/images/article_assets/2020/12/Jan21_12_525848907-700×394.jpg

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?