Kecanduan Materialisme: Ketika Manusia Lupa Menjadi Manusia

Home » Artikel » Kecanduan Materialisme: Ketika Manusia Lupa Menjadi Manusia

Dilihat

Dilihat : 104 Kali

Pengunjung

  • 1
  • 31
  • 271
  • 82,534
Pic 3 Kecanduan

Oleh: Majaputera Karniawan, M.Pd.

 

A. Dunia Berlari Terlalu Jauh

Dunia membawa manusia berlari terlalu jauh dari nilai-nilai moral. Inilah gambaran kehidupan masyarakat urban yang tidak lagi terlalu peduli dengan nilai-nilai moral tradisional. Masalah moral sudah seperti makanan sehari-hari, tetapi sering kali moral hadir hanya seperti “Polisi Penegak Moril” dengan pendekatan represif bahkan ala-ala koboi jalanan hanya saja beratribut agama dan mengaku bermoral. Bagi saya ketika ada satu pelanggar moral, terlalu dini bila langsung menilai dan menghardik dengan pendekatan moril semata dan mengabaikan alasan-alasan sosio-kultural, bahkan alasan emosi pribadi (emik) seseorang.

Bukankah kita tidak tahu kesulitan setiap orang? Bukankah kita tidak tahu bagaimana perasaan orang lain? Semua hal jika langsung dihardik dengan perkara moral justru akan menjadi destruktif dan merusak nilai moral itu sendiri dalam paradigma masyarakat. Maka moral bagi masyarakat posmodern menjadi nilai yang sekedar dipajang saja (diabjeksikan), karena bagi mereka seringkali moral hanya dijadikan alat represif generasi tua agar membuat para pemuda tetap patuh.

Masalah baru muncul setelah kita berhasil membuat moral sebatas barang antik yang dipajang tanpa pernah diaplikasikan secara keseharian. Stigma “Sok Alim”, “Bocah altar”, “Anak kyai”, “Anak romo”, “Udah kaya Biksu”, “Gausah sok suci” dan sejenisnya menjadi penanda bahwa bermoral baik di saat ini malah dipandang aneh. Padahal moral bagian dari ritus dan penjaga agama, sementara agama sendiri adalah benteng terakhir yang menahan manusia dari gempuran Kapitalisme dunia yang berorientasi pada materialisme akut, dengan kata lain moral dalam agama inilah pagar pembatas terakhir agar manusia tidak terlalu obsesi terhadap materialisme. Inilah masalah baru yang akan kita hadapi.

 

B. Validitas Cinta = Hubungan Seksual.

Saya belum lama bertemu kembali dengan seorang teman wanita, yang agak-agak suka bercinta dan mudah gonta ganti pasangan. Alih-alih menasehatinya dengan beragam nasihat moral-agama (apalagi dia juga seorang lulusan agama) saya lebih suka mendengarkan petualangan cintanya dan alasan intensinya. Bila ia tidak bertanya, saya memilih diam dan membiarkan kesadarannya menuntun dirinya kelak. Sewaktu masih kuliah, saya tahu bahwa ia sering gonta-ganti pasangan dan alasan paling utama adalah kehilangan figur seorang ayah dan masalah ekonomi. Ia bercerita sejak ibunya meninggal, ia kehilangan figur seorang ibu, dan karena sudah ada dasar-dasar penyuka hubungan intim, ia pun melampiaskannya dengan menjalani hal tersebut ke beberapa orang laki-laki.

Ia menceritakan bagaimana ia menggunakan aplikasi ini dan itu untuk menemukan orang-orang yang ia suka, bahkan seringkali bertemu cowok “Mokondo” yang cuma mau enak gratis. Sampai datang ke dalam hidupnya seorang laki-laki yang menjalin asmara dengannya, bukan sekedar transaksional walaupun statusnya ia sebagai selingkuhan, pelarian dari istri sahnya. Ajaibnya ia bercerita bahwa laki-laki ini tidak tertarik untuk berhubungan intim dengannya, bahkan dalam keadaan berdua tanpa busana mereka hanya ngobrol-ngobrol saja. Tanpa ada hubungan seksual. Disinilah ia merasa aneh dan meragukan cinta dari laki-laki tersebut. Baginya cinta itu perlu validasi dan salah satu cara memvalidasinya lewat hubungan seksual, mencoba memuaskan keduanya lewat hubungan seks yang saling memikirkan kepuasan si pria dan wanita.

Mendengar hal ini, saya mempertanyakan ukuran validasi hubungan di saat ini apakah hanya sebatas urusan ranjang? Lalu dinilai bagaimana performanya di atas ranjang apakah bisa membawa kepuasan atau tidak? Hubungan dalam hal ini hanya melihat manusia sebagai “Instrumen material” untuk kepuasan. Sama seperti Carvaka dalam filsafat Upanisad India kuno yang hanya berorientasi pada penguasaan materi. Hubungan saat ini hanya peduli pada objek material saja. Bahkan kalau mau dibuatkan diktum “Kamu punya materi maka kamu ada” atau “Barangmu bagus walau mukamu kaya beruk tapi aku suka”. Memang agak konyol, tetapi inilah yang disebut sebagai logika hasrat dalam kehidupan manusia urban posmodern.

 

C. Paradoks Validasi Manusia Era Gesselschaft

Di era Gesselschaft, era di mana hubungan manusia dianggap penting hanya bila ada relasi bisnis, keuntungan, atau sebagai bentuk tanggung jawab, semua opsi dinilai sebatas materi ril semata. Manusia disupervisi dan diberi nilai sebatas demi kepentingan profit organisasi, perusahaan, bos, atau pribadi tertentu. Kita tidak peduli bagaimana kesehatan mental dan kesejahteraan hidup manusia yang bekerja pada perusahaan (dan inilah yang membuat psikolog tetap kebanjiran pasien) sehingga tolak ukur manusia bukan dilihat lewat kualitas pribadi, tetapi lewat instrumen kinerja (KPI).

Manusia dipandang sebagai alat/instrumen untuk memperoleh profit, tetapi manusia sejatinya adalah makhluk hidup yang punya emosi dan intelegensi. Ia bisa merugikan atau menguntungkan perusahaan tergantung bagaimana perusahaan memperlakukannya. Hanya sayangnya seringkali perusahaan terlalu kaku dan sebatas mengukur (ekleren) manusia sebagai “Komoditas alat” dengan instrumen ukur tertentu (seperti KPI) yang nyata-nyata semakin mudah diakali. Inilah paradoks validasi gesselschaft.

Sebagai contoh:

  • Perusahaan mau warganya punya KPI bagus tetapi lazim kita temui orang ber KPI bagus malah hanya ditambah pekerjaannya sementara orang yang pandai menjilat justru naik jabatannya.
  • Pemilik perusahaan mengatakan pendidikan itu tidak penting dan bukan jaminan sukses, tetapi ia sebagai pemilik usaha malah meminta kompetensi minimal S1 sebagai syarat diterima kerja.
  • Perusahaan ingin menerima kandidat dari latar belakang yang baik-baik, bahkan sebelum di”hire” melewati sejumlah interview bahkan “stalking & doxing” data karyawannya. Tapi lingkungan tempat bekerjanya justru toxic, menipu mereka dengan janji-janji palsu, dan KPI sebatas formalitas belaka.
  • Tender di muka hanya formalitas, proposal sebagus apapun kalau tidak ada urusan bawah meja tidak akan dimenangkan.

Paradoks-paradoks inilah yang membuat manusia cenderung hanya peduli dengan materi yang tampak, berorientasi pada penguasaan materialisme. “Aku punya materi maka aku ada” bahkan materi seringkali dijadikan alasan meng”ada” bagi manusia-manusia postmodern. Orang tidak peduli bagaimana kebaikan seseorang hanya peduli saat kejahatan dilakukan. Orang tidak peduli pada perasaan orang lain hanya memikirkan kebutuhannya sendiri. Pada akhirnya manusia dengan orientasi materialistik (baik niat ataupun terpaksa) akan menghadapi 1 paradoks utama yakni “Lupa cara menjadi manusia”, karena nilai simpati dan empati kemanusiaannya sudah menguap.

 

D. Utopia: 一半儿脸 Yiban Erlian

Saat menonton film Ji Gong 济公 the Mad Monk, ada sebuah lagu bagus yang menjadi tema episode 7-8. Judulnya 一半儿脸 Yiban Erlian yang secara harfiah berarti “Half of the Face/Separuh tampak wajah”. Lagu iniaslinya dinyanyikan oleh You Benchang 游本昌, dengan lirik oleh Zhang Hongxi 张鸿西, dan musik oleh Jin Fuzai 金复载. Isi lagu ini mengingatkan kita akan dualitas dunia, sehingga kita lebih berpikir akan kehadiran orang lain, buat kita baik buat orang lain belum tentu baik. Sederhananya, saya mengajak anda mendengar lagu ini supaya ingat kembali cara menjadi manusia. Berikut isi lagunya:

 

一半脸儿哭,一半脸儿笑,

Yībàn liǎn er kū, yībàn liǎn er xiào,

Separuh wajahnya menangis, dan separuhnya lagi tertawa.

 

是哭是笑只有我知道。

shì kū shì xiào zhǐyǒu wǒ zhīdào.

Entah menangis atau tertawa, hanya aku yang tahu.

 

一半脸儿阴,一半脸儿阳,

Yībàn liǎn er yīn, yībàn liǎn er yáng,

Separuh wajahnya yin, dan separuhnya lagi yang.

 

阴阳两全好啊好相貌。

yīnyáng liǎng quán hǎo a hǎo xiàngmào.

Senang rasanya melihat tampilan yin dan yang sempurna.

 

哎……

Āi……

Ah.….

 

一半脸儿悲,一半脸儿欢,

yībàn liǎn er bēi, yībàn liǎn er huān,

Separuh wajahnya sedih, dan separuhnya lagi bahagia.

 

悲欢离合人间是常道,是常道!

bēihuānlíhé rénjiān shì chángdào, shì chángdào!

Suka dan duka adalah hal yang biasa. Itu hal yang biasa!

 

唵嘛呢叭咪吽

Ǎn ma ne bā mī hōng

Om Mani Padme Hum

 

唵嘛呢叭咪吽

ǎn ma ne bā mī hōng

Om Mani Padme Hum

 

吽啊吽 吽啊吽 吽啊吽吽吽~

hōng a hōng hōng a hōng hōng a hōng hōng hōng ~

Om A Hum Om A Hum Om A Hum Hum Hum ~

 

唵嘛呢叭咪吽

Ǎn ma ne bā mī hōng

Om Mani Padme Hum

 

唵嘛呢叭咪吽

ǎn ma ne bā mī hōng

Om Mani Padme Hum

 

吽啊吽 吽啊吽 吽啊吽吽吽~

hōng a hōng hōng a hōng hōng a hōng hōng hōng ~

Om A Hum Om A Hum Om A Hum Hum Hum ~

 

一半脸儿醉,一半脸儿醒,

yībàn liǎn er zuì, yībàn liǎn er xǐng,

Separuh wajahnya mabuk, dan separuhnya lagi terjaga.

 

似醉似醒乐啊乐逍遥。

sì zuì sì xǐng lè a lè xiāoyáo.

Tampaknya mabuk dan terjaga, dan aku bahagia dan riang.

 

一半脸儿冷,一半脸儿热,

Yībàn liǎn er lěng, yībàn liǎn er rè,

Separuh wajahnya dingin, dan separuhnya lagi panas.

 

世态炎凉何啊何时了?

shìtàiyánliáng hé a hé shíliǎo?

Kapankah ketakteraturan dunia ini akan berakhir?

 

哎……

Āi……

Ah…..

 

一半脸儿恶,一半脸儿善,

yībàn liǎn er è, yībàn liǎn er shàn,

Separuh wajah jahat, separuhnya lagi baik,

 

善恶到头总啊总要报, 总要报!

shàn è dàotóu zǒng a zǒng yào bào, zǒng yào bào!

Kebaikan dan kejahatan akan selalu mendapat balasan pada akhirnya, selalu mendapat balasan!

 

 

唵嘛呢叭咪吽

Ǎn ma ne bā mī hōng

Om Mani Padme Hum

 

唵嘛呢叭咪吽

ǎn ma ne bā mī hōng

Om Mani Padme Hum

 

吽啊吽 吽啊吽 吽啊吽吽吽~

hōng a hōng hōng a hōng hōng a hōng hōng hōng ~

Om A Hum Om A Hum Om A Hum Hum Hum ~

 

唵嘛呢叭咪吽

Ǎn ma ne bā mī hōng

Om Mani Padme Hum

 

唵嘛呢叭咪吽

ǎn ma ne bā mī hōng

Om Mani Padme Hum

 

吽啊吽 吽啊吽 吽啊吽吽吽~

hōng a hōng hōng a hōng hōng a hōng hōng hōng ~

Om A Hum Om A Hum Om A Hum Hum Hum ~

 

Video lagunya bisa ditonton di sini: https://m.bilibili.com/video/av14137584

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Daftar Pustaka:

  • Baike Baidu. n.d. 一半脸儿. https://baike.baidu.com/item/%E4%B8%80%E5%8D%8A%E5%84%BF%E8%84%B8/16854408. Diakses 13 Juli 2025.
  • Piliang, Y. A. (2011). Dunia yang dilipat: tamasya melampaui batas-batas kebudayaan. Indonesia: Matahari.
  • Piliang, Y. A. (2017). Dunia yang berlari: dromologi, implosi, fantasmagoria. Indonesia: Aurora (CV. Cantrik Pustaka).
  • Malaka, T. (2022). Madilog. Indonesia: IRCiSoD.
  • Gambar: Meta AI.
error: Content is protected !!
Butuh bantuan?