Oleh: Jo Priastana
Wanita cantik disamping memukau pria juga disenangi banyak orang. Karenanya wanita cantik tidak hanya diburu banyak pria, namun juga diincar untuk cover majalah atau promosi, iklan suatu produk. Kecantikan wanita bisa dieksploitir habis-habisan oleh bisnis, baik dalam selubung keratuan atau pemilihan miss-miss, artis film atau penyanyi.
Bila seseorang itu dilahirkan cantik, apakah kecantikan itu dapat memberinya hikmah kerendahan hati, ketidak-melekatan ataukah justru sebaliknya; mendatangkan keterikatan, ketinggian hati dan kesombongan? Apakah wanita cantik hanya jadi obyek kesenangan dan pemuas birahi pria? Adakah juga kecantikan justru mengungkung banyak orang dalam keterikatan atau kemelekatan lantaran keterpukauan atas keindahan bentuknya itu?
Kecantikan diburu, dikejar, dikomoditikan oleh banyak orang maupun wanita sendiri, mengingat kecantikan itu sangat terasa sekali daya pukau dan kenikmatannya berkat adanya kesadaran inderawi, kamma-citta, dan daya tarik seksualitas.
Lalu, apakah banyak orang harus jadi tenggelam dalam kenikmatan sensualitas dan keindahannya? Ataukah justru kecantikan bisa menjadi suatu kesempatan yang memungkinkan tercapainya kesadaran pencerahan dan pembebasan?
Kecantikan dan Seksualitas
Kecantikan dekat dengan kesadaran inderawi, karenanya kecantikan wanita itu juga berhubungan dengan seksualitas. Wanita yang cantik diburu pria, dan banyak pria bertekuk lutut di bawah kerling mata wanita cantik, terpukau oleh betis indahnya, atau payudaranya yang padat berisi, dan kemudian berusaha dengan cara apapun untuk mendapatkannya.
Dalam keterpukauan itu, mereka merasa adanya sentuhan dan ingin menguak keterbatasannya dengan menghadirkan pengalaman kesatuan yang bagaikan keterbentangan cakrawala. Terpukau dalam kecantikan perempuan bagaikan tenggelam dalam ketidakterbatasan cakrawala dan mengundang masuk menyelam ke dalam kedalaman samudera seksualitas tak kunjung henti.
Dengan begitu, yang indah, yang cantik itu dialami melalui disclousure situation: situasi batas yang membuka cakrawala – “kesatuan utuh tentang waktu dalam satu gerak keabadian.” Karenanya, tidak dipungkiri bila kecantikan juga tercampur dengan yang erotis, daya-daya seksualitas. Seksualitas yang hendak direngkuh itu juga dialami sebagai daya pembuahan, kesuburan alam dan kekuatan hidup.
Kecantikan juga dekat dengan keindahan sehingga kerap terekspresi dalam nyanyian, puisi, kesenian. Dan konsep kecantikan yang berkonotasi dengan tubuh yang montok, dada yang penuh dan subur, menjadi simbolik seksualitas seperti tercermin misalnya untuk bumi yang berarti ibu (wanita), rahim, pertiwi dan kandungan. Kesuburan tubuh perempuan seperti ini tergambar dalam relief-relief di candi Borobudur.
Yang cantik memukau dan mengundang untuk dirangkul, direngkuh, ditotalisir dalam peristiwa penyatuan. Karenanya seksualitas juga dialami sebagai cuatan pengalaman kesatuan ekstasis yang bulat, utuh, satu. Ciri pencapaian keutuhan, total, tuntas mutlak dari perasaan ini amat kentara pada pengalaman asmara atau erotis yakni kesatuan tubuh yang menjadi kulminasi atau titik puncak semua nilai dari seluruh perasaan dalam pengalaman puncak (peak experience).
Dan ciri mutlak dari pengalaman puncak ini – yang sesungguhnya tak juga tuntas ini (dalam pengalaman seksualitas, dan ini sesungguhnya bukan segalanya) – langsung menjadi kentara karena orang menolaknya begitu selesai, dan kemudian berhadapan dengan realitas yang ternyata memunculkan kembali duka, kecewa, tidak puas lagi. Namun, pengalaman kesatuan yang dikejar karena menganggap disitulah ada kemutlakan – namun yang sesungguhnya fatamorgana belaka – akhirnya tidak mudah juga bagi orang untuk menyadarinya dan lolos darinya.
Meski terjadi kekecewaan namun banyak orang tak juga kuasa untuk tidak mengejar kembali. Banyak tokoh termasuk tokoh agama jatuh karena wanita cantik, baik membeli atau dibeli. Banyak pria terpukau, memburu, terpedaya dan diperdaya wanita cantik, kemudian tenggelam dalam kegelimangan kenikmatan erotik asmara, kesadaran indrawi (kamma-citta) yang semu.
Padahal bila wanita cantik yang diburunya untuk mencapai kesatuan total itu telah menjadi mayat tak ada satupun orang yang sudi untuk meraihnya. Kebalikan ketika masih hidup yang diburu dengan segala daya dan pengorbanan apa pun.
“Memenuhi permintaan Buddha, Raja menunda kremasi jenazah Sirima, seorang pelacur cantik kelas atas. Pada hari keempat mayat telah membusuk. Lalu seluruh warga ibukota diwajibkan menyaksikan mayat tersebut. Ketika itu raja mengumumkan, bahwa ia akan menyerahkan Sirima dengan bayaran seribu kahapana. Tak seorang pun yang mau membayarnya. Harga diturunkan, hingga akhirnya dibawah satu kahapana. Namun diberi cuma-cuma pun tidak ada orang yang bersedia menerima. Sedangkan pada saat hidupnya, tubuh Sirima berharga seribu kahapana untuk satu malam.” (Vimanavatthu 16).
Tampaknya hanya sedikit orang yang dapat lolos dari jerat fatamorgana seksualitas kecantikan ini. Nagarjuna (sekitar abad 1) ahli pikir atau filsuf Buddhis terbesar dan peletak dasar Mahayana dengan filsafat Madhyamika-nya yang riwayat hidupnya di masa muda bergelimangan dengan pemburuan terhadap putri-putri cantik dari satu bilik puri ke bilik puri istana kerajaan, adalah salah satu atau sedikit orang yang cepat menyadari ketidakmungkinan merengkuh kemutlakan dari seksualitas itu.
Kesadaran pencerahan Nagarjuna terhadap seksualitas ini sendiri muncul berawal dari kematian teman-teman playboynya yang tewas oleh tombak pengawal istana saat-saat bersama-sama berburu wanita-wanita cantik di bilik-bilik puri istana. Peristiwa tragis inilah yang kemudian membuat Nagarjuna membalikkan secara total kehidupannya; dari berburu kenikmatan inderawi ke dalam petualangan keindahan filsafat dan kebahagiaan spiritual.
“Hidup ini memiliki banyak bahaya; yang lebih tidak stabil dibandingkan gelembung yang tertiup angin. Dengan nafas yang datang dan pergi, adalah keajaiban terbesar bahwa manusia selamanya bangkit dari tidur.” (Nagarjuna dalam Suhrleka).
Dalam surat-surat kepada temannya yang kemudian terangkum menjadi buku yang berjudul “Suhrleka,” Nagarjuna melukiskan tentang kesia-siaan memetik bunga-bunga yang ranum, serta akibat-akibat yang akan menyertainya, seperti yang ia lukiskan dalam surat-suratnya itu.
“Ketahuilah bahwa manusia itu seperti buah mangga. Tidak masak tapi tampak masak, masak tapi tampak tak masak, tidak masak dan tampak tidak masak, masak dan tampak masak.”
“Setelah bersanding dewi-dewi kahyangan yang cantik di atas bantal dari dedaunan bunga teratai emas, dalam aliran sungai yang lembut, kembali, seseorang jatuh ke dalam garam yang sangat panas, sungai vaitarani di neraka.”
“Setelah menikmati kesenangan mengejar putri-putri kahyangan dan kehidupan dalam taman yang indah, kembali, seseorang mendapatkan leher, tangan, kuping, dan indranya terluka oleh ranting-ranting pohon di taman yang mirip tongkat dan pedang.”
“Walaupun telah lama menikmati kesenangan membelai payudara dan pinggang putri-putri dari kahyangan, seseorang harus menyadari rasa sakit yang amat sangat di neraka dihimpit dan dipotong-potong dengan putaran roda gerigi.”
“Orang yang mengumpulkan bunga-bunga kesenangan indria, yang pikirannya kacau, akan diseret oleh kematian bagaikan banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.” (Dhammapada 47).
“Orang yang mengumpulkan bunga-bunga indria, yang pikirannya kacau, dan yang tak pernah puas, akan berada di bawah kekuasaan sang penghancur (kematian).” (Dhammapada 48).
Kecantikan dan Pencerahan
Sebagaimana penderitaan yang tidak lepas dari tubuh, kecantikan juga berhubungan dan melekat dengan tubuh. Maka bila pembebasan atau akhir penderitaan itu juga dimungkinkan dengan mencari sumber dan jalannya yang terdapat dalam tubuh itu sendiri, maka kecantikan pun bukan tidak mungkin bisa menjadi sarana dan kesempatan untuk menguak makna pembebasan dan kesadaran pencerahan.
“Dalam tubuh yang panjangnya sedepa ini, dengan kesadaran dan persepsinya, aku nyatakan adanya penderitaan, asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan untuk mengakhiri penderitaan,.” (Anguttara Nikaya IV,5:45).
Untuk itulah, Sang Buddha sangat menekankan sekali kepada siswanya untuk tidak menyia-nyiakan tubuh. Jalan Tengan Buddha bukanlah asketisme atau pertapaan keras yang menolak atau menegasi tubuh melalui penyiksaan, ataupun memanjakan tubuh dalam kehidupan hedonisme, kenikmatan indrawi.
Jalan Tengah Buddha adalah suatu disiplin dalam menguasai nafsu inderawi, dengan misalnya memperhatikan tubuh sebagai suatu sarana meditasi guna mencapai kesadaran pencerahan dan pembebasan. Kecantikan yang melekat pada tubuh, justru seharusnya tidak menjadi kemelekatan yang menghambat jalan pembebasan.
“Tuanku, Tathagata telah menunjukkan bahwa perhatian penuh pada tubuh adalah satu-satunya jalan yang dilalui. Peganglah hal itu, dan peluklah dengan erat-erat. Jika perhatian penuh itu lepas, semuanya akan jatuh berantakan. Tuanku! Tathagata telah menunjukkan perhatian penuh pada tubuh adalah satu-satunya jalan yang dilalui, sebab dari sanalah jalan menuju kebebasan dimulai. Hal itu telah dinyatakan. ‘wahai bhiksu! perhatian penuh pada tubuh, yang merupakan satu-satunya jalan yang harus dilalui, akan menjadikan semua makhuk murni, membuat mereka mampu mengatasi kekecewaan dan ketidakbahagiaan, membuat mereka memahami ajaran yang sesuai dengan alasan dan membawa ke dalam cahaya nirvana. Oleh sebab itu, milikilah perhatian penuh pada tubuh dan peganglah dengan erat, karena jika perhatian itu lepas maka segalanya akan jatuh.” (Nagarjuna dalam Suhrleka).
Kecantikan Sunya
Sebagai suatu contoh yang sangat bagus dalam hal masalah kecantikan yang membawa hikmah pembebasan ini dapat kita temukan pada ratu kecantikan Khema yang hidup semasa Sang Buddha.
Kisah di bawah ini yang diangkat dari Milis Buddhis News 040498 Fri, 03 Apr 1998, kisah Buddhis Ratu Khema, memperlihatkan Khema yang cantik itu akhirnya mencapai kesadaran pencerahan dan pembebasan justru lantaran kecantikan yang melekat di tubuhnya itu.
Khema adalah ratu cantik yang menjadi siswa utama wanita Sang Buddha, dan salah satu dari ratu-ratu cantik raja Bimbisara. Perubahan yang kemudian terjadi pada diri ratu Khema adalah sesuatu yang jarang terjadi, yaitu dimana Sang Buddha menggunakan kekuatan batinnya untuk membuat perubahan di hati orang lain.
Sang Buddha sendiri tidak pernah menggunakan kekuatannya untuk mengendalikan emosi atau perasaan orang lain, melainkan semata-mata untuk membangkitkan pengertian dan memunculkan kebijaksanaan.
Khema cantik bagaikan bulan purnama yang memantul pada danau yang tenang di tengah malam. Pipinya sangat halus seperti kelopak bunga teratai dan matanya bercahaya seperti permata. Ketika ia mendengar bahwa Sang Buddha tidak begitu memuji kecantikan fisik, ia marah dan tidak ingin menjumpai Beliau.
Namun, pada suatu pagi yang dingin dan angin berhembus sepoi-sepoi, Khema memutuskan untuk mengunjungi vihara di Hutan Bambu yang dibangun oleh raja Bimbisara untuk Sang Buddha. Tupai-tupai berlarian di pohon-pohon buah yang membuat bayang-bayang panjang di atas rumput. Telaga-telaga ditutupi oleh teratai-teratai dan bau wangi jasmin berhembus di udara.
Kemudian Khema tertarik oleh suara yang terdengar dengan dalam dan jernih yang datang dari ruang pembabaran dharma. Ini tidak seperti apa yang pernah ia dengar sebelumnya. Suara ini terdengar lebih indah dan merdu daripada nyanyian burung-burung pada waktu menjelang pagi. Suara itu begitu hangat, tenang, serta penuh cinta kasih dan perhatian. Kata-kata itu adalah kata-kata yang mengandung kebijaksanaan.
Bagaikan seekor lebah yang tertarik pada sekuntum bunga, Khema bergerak menuju ke ruang di mana Sang Buddha sedang memberikan uraian Dhamma. Karena ia tidak ingin Sang Buddha mengenalinya maka ia menurunkan kerudung kepalanya hingga menutupi wajahnya dan duduk di belakang ruangan itu. Apa yang tidak ia ketahui adalah bahwa Sang Buddha mengetahui siapa dia dan apa yang sedang ia pikirkan.
Dengan kekuatan batinnya, Sang Buddha menciptakan suatu perwujudan gadis muda yang amat cantik, berusia sekitar 16 tahun, sedang berdiri di samping Beliau dan mengipasi Beliau. Khema menghela nafas keheranan pada kecantikan gadis itu dan menatapi gadis itu dengan penuh kekaguman.
Oh, lihat bentuk hidungnya yang indah, bibirnya, lengan, dan jarinya, pikir Khema. Dengan kulitnya yang sempurna, dia tampak seperti bunga yang mekar di musim semi. Dia jauh lebih cantik daripada siapapun yang pernah saya lihat, dan juga jauh lebih cantik daripada saya.
Selang beberapa saat, Khema berpikir bahwa matanya sedang menipunya. Apakah dia melihat bahwa gadis muda ini berubah menjadi tua? Ya, benar. Kecantikan itu memudar dari perwujudannya yang cantik. Dengan cepatnya kerutan-kerutan muncul pada wajahnya, dan senyum pada bibirnya yang seperti bunga lotus, berubah menjadi seringaian yang ompong. Rambutnya berubah menjadi abu-abu, kemudian putih. Anggota-anggota badan yang semula ramping berisi dan kuat berubah menjadi kurus dan lemah, dan ia jatuh di lantai. Dari seorang gadis yang muda, perwujudan ini kemudian berubah menjadi seorang perempuan tua yang berusia 80 tahun.
Khema melihat perempuan tua ini mati dan membusuk sampai tulang-tulangnya menjadi debu. Khema kemudian menyadari bahwa sama seperti gadis cantik tadi, suatu hari ia juga akan menjadi tua dan mati. Semua kesombongan akan kecantikan luar, luluh dari dirinya dan ia seketika mengerti akan ketidak-kekalan fisik dan jasmani.
Timbullah terang dalam hati Khema seketika. Sabda Buddha ketika itu: “tubuh ini terbuat dari tulang-tulang yang dibalut dengan daging dan darah. Di sini tempatnya kelapukan, kematian, kesombongan dan kepalsuan.” (Dhammapada 150).
Khema kemudian memasuki Sangha Bhikkhuni dan akhirnya mencapai tingkat Arahat. Ia menduduki ranking pertama dalam pandangan terang di antara para bhikkhuni lainnya. Khema mencapai pembebasan dengan timbulnya kesadaran pencerahan dari tubuhnya yang cantik, bahwa kecantikan itu sesungguhnya kosong, sunya. (JP).
(Sumber: Jo Priastana, “Buddhadharma dan Seksualitas,” Jakarta: Yasodhara Puteri, 2004: Bab 2).