Oleh: Jo Priastana
“Pada hari kekuatan cinta mengalahkan cinta kekuasaan,
dunia akan mengenal kedamaian”
(Mahatma Gandhi)
Homo Puppy adalah istilah yang dikembangkan Rutger Bregman, penulis yang kaya dengan data hasil penelitian sejarah antropologi yang menyatakan bahwa semakin ramah manusia, semakin berkembang dirinya. Manusia itu pada sadarnya baik (human kind). Kebiasaan manusia untuk bekerja sama justru menjadi jalan dimana manusia masih bertahan di bumi, dan keramahan, kebaikan adalah kunci kebertahanan manusia selama ini. (Rutger Bregman, 2021. “Human Kind: Sejarah Penuh Harapan.”)
Istilah homo puppy mengungkapkan bahwa manusia pada hakekatnya adalah baik. Buddhagosa dalam Visuddhi Magga mengungkapkan tentang hakikat manusia baik karena adanya hiri dan ottappa. Dikatakan, bilamana Hiri dan Ottappa muncul maka sila pun muncul dan bertahan. Begitu pula sebaliknya, bila tidak terdapat Hiri dan Ottappa maka sila pun tidak muncul dan tidak dapat bertahan, dan akan menjauhkan seseorang dari kesucian-kesucian atau keadaan murni.
Manusia baik terjaga oleh sila yang memiliki hiri dan otappa. “Sekarang sila itu ditunjukkan sebagai kesucian, oleh mereka yang mengetahui dan sebabnya yang terdekat adalah Hiri dan Ottappa, yaitu rasa malu untuk berbuat jahat dan rasa takut akibat perbuatan jahat.” (Visuddhi Magga). Sejauh mana orang melangkah dengan menggenggam kekuasaan, prinsip moralitas dalam hiri dan ottappa senantiasa tidak bisa dikalahkan.
Dhammalokapala
Hiri dan Ottappa disebut juga sebagai Dhammalokapala, yaitu pelindung dunia. Bila ajaran ini dilakukan maka akan melindungi dunia dari segala bentuk kejahatan, seperti pembunuhan, pencurian, perkosaan, peperangan, korupsi dan lain sebagainya. Malu melakukan perbuatan jahat dan takut akan akibat dari perbuatan jahat merupakan pelindung dunia yang menghindarkan diri dari kekacauan dan pertikaian (Itivuttaka, 36).
Hiri dan ottappa merupakan benteng yang tangguh dalam mengembalikan banjir hawa nafsu lobha (keserakahan), dosa (kebencian) dan moha (bodoh batin) yang menjadi sumber timbulnya segala bentuk kejahatan. Bahwa kekuasaan yang tidak tahu malu itu hanya dapat dihentikan dengan mengenalkan kebaikan manusia yang memiliki rasa malu dan rasa salah, kecuali memang ingin jatuh dengan cara dipermalukan.
Orang hendaknya memiliki rasa malu terhadap perbuatan jahat atau perbuatan yang tidak baik, dan rasa takut terhadap akibat perbuatannya itu. Rasa malu adalah pendukung pelaksanaan sila, dan merupakan juga ciri khas dari bangsa-bangsa Timur, seperti misalnya yang terdapat pada bangsa Jepang, Korea dan Indonesia.
Hiri dan Ottappa menjadikan manusia bertanggung jawab atas kelahirannya sebagai manusia yang luhur, dimana terhadap kejahatan yang terjadi bertentangan dengan keluhurannya sebagai manusia yang memiliki rasa malu dan rasa salah. Hiri dan ottappa terdapat dalam moralitas manusia yang luhur dan dapat menjadi sumber bagi bekerjanya kekuasaan yang ditujukan untuk kebaikan bersama.
Pada masyarakat Jepang yang diresapi nilai Buddhis, rasa malu itu begitu membudaya. Antropolog Ruth Benedict (1987-1948), dalam bukunya “The Chrysanthemum and The Sword” (1946) mengungkapkan bahwa masyarakat Jepang mempunyai rasa malu sosial yang ketat, dan budaya rasa malu itu berkaitan dengan tanggung jawab.
Masyarakat Jepang menghargai keluhuran dirinya. Karenanya bila sampai terjadi melakukan kesalahan maka para pemimpin Jepang pun tidak segan melakukan bunuh diri sebagai konsekuensi atas tanggung jawab yang disalahgunakannya.
Kekuasaan dan Pelindung Dunia
Abraham Lincoln, Presiden AS ke 16 yang termasyhur menyatakan, “jika anda ingin menguji watak manusia, coba beri dia kekuasaan”. Kekuasaan bisa menjadi ukuran watak dan moralitas manusia. Mereka yang jumawa akan kekuasaan kerap akan cenderung berlaku koruptif dan melakukan kejahatan lainnya karena lupa diri, bahkan bisa terjadi suatu kejahatan akan ditutupi kejahatan lainnya.
Dalam pandangan Profesor Keltner, kekuasaan itu menyebabkan orang kehilangan kebaikan dan kebersahajaan, modal yang membuatnya terpilih, atau sejak awal memang tak punya sifat-sifat itu. Di masyarakat yang tertata hirarkis, para pengikut Machiavelli selangkah di depan. Mereka punya senjata rahasia pamungkas untuk mengalahkan pesaing. Mereka tak tahu malu yang berlawanan dengan hakekatnya sebagai manusia yang baik, homo puppy.
Raja Asoka yang mengalami bius kekuasaan namun akhirnya masih sempat menyadari bahwasanya dirinya dirinya adalah homo puppy. Suatu hari Raja keturunan Chandragupta ini gundah hatinya. Kekuasaan yang selama ini diraihnya dan diperluasnya dengan darah mendapat gugatan. Bukan gugatan dari musuh-musuh atau rakyatnya, namun dari dalam dirinya, suara halus yang berseru dalam lubuk hatinya tentang kesia-siaan kekuasaannya yang memakan korban.
Lebih dari seratus lima puluh ribu jiwa terbunuh bersimbah darah ketika menaklukkan kerajaan Kalingga. Kengerian perang begitu menggundahkan hatinya, mengoyak suara hati nuraninya. Suara hati dari lubuk hatinya yang terdalam dimana bersemayam Hiri dan Ottappa berbunyi mempertanyakan makna kekuasaan. Ia pun akhirnya menyadari, kekuasaan itulah sumber kekerasan yang selama ini dilakukannya dan memakan banyak korban.
Raja Asoka pada akhirnya membuang pedang kekuasaannya. Asoka meninggalkan politik digvijaya, politik kekerasan dan perluasan kekuasaan dan menggantinya dengan memeluk politik Dhammavijaya, kemenangan hukum dan kebenaran dengan kasih dan pengertian. Sejak saat itu, kerajaan Asoka mengalami kesejahteraan dan perdamaian sejati. Raja Asoka pun kemudian menjadi penganut Buddhis yang cinta damai, mempromosikan kedamaian dan keheningan ajaran Buddha. Ia dikenal sebagai pelindung Buddhadharma, pelindung dunia damai, dhammalokapala.
Seperti Raja Asoka yang sempat tersadar, maka bagi yang menggenggam kekuasaan hendaknya juga harus selalu waspada akan kekuasaan yang diembannya. Menyadari bahwa kekuasaan adalah amanah publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada penguasa dunia moral, Hiri dan Ottappa. Noblesse Oblige, bahwa tugas para pemimpin adalah sebuah keluhuran, sebuah tanggung jawab. Sadar bahwa pada kekuasaan yang merupakan jabatan publik melekat tanggung jawab moral dan sosial! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Bacaan:
Dharmakosajarn, P. 2008. “Buddhist Morality.” Bangkok: Mahachulalongkornrajavidyalaya University Press.
Jayatileke KN., 1972. “Ethics in Buddhist Perspective.” Dalam “The Wheel, Vol. IX. No. 175/176. Kandy Ceylon: Buddhist Publication Society.
Teja S Rashid. 1997. “Sila dan Vinaya.” Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi.
Jo Priastana. 2018. “Etika Buddha: Moralitas Mandiri dan Keterlibatan Sosial.” Jakarta: Yasodhara Puteri.
Bhikkhu Nanamoli. 1979. “The Path of Purification Visuddhi Magga.” Kandy Srilanka: Buddhist Publication Society.
Majaputera Karniawan. 2021. “Kumpulan Petikan Dhamma (Dhamma Quote: Seri Cariyapitaka, Buddhavamsa, Milindapanha).” Jakarta: Yayasan Yasodhara Puteri.
Rutger Bregman, 2021. “Human Kind: Sejarah Penuh Harapan,” Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Karen Armstrong. 2013. “Menerobos Kegelapan: Sebuah Autobiografi Spiritual.” Bandung: Mizan.
Sumber gambar: https://www.facebook.com/BingewatchingOfficial/photos/a.104421334711131/459441719209089/?type=3&mibextid=rS40aB7S9Ucbxw6v