Redaktur : Majaputera Karniawan 谢偉强
Reporter : Jo Priastana
A. Tempat Di mana Sungai dan Bulan Bersatu Padu
Melihat keindahan sungai musi tidak akan terlepas dari keberadaan salah satu kelenteng bernama Soei Goat Kiong 水月宮, yang secara harfiah berarti ‘Istana Air Rembulan’. Kelenteng ini juga memiliki nama Sansekerta yang bernama Chandra Nadī, kata Chandra berarti Bulan dan Nadī berarti sungai. Maka bisa diartikan sebagai Sungai Rembulan.
Sebagaimana namanya, kelenteng ini tepat berada di pinggir sungai Musi, dengan letaknya yang tepat menghadap ke Sungai Musi, tepatnya terletak di Jalan Perikanan Nomor 1, Kelurahan 10 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Kota Palembang, Sumatera Selatan. Kelenteng ini di dedikasikan kepada tuan rumah YMS. Kwan Im Phu Sat (Avalokitesvara Bodhisattva) Sang Dewi welas asih.
Kelenteng ini sendiri sudah ada sejak tahun 1773 Masehi dan saat ini berada dibawah pembinaan PTITD (Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma). Kelenteng ini telah berdiri pada masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Belanda. Boleh dibilang kelenteng Chandra Nadī yang berada di Kawasan 10 Ulu ini adalah yang tertua di Palembang.
Sepertinya nama kelenteng ini diambil karena panorama indah yang ada di tempat berdirinya kelenteng ini, di dalam kelenteng ada sebuah Bian Lian匾联 (papan pujian horizontal) bertuliskan Sui Yue She Rong 水月舍融, yang jika diartikan berarti bulan dan air muncul dan saling berpadu. Ketika terang bulan purnama memancar, bisa dibayangkan bagaimana indahnya kelenteng ini, seakan bersama dengan sembahyang mengangkat Hio di Altar Langit (Thian Tan 天檀) akan disaksikan Sang Rembulan yang berkaca-kaca di atas Sungai Musi.
B. Para Suci Yang Dipuja
Selain adanya altar yang ditujukan kepada Dewa Langit (Thian Tan 天檀), ada sejumlah altar yang ditujukan kepada para suciwan lainnya. Ada altar kedua ditujukan kepada Dewi Maco Po 妈祖婆 atau penguasa laut yang didampingi pengawalnya Chian Li Yan 千里眼(Si Mata Seribu Li) dan Sun Feng Erl順風耳 (Si Telinga Angin). Mereka berdua sebelumnya adalah siluman yang mengganggu penduduk dan kemudian ditaklukkan oleh Sang Dewi. Setelah menjadi pengikut Sang Dewi Ma Co Po, mereka membantu manusia dalam mengatasi berbagai masalah.
Altar utama ditujukan kepada Dewi Avalokitesvara Bodhisattva atau Kwan She Im Pho Sat 观世音菩萨 Sang Dewi Welas Asih, didampingi dua pengawalnya Kim Tong 金童 (Jejaka Emas) dan Giok Ni 玉女(Gadis Kumala). Tepat di belakang rupang Kwan Im ada relief raksasa dari Trikaya Buddha, yakni Buddha Sakyamuni sebagai Buddha Historis, Buddha Bhaisajyaguru (Buddha Raja Pengobatan) dari tanah suci timur, dan Buddha Amitabha dari tanah suci barat.
Selain itu juga ada altar Sakyamuni Buddha 释迦牟尼佛 (Siddharta Buddha Gautama), altar Bodhisattva Maitreya 弥勒菩萨 (calon Buddha), altar Dewa Kwan Seng Tee Koen 关圣帝君 (Pelindung Dharma), altar Dewa Bao Shen Da Di 保生大帝 (Kaisar Pengobatan). Kemudian altar Dewi Chin Hua Niang Niang (Kim Hoa Nio Nio 金花娘娘) Sang Dewi kesuburan yang dipercaya dapat memberikan keturunan, altar Giam Lo Ong (Giam Lo Tian Cu 閻羅天子) Sang dewa Yama Raja Neraka, dan altar Dewa Macan (Ho Ya Kong 虎爷公) sebagai pelindung kelenteng. Di bagian belakang kelenteng terdapat satu altar yang berisi kumpulan berbagai patung titipan umat dan altar Ju Sin Kong (Apek Tulong), panglima keturunan Tionghoa, pelindung Kota Palembang dan diyakini beragama Islam.
C. Sisi Eksotis-Esoterik
Di bawah cahaya bulan dan diatas permukaan air memancarkan keindahan kelenteng ini, seraya siapapun yang bersembahyang di sini dapat melihat dengan jelas cahaya Bulan dan panorama Sungai Musi. Dalam ajaran Agama Buddha, kita mengenal satu mantra kebijaksanaan agung (Prajnaparamitra Hrdya Mantram) yang berbunyi ‘Gate Gate Paragate, Parasamgate, Bodhi Svaha (Mengalir laju, melajulah, sampai mencapai pantai bahagia). Kelenteng ini seakan menyiratkan ajaran Kwan Im Pho Sat untuk terus belajar dan mempraktikkan Dharma sambil terus menerus mengamati mengalirnya kebijaksanaan, seperti mengikuti aliran air sungai hingga mencapai samudera.
Keberadaan kelenteng yang menghadap bulan juga seakan menyiratkan ajaran “Jari telunjuk menunjuk Bulan”, ajaran ini diajarkan oleh Patriarch Zen ke 6, Master Hui Neng ketika sedang membabarkan Mahaparinirvana Sutra kepada Bhiksuni Wu Jin Cang yang tidak memahami sutera tersebut selama bertahun-tahun. Hui Neng menjelaskan ajaran walau ia sendiri tidak bisa membaca dan menulis, tetapi ia dapat memahami ajaran karena ia telah mampu merealisasi Dharma bagi dirinya sendiri. Ia memberikan perumpamaan jari telunjuk menunjuk bulan, jari telunjuk adalah lambang daripada kitab suci dan semua ajaran di dunia, sedangkan bulan adalah lambang dari kebenaran hakiki, Dharma.
Jari bisa menunjuk bulan, tetapi untuk dapat melihat bulan tidak selalu memerlukan bantuan jari, lebih lanjut jari bukanlah bulan tetapi hanya alat bantu untuk menunjukannya. Maknanya adalah kitab suci apapun itu adalah alat bantu untuk menunjukan apa itu kebenaran yang hakiki, tetapi meskipun anda mempelajari teori kitab suci sampai piawai, anda belum tentu bisa mencapai Prajnaparamitra (Kesempurnaan kebijaksanaan) dan merealisasi kebenaran Dharma yang hakiki. Hanya dengan praktik Dharma dan memahami ajaran dari guru yang tepatlah yang bisa membawa anda untuk memahami Dharma mencapai pencerahan.
Keberadaan Buddha Trikaya juga memberikan sisi esoterik lainnya, Trikaya adalah konsep 3 tubuh Buddha dalam ajaran Mahayana, yang terdiri dari: Tubuh Perubahan (Nirmanakaya) untuk mengajar manusia biasa; Tubuh Kenikmatan (Sambhogakaya) yaitu tubuh cahaya atau perwujudan surgawi guna mengajar para dewa; dan Tubuh Dharma (Dharmakaya) yang kekal, ada di mana-mana, bukan realitas perseorangan, esa, bebas dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sendirinya (svabhava kaya). Para Buddha memiliki berbagai kemampuan analisis di atas makhluk biasa (Patisambhida)untuk dapat mengajarkan Dharma, dan dapat menampakan wujud Dharma tersebut dalam berbagai cara-upaya.
Demikian juga Kwan Im (Avalokitesvara) dapat menggunakan berbagai upaya-upaya dan cara-cara dalam menolong umat dari penderitaan dan membuat umat dapat merealisasi Dharma (lihat sutera Phou Bun Pin). Seakan menyiratkan para Buddha dan Kwan Im Pho Sat yang dipuja dalam kelenteng ini dapat memberikan pertolongan dan pengajaran Dharma kepada siapapun agar dapat melihat Bulan (Kebenaran Hakiki) yang bening cemerlang, hingga terus melaju sampai mencapai pantai bahagia, menembusi kesempurnaan kebijaksanaan (Prajnaparamitra).
Daftar Pustaka
Karniawan, Majaputera. 2022.Kumpulan arti Liam Keng Populer Tradisi Kelenteng. Jakarta. Yasodhara Puteri.
https://deddyhuang.com/2017/01/28/klenteng-tertua-di-palembang/. Diakses 13 Juni 2022.
https://lemabang.wordpress.com/2013/01/04/sam-cun-tay-hudsam-po-hut/amp/ Diakses 13 Juni 2022
http://kebajikandalamkehidupan.blogspot.com/2013/08/jari-telunjuk-dan-bulan.html Diakses 13 Juni 2022.