“Agama saya didasarkan pada kebenaran dan tanpa kekerasan.
Kebenaran adalah Tuhan saya. Tanpa kekerasan adalah cara untuk mewujudkan-Nya”
(Mahatma Gandhi 1869-1948, Pemimpin Spiritual dan Negarawan)
Oleh: Jo Priastana
Praktik mindfulness oleh rohaniwan tak terpisahkan dari kehidupan nyata. Dan kisah rohaniwan berkebajikan di ladang politik kerap mewarnai sejarah. Di tahun 2009 terjadi aksi politis Bhiksu-Bhiksu di Myanmar. Para rohaniwan Buddhis ini turun ke jalan memprotes pemerintahan junta militer. Mereka turun ke jalan meskipun sebagai rohaniwan. Mereka prihatin dan merasa sudah tidak lagi bisa tinggal diam menyaksikan anak bangsanya, rakyat negerinya yang selama ini mendukung kehidupan kebhiksuannya menderita karena tekanan rezim yang berkuasa.
Peristiwa di Myanmar itu menyiratkan bahwa kehidupan rohani yang mempraktikkan kesadaran penuh atau mindfulness itu tidak harus terpisah dari realitas sekelilingnya. Kekejaman rezim, penindasan oleh para pemimpin pemerintahan terhadap rakyatnya tidak menjadikan para bhiksu tinggal diam di dalam kesenyapan vihara atau di dalam lantunan doa, pembacaan paritta, mantram dan praktek mindfulness semu yang terpisah dari realitas.
Para Bhiksu, komunitas rohaniwan Buddhis nyatanya juga mampu berperan menjadi kekuatan moral dan spiritual bagi gerakan anak bangsa yang tengah berjuang membebaskan dirinya dari tirani kekuasaan. Memang tidak harus sampai terjun dalam politik praktis memperjuangkan atau untuk berkuasa namun berperan sebagai kekuatan moral-spiritual, motivator gerakan anak-anak bangsa untuk transformasi kehidupan politis yang baik bebas dari kekerasan.
Bhiksu dan Pemimpin Politis
Kisah Bhiksu di Myanmar pada tahun tahun 2009 itu memberikan pelajaran bahwa sebagai kelompok sosial yang memang memiliki akar kuat di dalam masyarakatnya, peran para bhiksu yang berjuang dalam tataran politik itu sesungguhnya juga memiliki akar yang kukuh di dalam ajaran Dharmanya. Hubungan antara para pemimpin negara dengan kelompok kerohanian telah terpatri jauh di dalam sejarah pemerintahan negara-negara khususnya di Asia. Dalam sejarah perkembangan agama Buddha, hubungan tersebut sangat kental sekali dan bersifat mutualistis.
Konsili para bhiksu misalnya tak lepas dari dukungan para raja atau pemimpin pemerintahan yang sedang berkuasa pada saat itu, seperti yang dilakukan oleh Raja Asoka maupun Raja Kanishka. Kedudukan Sangha juga menempati puncak tertinggi dalam negara dengan menyandang sebagai Sangha Raja yang menyiratkan adanya relasi kerajaan dan Sangha, negara dan rohaniwan.
Begitu pula pemimpin pemerintahan yang sedang berkuasa pada saat itu juga membutuhkan dukungan dan legitimasi dari kaum rohaniwan sebagaimana junta militer di Myanmar dalam melanggengkan kekuasaannya. Namun, hubungan ini tidaklah berarti bahwa dua kelompok sosial yang berpengaruh ini saling bersekutu dan meng-iya-kan satu sama lain.
Bagi para pejalan kerohanian, pemimpin rohani masyarakat, hubungannya dengan para pemimpin politis itu bukanlah semata karena kebutuhan akan perlindungan materi atau penyediaan sarana dan fasilitas fisik keagamaannya saja yang ditukar dengan pemberian legitimasi moral spiritual akan kepemimpinan pemerintahannya. Peran penjaga nilai moral dan etik para rohaniwan jauh mengatasi hal itu.
Kepemimpinan rohaniwan adalah demi perwujudan amanat dari spiritualitas Buddhadharma itu sendiri, yakni pembebasan makhluk hidup dari segenap wujud penderitaan seperti kemiskinan dan kebodohan. Bila kesejahteraan rakyat miskin, wong cilik telah terampas oleh elite kekuasaan atau strutur sosial-ekonomi-politik yang tidak adil, maka cahaya kesadaran dari para rohaniwan yang jernih dan benar akan muncul untuk memandu perjuangan menegakkan keadilan.
Karena itulah, ketimbang dengan para pemimpin politis, hubungan bhiksu jauh lebih kuat, dekat dan berakar dengan rakyat negeri itu sendiri, kelompok umat awam, rakyat, atau wong cilik itu sendiri yang merupakan pendukung yang sesungguhnya. Dalam sejarah kehidupannya, Sang Buddha tidak sungkan untuk secara aktif mengunjungi rakyat yang memerlukannya, sedangkan kepada para the ruling class justru merekalah yang datang dan mengundangnya.
Bila ternyata pemimpin pemerintahan sudah tidak lagi mencerminkan amanat Buddhadharma atau ajaran tentang kepemimpinan di dalam Buddhadharma dan bahkan membuat rakyat semakin sengsara dan menderita, maka para kaum rohaniwan berjubah kuning merah itu akan mengatakan tidak kepada rezim pemerintahan, dengan simbol membalikkan mangkuk pindapatta (untuk menerima sedekah)-nya.
Pembalikkan mangkuk sebagaimana diperlihatkan oleh para Bhikkhu yang berunjuk rasa dengan tanpa kekerasan itu merupakan suatu bentuk komunikasi penolakan terhadap kepemimpinan yang ada sekarang yang sudah dianggap tidak legitim dan tidak dapat dibenarkan lagi. Mangkuk pindapatta yang sehari-hari terbuka untuk diisi oleh kasih wong cilik yang memberi sejahtera pemimpin rohaniwannya menjadi terbalikkan sebagai wujud solidaritas.
Ini menunjukkan bahwa sikap kritis dan tidak menanggalkan realitas serta solidaritas terhadap mereka yang menderita senantiasa terus terpelihara dan terjaga pada kehidupan kaum rohaniwan tersebut. Mereka adalah pemimpin dan penjaga kehidupan sebagaimana juga kewajiban para pemimpin pemerintahan atau mereka yang tengah berkuasa untuk menjaga dan mengembangkan segala apa yang hidup.
Bhiksu dan Peran Kemasyarakatan
Dalam masyarakat terdapat kaum rohaniwan yang disebut Brahmin, atau para Bhiksu Sangha yang keberadaannya kerap tidak dipandang mencampuri urusan duniawi dan pemerintahan tetapi memiliki fungsi sebagai penjaga nilai-nilai Buddhadharma, moral-etika dan spiritual, penjaga kehidupan sadar untuk kebahagiaan masyarakatnya. Bhiksu tidak bisa dilepaskan dari masyarakatnya dalam menyampaikan pencerahan hidup, menumbuhkan kesadaran mindfulness termasuk pencerahan politis.
Bhiksu disamping menjalani kehidupan kontemplatif melatih diri meditasi di hutan (vipassana-dhura), mereka juga melakukan tindakan praksis berperan menjadi pemimpin spiritual masyarakatnya. Bhiksu bekerja dan berkarya untuk masyarakat banyak (grantha-dhura). Kesadaran penuh, mindfulness yang tumbuh menghasilkan ketenangan dan pandangan terang dalam melihat realitas ragam fenomena dalam kehidupan yang saling bergantungan dalam cahaya kebijaksanaan (prajna, wisdom) dan energi, daya welas asih karuna.
Kehidupan Bhikshu yang mengandung dua segi: kontemplatif dan praksis merupakan manusia utama sebagaimana dicirikan oleh Aristoteles tentang memiliki virtue atau keutamaan. Para bhiksu yang kerap disebut Yang Ariya adalah manusia utama, a man of virtue. Mereka hidup dengan mendapat dukungan dari masyarakat untuk menjalani kehidupan kontemplatif kerohaniannya (vipassana-dhura) dan mengembalikannya dengan mendukung perjuangan rakyat.
Sebaliknya balasannya adalah dengan peran grantha-dhuranya para Bhiksu melakukan tindakan praksis dengan selalu memperjuangkan kehidupan masyarakat, umat awam. Umat awam memberikan kemurahan hati melalui dana makanan dan kebutuhan fisik minimal lainnya. Sebaliknya, mereka para Bhiksu juga memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan umat, baik lewat doa, menyampaikan karunia ajaran Buddha atau perannya sebagai manusia utama di masyarakat yang berfungsi sebagai kepemimpinan kerohanian yang tak terpisahkan dari perjuangan rakyat.
Berjuang Bersama Rakyat
Hubungan timbal-balik Bhiksu dan umat awam saling mendukung satu sama lain, dan ini sudah berlangsung sejak zaman Buddha. “Umat awam menawarkan makanan dan dukungan fisik kepada para bhiksu, sedangkan para bhiksu memberikan kebijaksanaan dan pesan spiritual ajaran Buddha. Para Antropolog senang menemukan institusi berdasarkan pertukaran hadiah jangka panjang, dimana dua pihak menjalin hubungan dengan saling memberikan hadiah dan melanjutkan hubungan dengan pertukaran hadiah yang berkelanjutan.” (Michael Carrithers, “Buddha”, Yogyakarta: IRCiSod, 2021, 124. Terjemahan dari “The Buddha” A Very Short Introduction, New York, 1996).
Mereka memperjuangkan kesejahteraan masyarakat yang baik dan yang sebaik-baiknya, termasuk melakukan fungsi kritisnya demi kebaikan masyarakatnya dalam membaca realitas yang berkenaan dengan kehidupan politis. Mereka paham bahwa kebijakan politis akan menentukan kehidupan rakyat, dan karenanya tersandang pula peran politis sebagai manusia yang memiliki keutamaan.
Peran kepemimpinan rohaniwan seperti bhiksu berjuang bersama rakyat tersebut tetap terjadi sekalipun mereka berada di dalam kesunyian hutan atau keheningan biara. Para bhiksu di Myanmar pada tahun 2009 yang berpraksis turun ke jalan itu justru di saat mereka sedang menjalani masa vassa. Masa vassa yakni masa waktu selama tiga bulan yang lebih mengkondisikan mereka menjalani hidup kontemplatif dan menetap dalam sebuah vihara.
Panggilan atas penderitaan rakyat serasa seperti amanat Dharma memperjuangkan pembebasan atas penderitaan. Buah dari keheningan meditasi menghasilkan kejernihan berpikir dan welas asih yang membentuk sikap dan mendatangkan daya praksis untuk berjuang bersama rakyat yang tengah menderita. Momentum sejarah pemimpin rohaniwan berbalas kasih, membantu mereka, umat awam, rakyat yang menderita yang selalu tiada henti mendukungnya di sepanjang sejarah kehidupan para Bhiksu! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: AI