Oleh: Jo Priastana
“I’m not saying renounce sex. I’m saying transform it. It need not remain just biological,
bring some spirituality too. While making love, meditate too. While making love, be prayerful.
Love shouldn’t be just physical act, pour your soul into it”
(Osho Bhagwan Shree Rajneesh, 1931-1990, Filsuf dan Mistikus)
Manusia hidup tak lepas dari kesadarannya. Bahkan kesadaranlah yang dapat menentukan kualitasnya sebagai makhluk. Terdapat tingkat-tingkat kesadaran. Diantaranya adalah tingkat kesadaran inderawi (kamavacara), yakni kesadaran yang masih memerlukan pemuasan panca-indra dengan obyek-obyeknya, seperti nafsu keinginan seksual (kamatanha).
Karena bersumber pada nafsu keinginan seksual inilah manusia menjalani kehidupan seksualnya sebagaimana tampak pada kehidupan suami-istri. Sukar membayangkan bila kehidupan suami istri tanpa pergaulan seksual, karena justru pergaulan seksual mereka menjalani kehidupan sebagai suami istri, meskipun kehidupan seksual itu sendiri bukanlah berarti tidak dapat dilakukan tanpa menjalani kehidupan sebagai suami istri.
Belajar dari Kamasutra yang berintisari pada ajaran Tantra akan terlihat bahwa mencapai kepuasan dalam bidang indrawi ini merupakan suatu kekayaan terbesar bagi tahapan kehidupan manusia dan peningkatan kesadarannya yang lebih tinggi. Manusia yang tampaknya sukar luput dari seks atau pergaulan seksual ini, hendaknya juga tahu bagaimana memperoleh kepuasan yang sebenarnya darinya dengan sebaik-baiknya.
Cinta dan Seks
Baik dalam The Kamasutra of Vatsyayana, (Lutre Press, 1982), New Delhi), maupun Anand Krishna, Kamasutra, (Gramedia, Jakarta, 2000), adalah untuk memahami tentang kebahagiaan dalam pergaulan seksualitas. Kamasutra yang berisikan pedoman tentang hawa nafsu banyak mengungkapkan tentang seluk-beluk seni dan tekhnik bercinta untuk mencapai kepuasan yang optimal itu.
Untuk itu dinyatakan bahwa pemenuhan seks atau nafsu birahi saja tidak cukup, bila tidak disertai oleh cinta. Tanpa cinta, kamasutra akan kehilangan maknanya karena kamasutra hanya akan dapat dipraktikkan apabila sudah ada cinta.
Pentingnya cinta dalam seks adalah untuk memanusiakan kembali manusia. Dengan cinta, hubungan seks menjadi hubungan yang lebih manusiawi. Sastrawan dunia, D.H. Lawrence, dalam novelnya Lady Chatterley’s Lover (1926), yang filmnya Lady Chatterley telah beredar di Indonesia (2000) mengilustrasikan hal ini dengan indah sekali lewat dialog antara Lady Chatterley dan Mellors, kekasih dan juga pasangan selingkuhnya.
“Tapi apa yang kamu percaya? Desahnya, “Saya tidak tahu, kata Lady Chatterley. Keduanya diam. Kemudian Mellors berdiri dan berkata, “Ya, saya mempercayai sesuatu. Saya percaya pada kehangatan hati dalam cinta, pada persetubuhan dengan hati yang hangat. Saya percaya jika lelaki bisa bersetubuh dengan hati yang hangat, dan perempuan menyambutnya sama hangatnya, segalanya akan baik. Bersetubuh dengan hati yang dingin adalah mati dan idiot!”
Dalam seks terjadi pelepasan, penyerahan total pria dan wanita. Begitu pula dengan cinta yang sifatnya memberi dan menaruh penghargaan dan perhatian luar biasa. Sebagai suatu tahapan hirarki kesadaran, seks mengawali tahapan kesadaran seseorang, dan pelepasan dalam seks yang semakin manusiawi bila disertai cinta itu sesungguhnya merupakan langkah untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi yakni kasih.
Kasih merupakan suatu pelepasan agung demi umat manusia dan alam semesta. Pelepasan agung ini telah diperlihatkan Siddhartha Muda ketika ia meninggalkan istananya, kehidupan keluarganya, kesedapan hidup duniawi pergi menjadi pertapa demi kasihnya untuk membebaskan manusia dan semua makhluk dari penderitaannya.
Birahi dan Kasih
Tidak hanya berhenti pada cinta, karena setelah cinta ada kasih. Dari seks, cinta hingga kasih. Dari passion, love to compassion. Kasih atau compassion adalah birahi alam semesta, kasih terhadap semua makhluk, terhadap Tuhan, Yang Mutlak, Yang Tak Dapat dijelaskan.
Dari birahi indrawi menuju ke kesadaran rohani tertinggi. Dari pelepasan seks melalui cinta menuju kasih sayang yang melepaskan. Dalam kesadaran kasih, tidak ada lagi ego, tidak ada lagi kepentingan individu. Dalam kesadaran rohani tertinggi atau yang disebut juga kesadaran Buddha (Bodhicitta) ini para master bertemu, para nabi bertemu. Dalam kesadaran kasih tidak akan pernah terjadi perang antar agama, antar suku, antar bangsa, karena semua manusia adalah bersaudara.
Kamasutra mengajarkan agar keinginan seksual (kamatanha) sebaiknya dipenuhi dulu, dilepaskan agar seks kelak tidak lagi menjadi obsesi bila telah memutuskan berjalan di jalan spiritual. Baru dengan begitu, dan hanya setelah itu, akan mengenal cinta, dan setelah itu, hanya setelah itu baru mencapai kasih.
Dalam buku Kamasutra, Bhagavan Vatsyayana tidak hanya memaparkan tentang tekhnik bercinta. Dalam bab pertama tentang meditasi misalnya, Vatsyayana bahkan mengajak pembaca untuk merenungkan dirinya, apakah dirinya itu hanya sekedar badaniah saja? Bukanlah terdapat lapisan kesadaran yang lebih tinggi? Kenapa tidak menapakinya?
Dalam buku tersebut juga tidak hanya dibicarakan mengenai hubungasn seks semata atau kehidupan seksual yang aman, namun juga jauh lebih luas adalah mengenai kehidupan persuami-istrian yang langgeng, mengisi masa pacaran dengan baik, berbagai jenis cinta, disamping tentang berbagai jenis sexual-union, kissing, serta bagaimana menjadi seoerang isteri yang mulia yang dapat bercinta kasih.
Bhava Tanha dan Vibhava Tanha
Unsur seks (bhavarupa) tampaknya menempati sesuatu yang cukup mendasar dalam rupa manusia, yang terdiri dari unsur seks betina (itthi-bhava) dan jenin kelamin jantan (purisa-bhava). Seks juga mengandung energi yang memancarkan kekuatan dan menggerakkan perilaku manusia, seperti yang diungkapkan Francis Story dalam Dimensions of Buddhist Thought (1982).
Dalam buku Francis Story itu diungkapkan mengenai adanya energi atau kekuatan yang menggerakkan perilaku manusia. Ada energi yang konstruktif dan dekonstruktif. Ada sensual craving (kamatanha) atau nafsu indrawi, keinginan untuk perwujudan (bhava tanha) atau eros, Ada juga energi keinginan untuk pemusnahan (vibhava-tanha) atau thanatos.
Energi seksualitas dalam bhava-tanha yang sifatnya konstruktif, energi penciptaan, perwujudan dan kesinambungan. Disamping itu terdapat pula energi yang sifatnya dekonstruktif, energi pemusnahan, pelenyapan dan pemutusan. Keduanya bagai dua sisi dari satu koin yang sama. Dalam suatu kondisi dan alasan tertentu, energi destruktif vibhava-tanha, thanatos bisa memungkinkan orang membunuh justru sehabis bercinta.
Energi yang terkandung dalam seks seperti bhava-tanha sebagai elemen vital inilah yang kerap menjadi motivasi dan inspirasi berbagai kegiatan kreatif, baik di bidang seni dan budaya, intelektual maupun spiritual. Kendati begitu, energi eros bhava-tanha juga tidak lepas membayangi energi thanatos vibhava-tanha, sebagaimana banyak terjadi peristiwa pembunuhan di seputar mahligai seksualitas, dimana terdapat cinta disitu juga terselip kebencian.
Bapak Psikoanalisa, Sigmund Freud (1856-1939) yang memunculkan istilah eros dan thanatos sebagai energi di dalam diri manusia itu, bahkan menyebutkan bahwa segala peradaban manusia tidak lain adalah sublimasi dan transformasi dari energi seksual manusia. Energi seksualitas tak terpisahkan menjadi bagian kehidupan manusia.
Seks dapat dijalani baik sebagai prokreasi, rekreasi, dan relasi. Seks juga mengawali kehidupan manusia. Seorang anak hadir berkat hubungan seks dan pelepasan energi seks kedua orang tuanya, yang begitu hadir segera ingin diketahui apa jenis seksnya. Bahkan pencapaian cita-cita seorang pejalan kesucian yang hidup selibat seperti para bhiksu dan bhiksuni amat tergantung sekali dengan seks ini, sebagaimanan istilah nirvana yang diartikan padamnya hawa nafsu.
Samsara dan Nirvana
Kamasutra berbicara tentang bagaimana menikmati hidup ini, khususnya yang berkenaan dengan kesadaran indrawi, mencapai kepuasan dalam nafsu keinginan seksual dengan sebaik mungkin, yang berarti juga mampu menguasai hawa nafsu. Buku Karmasutra mengajak untuk mengenali seksualitas sebagai bagian untuk keutuhan manusia, yakni kepuasan yang didambakan manusia yang bukan semata kepuasan fisik saja, tetapi juga menyangkut kepuasan mental, emosional, intelektual, dan spiritual.
Dengan begitu, seks tidaklah harus dipandang sebagai sesuatu yang negatif, namun harus dilihat secara wajar sebagaimana adanya. Bahkan bisa dipandang sebagai suatu kekuatan dan proses atau tahapan menuju kesadaran tertinggi, kesadaran Buddha.
Karena bermula dari kesadaran inderawi, keinginan nafsu seksual (kamatanha) yang merupakan energi maha tak terhingga, disitulah juga bersemayam dan mekarnya kesadaran Buddha (bodhicitta). Di dalam samsara (lingkaran penderitaan tumimbal lahir), disitulah terletak nirvana (bebas dari, meniup padam nafsu).
“bagaikan bunga teratai yang bersih dan harum semerbak baunya di dasar lumpur sebuah kolam dan bukan tumbuh di taman bunga yang bersih dan indah, demikianlah dari sumber kehinaan nafsu-nafsu duniawi dapat muncul kebebasan sempurna dari sifat ke-Buddhaan. Walaupun seseorang dengan pandangan tidak benar dan batinnya diliputi khayalan-khayalan duniawi, masih terdapat benih-benih ke-Buddhaan.” (“Ajaran Sang Buddha,” Bukkyo Dendo Kyokai, Tokyo-Japan, 1984, hal 55.).
Menurut Anand Krishna (“Karmasutra”, 2000), kesadaran seks pada manusia itu berpusat pada bagian tubuh di bawah pusar. Sedangkan di atas pusar, sekitar jantung dan dada merupakan pusat kesadaran cinta, dan paling atas sekitar kepala tempat bersemayamnya kasih. Ajit Mookerjee dalam Kundalini, The Arousal of The Inner Energy, (Thames and Hudson, London, 1995) pun mengungkapkan adanya sentra-sentra energi yang berada di sekitar pusar, dada, kepala, dan berhubungan dengan peningkatan kesadaran manusia.
Energi seksual memang dapat dilepaskan seturut dengan kesadaran manusia yang mendasarinya. Entah itu kesadaran indrawi (kamavacara) dalam relasi seksual, maupun sublimasinya dalam karya budaya dan transformasinya yang berpuncak pada pelepasan dalam kasih melalui kesadaran transenden (lokuttara), kesadaran yang telah menyatu dengan alam semesta, birahi semesta.
Dalam kasih atau kesadaran transenden tersebut tidak ada lagi keakuan, egoisme, dan memandang semua makhluk dengan penuh cinta kasih. Dan melalui praktik yoga, energi seksual dapat ditransformasikan untuk membangkitkan sakti-kundalini atau energi alam semesta dan bersatu dengan siva (inner self) yang merupakan puncak pelepasan yang tiada tara dalam kasih, dimana passion tersublimasikan menjadi compassion, birahi menjadi kasih! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: https://substackcdn.com/image/fetch/f_auto,q_auto:good,fl_progressive:steep/https%3A%2F%2Fsubstack-post-media.s3.amazonaws.com%2Fpublic%2Fimages%2Ff8d85691-db64-4660-87b5-cbdae26f75bb_514x700.jpeg