Kesulitan Membuka Sifat Binatang Manusia

Home » Artikel » Kesulitan Membuka Sifat Binatang Manusia

Dilihat

Dilihat : 21 Kali

Pengunjung

  • 5
  • 10
  • 29
  • 31,196
Kesulitan pic

Oleh: Majaputera Karniawan

A. Realita Yang Menjadi Masalah

Saya masih ingat dikala masa awal pandemic Covid-19 sekitar pertengahan tahun 2020 bagaimana harga masker medis, hand sanitizer, desinfektan, dan alkohol medis di pasaran meningkat tajam. Masker bedah merek biasa yang harga normalnya hanya 15-25 ribu rupiah bisa menjadi 300-500 ribu rupiah. Belum lagi harga alkohol medis kualitas biasa yang semula 20ribu per liter bisa menyentuh ratusan ribu. Saya masih ingat bagaimana pemutih yang harganya berkisar 5 ribu rupiah untuk botol kecil sampai menyentuh harga 75 ribu dan itupun barang langka sekali.

Kini semua sudah kembali normal, namun barang yang naik berganti lagi. Tahun lalu kita masih bisa menikmati minyak goreng kemasan subsidi seharga 11 ribu per liter dan dijual di minimarket dekat rumah dengan stok melimpah, bahkan harga minyak curah hanya 9 ribu per kilonya (144 ribu per jerigen 16kg), saat ini harganya sudah sangat naik. Meskipun pemerintah sudah menetapkan program minyak satu harga di angka 14 ribu per liternya tetapi sulit mendapatkannya di minimarket sekitar kita, kenyataannya masih banyak yang menjual di harga 18-23 ribu per liternya. Bahkan seringkali lihat di grup jual beli facebook minyak dijual dengan harga tinggi dan stok melimpah berkrat-krat (Mungkinkah mereka menimbun?)

Sudah hukum ekonomi dasar bahwa jika harga barang akan menjadi semakin mahal apabila stok di pasaran semakin sulit dan apalagi jika tengah menjadi incaran masyarakat (Hariyanto dalam Garudateam, 2021). Semakin sulitnya barang tersebut diperoleh, semakin tinggi harganya, sama seperti kasus harga cabai naik gila-gilaan dan waktu beli gorengan 10 ribu dapat cabainya Cuma 3-4 butir saja. Ditambah lagi terjadinya penimbunan dan panic buying dari orang-orang ‘Aji Mumpung’ akan membuat harga semakin tidak stabil. Hal ini dikarenakan sudah menjadi hukum kelangkaan (The Law of Scarcity), yang menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang langka/sukar diperoleh, orang harus mengorbankan sesuatu yang lebih dahulu (Febry, 2012)

 

B. Keserakahan Menimbun Manusia

Hoarding atau penimbunan barang sudah sering terjadi di kalangan manusia bahkan sejak dulu. Dalam skala tertentu untuk bahan pokok/kebutuhan masih bisa dibilang stok untuk kebutuhan agar tidak boros ongkos transportasi. Tetapi kenyataannya ada yang hoarding kebutuhan/barang pokok guna membuat barang-barang tidak dijual dan saat harganya melambung baru dijual. Kebiasaan menimbun menurut Buddha sudah berlangsung sejak masa lampau era masyarakat sosial 1.0 (Berburu dan mengambil dari alam).

Dikatakan pada masa itu orang cenderung malas mengumpulkan beras untuk makan satu hari sehingga mulai mengumpulkan banyak untuk beberapa hari dan membuat lumbung beras, karena terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap tanaman beras, akibatnya terjadi perubahan terhadap fisik tanaman yang secara alami menjadi tumbuh lebih lambat dan berjarak rumpun, keluar dedak dan sekam sehingga hasil yang bisa diambil manusia semakin berkurang dan menimbulkan kelangkaan (DN27. Agganna Sutta).

Manusia memang memiliki kecenderungan rasa tidak aman (Insecure) jika kekurangan barang kebutuhan pokok, tetapi ada juga yang memiliki kecenderungan menimbun barang dalam jumlah yang besar, kegiatan menimbun ini jika dilakukan skala besar akan disambut baik dengan hukum kelangkaan (The Law of Scarcity) sehingga harga barang tersebut semakin lama semakin naik bahkan bisa menyebabkan gangguan ekonomi skala nasional.

 

C. Terdesak Ekonomi = Nekad Menjadi Kriminal

Mengacu pada survey Lemkapi tahun 2020 (Dikutip dari Sindonews.com, 2020), 57% kriminalitas yang terjadi karena motif desakan ekonomi. Karena tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi terlebih urusan perut dan dapur keluarga dapat membuat seseorang menjadi nekad dan gelap mata. Urusan perut memegang peran atas kekuasaan yang sangat kuat bagi semua orang, bahkan demi sejengkal perut, orang akan pergi ke mana pun rela menempuh jarak jauh sekalipun, bahkan meminta bantuan kepada musuhnya (Ja 260, Dūta Jātaka).

Atas nama lapar, apapun dapat dilakukan, membiarkan seseorang kelaparan dapat membuatnya mati atau berubah menjadi penjahat. Makanya dikatakan oleh Mengzi/Bingcu (孟子; 372–289 BC) ketika adanya kelaparan rakyat dimana-mana sedangkan dikawasan elit dan pemerintahan/kerajaan terdapat banyak makanan dan daging, ditambah adanya kata-kata propaganda/retorika yang menipu kepentingan masyarakat guna dipakai kepentingan pribadi, ini seperti menuntun binatang memakan manusia, bahkan manusia memakan manusia (Bingcu III B: 9). Bukan main-main karena dalam keadaan chaos yang berlaku adalah hukum rimba, memakan atau dimakan! Itu sudah naluriah dari setiap orang untuk bertahan hidup.

Meskipun manusia sering memakai nama binatang sebagai umpatan dan membandingkan diri mereka sebagai mahluk berakal budi, tetapi terkadang perilakunya bisa menyerupai binatang karena egoisme sendiri. Terlebih dikala susah tiba! Maka dikatakan kesulitan membuka sifat binatang manusia!

 

D. Pertahankan Kemanusiaan Ditengah Kesulitan

Ancaman moral manusia menjadi hukum rimba itu nyata adanya. Orang dapat berbuat apa saja atas nama lapar. Tetapi bagi kita semua yang tidak bisa merubah keadaan (karena memang diluar kemampuan kita yang cuma masyarakat biasa) harus bisa mempertahankan kewarasan dan kemanusiaan kita, jika tidak akan menjadi ikut-ikutan berperilaku binatang.

Seringkali saya mendapat syair ciamsi ketika masa-masa sulit berupa nasihat agar ‘Betah susah dan tahan capek’, para dewa menghendaki agar saya menjadi manusia yang tangguh dan tetap lurus meskipun keadaan sulit. Itulah sebabnya disetiap buku saya menulis ‘Hidup boleh susah, namun jalan hidup harus tetap mulia!’. Menjadi mulia atau tidak itu pilihan diri masing-masing, maka kembali pada komitmen anda mau atau tidak?

Pemikiran serupa dikatakan oleh Konfusius ketika rombongannya kehabisan perbekalan dalam pengembaraan, ia menasihati muridnya bahwa seorang kuncu (susilawan) tahan dalam penderitaan sementara siaojin (orang rendah budi) berbuat tidak karuan bila menderita (Lun Gi XV: 2). Namun tidak semua orang bisa seperti ini. Hanya mereka yang benar-benar telah matang menjadi orang baik dan bijaksana yang bisa melakukan ini, sebagian dari kita ketika terdesak memilih menjadi Joker dengan dalih ‘Orang baik yang tersakiti’.

Laozi sendiri menyatakan bahwa orang berbudi hanya mementingkan perut bukan mementingkan mata (Maknanya bukan serakah impresi tetapi bersikap sederhana), serta senantiasa menghindari yang itu namun sebaliknya mengambil yang ini. (Maksudnya tidak mengambil sesuka hati tetapi hanya mengambil yang menjadi haknya). Semua kembali kepada diri sendiri, mau menjadi baik sampai akhir atau menggadaikan kemanusiaan demi kepuasan sesaat.

*****

 

Daftar Pustaka

Febry, Andra. 2012. Kelangkaan Sumber Daya (Scarcity) dan Pemanfaatan Sumber Daya. http://www.sangkoeno.com/2012/07/kelangkaan-sumber-daya-scarcity-dan.html. Diakses Maret 2022.

Garudateam. 2021. Hukum Ekonomi Dasar Menjelaskan Antara Ketersediaan Barang Di Pasar. https://garudateam.com/hukum-ekonomi-dasar-menjelaskan-antara-ketersediaan-barang-di-pasar-dan-27556049. Diakses Maret 2022.

Karniawan, Majaputera. 2020. Kumpulan Petikan Dhamma Seri Jataka Atthakatha. Jakarta. Yayasan Yasodhara Puteri.

Lika. ID. Dao De Jing Kitab Suci Utama Agama Tao. Jakarta. Elex Media Komputindo.

MATAKIN. 2010. Su Si (Kitab Yang Empat). Jakarta. Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).

Satrio, Arie Dwi. 2020. Kriminolog: Kriminalitas Tinggi Disebabkan Faktor Ekonomi Bukan Alkohol. https://nasional.sindonews.com/read/233348/13/kriminolog-kriminalitas-tinggi-disebabkan-faktor-ekonomi-bukan-alkohol-1605481864. Diakses Maret 2022.

Suttacentral.net (Online legacy version). Digha Nikaya. http://www.legacy.suttacentral.net/dn Diakses Maret 2022.

Butuh bantuan?