Keterlibatan Memberantas Kemiskinan

Home » Artikel » Keterlibatan Memberantas Kemiskinan

Dilihat

Dilihat : 63 Kali

Pengunjung

  • 1
  • 70
  • 115
  • 62,199
Pic 4 Keterlibatan

Oleh: Jo Priastana

 

“Poverty is the Parent of Revolution and Crime”

(Aristoteles)

 

Keterlibatan memberantas kemiskinan harus juga menjadi tanggung jawab umat beragama dan warga negara sebagai pemenuhan amanat Proklamasi, Kemerdekaan Indonesia. Soekarno, pada 1 Juni 1945, “Bahwa tidak ada kemiskinan di Indonesia merdeka.” Namun saat ini, 78 tahun kemudian setelah Indonesia Merdeka, kemiskinan itu masih terasa dan nyata. Tujuan pendirian negara Republik Indonesia oleh para founding fathers adalah untuk mensejahterakan segenap rakyat Indonesia yang berkeadilan sosial.

Surat Gembala Prapaskah Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo tahun 2023 menyinggung kondisi kurang menggembirakan. Sejak September 2019 hingga September 2022, jumlah orang miskin naik dari 24,78 juta menjadi 26,36 juta. Jumlah pengangguran naik dari 7,05 juta menjadi 8,42 juta pada Agustus 2022. Menurut laporan Kompas yang dikutip dalam Surat Gembala, 68 persen dari penduduk Indonesia, sekitar 183,7 juta jiwa, belum mampu memenuhi kebutuhan gizi harian, selain itu perdagangan orang juga masih terjadi (Kompas, 23/2/23). 

Kemiskinan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penderitaan, apalagi kemiskinan masih menghinggapi sebagian besar rakyat Indonesia. Karena perjuangan untuk terlibat dalam menanggulangi masalah kemiskinan juga menjadi perhatian para agamawan, kaum beragama. Selain untuk kebahagiaan dan mencapai pembebasan spiritual, agama-agama juga berperan penting untuk secara bersama-sama terlibat dalam penanggulangan masalah kemiskinan yang masih terjadi di dunia dan di negeri ini.

 

Kemiskinan Material dan Jalan Spiritual

Dalam spiritualitas baru yang tumbuh dewasa ini, penghayatan agama juga melibatkan pada masalah-masalah sosial, khususnya yang berkenaan dengan harkat dan martabat manusia serta kelayakan hidup manusia. Sejauh manakah perhatian agama Buddha terhadap masalah kemiskinan? Bukankah kemiskinan, seperti hidup dari kekosongan kepemilikan dalam agama juga merupakan sesuatu yang dimuliakan?

Pangeran Siddharta dalam upaya mencapai kebuddhaannya pun perlu meninggalkan segala kekayaan duniawinya. Siddharta pergi bertapa dan hidup bebas dari kepemilikan. Dalam agama Buddha, kemiskinan, baik kemiskinan material maupun kemiskinan mental-spiritual tidak dapat dilepaskan dengan penderitaan. Kemiskinan material yang masih banyak dialami rakyat mendapat perhatian besar dalam pembangunan.

Kita bisa saja membedakan jenis kemiskinan. Kemiskinan material dan kemiskinan spiritual. Kemiskinan material yang sungguh menjadi penderitaan rakyat karena minimnya sarana pemenuhan kebutuhan hidup dasar. Kemiskinan spiritual sebagai kemiskinan yang tidak pernah puas dan bahagia justru karena banyaknya sarana material.

Ada pula kemiskinan sukarela sebagai jalan spiritual seperti mengosongkan diri dari benda-benda materi. Sedangkan kemiskinan material masih banyak dialami mayoritas rakyat. Macam kemiskinan itu harus dilihat dalam posisinya masing-masing.

Kemiskinan material itu sifatnya memaksa dan harus diatasi. Sedangkan kemiskinan sebagai kekosongan dari dunia materi sebagai jalan spiritual dimana orang justru mau lepas secara sukarela dari sarana-sarana materialnya. Pada umumnya orang berusaha mengatasi kemiskinan materialnya, meski ada beberapa orang yang kebalikannya, orang-orang yang hendak mengatasi kemiskinan mental spiritualnya yang berangsur-angsur melepaskan kekayaan materialnya.

Masih banyak rakyat miskin yang perlu dipenuhi kebutuhan dasarnya yaitu pemenuhan kebutuhan material. Pemberantasan kemiskinan secara material ini menjadi tanggung jawab negara dan siapa saja, baik kalangan agama maupun aktivis kemanusiaan karena kemiskinan material ini juga bagian dari penderitaan.

 

Kemiskinan, Penderitaan dan Kejahatan

Penderitaan merupakan sesuatu yang mendapat tempat utama di dalam ajaran Buddha. Dalam pembabaran ajarannya pertama kali, Buddha mengajarkan tentang penderitaan, sumber penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan melenyapkan penderitaan. Bahkan Buddha menyatakan: “One Thing I Teach and one thing only; dukkha and how to end it”.

Penderitaan yang diajarkan Buddha terutama adalah penderitaan eksistensial yakni penderitaan yang melekat pada keberadaan manusia itu sendiri. Eksistensi manusia sendiri adalah penderitaan karena ia terikat pada keinginan yang menyebabkan kelahiran, penyakit, usia tua, kelapukan dan kematian dan terjerat dalam roda samsara kelahiran berulang. Keinginan merupakan sumber penderitaan kemiskinan mental-spiritual.

Mereka yang mendambakan kebahagiaan sejati, pejalan spiritual akan secara sukarela memasuki kehidupan tak berpunya. Komunitas sangha bhikkhu dalam masyarakat Buddhis mencerminkan akan hal itu, meninggalkan kehidupan duniawi, pencaharian kekayaan material untuk menjalani kehidupan spiritual yang sungguh-sungguh akan menghantar terbebas dari penderitaan.

Tentu saja dengan menyatakan ini, bukan bermaksud untuk meromantisir kemiskinan atau memandang kemiskinan sebagai ilusi. Kemiskinan material yang masih banyak rakyat dan sebagian besar manusia di dunia itu sungguh nyata dan konkrit sebagai penderitaan, dan karenanya layak diatasi.

David Low, dalam “The Great Awakening: A Buddhist Social Theory,” (2003: 54) mengungkapkan, “according to Buddhism, poverty is unacceptable in so far as it involves of dukkha.” Kemiskinan tidak dapat diterima sejauh menyangkut dengan penderitaan.

Sebagaimana ujar Aristoteles, kemiskinan dapat menjadi orang tua dari tindakan kriminal, kejahatan dan mendatangkan revolusi. Begitu pula Buddha mengingatkan bahaya dari menggejalanya kemiskinan dan kesenjangan dimana kekayaan tidak dibagikan kepada yang memerlukannya bisa menjadi sebab timbul dan menyebarnya kejahatan.

Dalam Cakkavatti Sihanada Sutta, Digha Nikaya dikatakan: “Thus- from provision not being made for the poor-poverty, stealing, violence, murder, lying, evil speaking and immorality become widespread.” (Ken Jones, “The New Social Face of Buddhism,” 2003: 44).

 

Keterlibatan Orang Baik

Agama berperan mengatasi penderitaan termasuk kemiskinan. Agama mengajarkan tentang kebaikan bagi sesama untuk kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Orang-orang baik dalam agama pastinya memiliki tekad dan perhatian besar terhadap persoalan kemiskinan, yakni kemiskinan material yang masih banyak dalam rakyat banyak.

Sudah sepantasnya orang-orang baik berperan dan melakukan keterlibatan dalam memberantas kemiskinan, sebagaimana digemakan oleh Sukidi dalam tulisannya “Kemiskinan di Tengah Ketamakan Pemimpin,” (Kompas, 4/5/2023). Ingat juga ucapan John F. Kennedy, “The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do thing” (Barletss’s Familiar Quotations, 1968), (Kompas, 10/5/2023).

Orang-orang baik memang pantas untuk terlibat dalam memberantas kemiskinan mengingat kemiskinan juga berkenaan dengan ketidakadilan dan mewabahnya kerakusan, keserakahan dan ketamakan. Kelobhaan atau kerakusan, ketamakan adalah faktor esensial terjadinya penderitaan. Ketamakan adalah kemenangan kejahatan atau penderitaan rakyat. Agar ketamakan tidak menjadi pemenang, orang-orang baik perlu terlibat aktif membebaskan fakir miskin, memberantas kemiskinan. (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Sumber gambar: https://cdnwpedutorenews.gramedia.net/wp-content/uploads/2022/11/21121316/pemberdayaan-masyarakat-768×328.jpg 

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?