Oleh: Jo Priastana
“The only motive that can keep politics pure is
the motive of doing good for one’s country and its people”
(Henry Ford 1863-1947, Pendiri Ford Motor Company)
Tahun 2024, adalah masa dimana terjadi puncak tahun politik. Di tahun 2024 bulan Februari masyarakat Indonesia akan melakukan pemilihan umum Nasional, memilih wakil rakyat dan menentukan seorang pemimpin nasional, yakni presiden. Sebagai anggota masyarakat, warga negara, sudah menjadi kewajiban kita untuk juga memunculkan tindakan-tindakan sosialnya yang bersifat politis.
Masyarakat Indonesia akan menghadapi Pemilu dan sebagai warga negara yang baik tentu akan berpartisipasi. Bahkan diantara umat Buddha sendiri tentunya banyak yang mencalonkan dirinya sebagai caleg, calon wakil rakyat, baik di DPR maupun DPRD. Sebuah tindakan politik yang pantas diberi pujian karena mencurahkan hidupnya untuk kepentingan orang banyak.
Sudah sepantasnya kita melakukan keterlibatan politis kita, bahkan agama dan politik seringkali tidak dapat dipisahkan, meski bisa saja dibedakan. Eksistensi negara juga mendapat legitimasinya dari ajaran agama, sebagaimana hukum memperoleh legitimasinya pada etik dan nilai. Begitu juga setiap umat beragama dapat berperan besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui tindakan politisnya yang bernilai dan etis sumber legitimasi tindakan politis.
Politik Yang Etis
Ajaran agama bisa menjadi sumber bagi tindakan atau keterlibatan politis seseorang. berdimensi sosial-politis. Warga masyarakat dituntut peran dan partisipasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan memasuki keterlibatan politis. Sebagai umat beragama kita bisa melihat politik dari sudut etika dimana kehidupan bersama yang diharapkan sebagaimana mestinya atau idealnya dapat mencerminkan nilai-nilai agama yang mendukung kehidupan bersama secara baik.
Dengan melihat politis secara etika, menunjukkan agar segenap tindakan politis menjadi yang semestinya atau yang seharusnya. Tindakan politis yang sesuai dengan prinsip etika atau berdasar moralitas. Berpolitik bagi umat Buddha artinya juga mewujudkan diri sesuai dengan nilai-nilai dharma.
Arti politik yang menyangkut seni untuk memperoleh kekuasaan, memang bisa dimaknai bahwa kekuasaan itu harus diburu dan diperoleh dengan segala cara. Tapi walaupun demikian, bagi seorang beragama, dalam meraih kekuasaan itu tentunya juga berlandaskan pada etika dan moral.
Begitu pun, hendaknya juga dipahami (Budiarjo Miriam: 1992), Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Dengan begitu politik dapat dijadikan sebagai ilmu yang dapat dipelajari, artinya politik memang mendasarkan pada hakekat manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk yang berakal budi.
Kekuasaan dalam ilmu politik bukanlah satu-satunya konsep atau konsep tunggal. Dalam ilmu politik terdapat beberapa konsep-konsep pokok lainnya yang meliputi: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), maupun pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Mengingat politik adalah berkenaan dengan keseluruhan masyarakat, dan merupakan perwujudan dari dimensi sosial manusia, maka bagaimanapun juga tindakan-tindakan itu harus mencerminkan moralitas dan etika hidup bersama.
Seorang yang beragama justru hidupnya sarat dengan nilai, moralitas dan etika, dan ini tidaklah berarti harus menjauhkan dirinya dari kehidupan politik, bahkan seorang ulama sekalipun. Ketimbang berapologi tidak berpolitik namun dalam perannya itu justru mengakumulasi kekuasaan, maka ulama pun dapat dinilai secara politis.
Peran seorang beragama bila terlibat dalam kehidupan berpolitik sangat besar sekali, mengingat tindakan politis yang diharapkan dari seorang beragama adalah tindakan yang itu bersifat etis. Tindakan politis ini pasti lepas dari tindakan politis yang katanya kotor, busuk dengan menghalalkan segala cara.
Pencerahan Politis
Manusia yang beragama juga perlu terlibat melalui tindakan politisnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memberikan wajah manusiawi dalam kekusaan, dan mencerahkan perilaku politis. Etika sosial Buddhis berperan memberi orientasi dan bimbingan makna bagi tindakan-tindakan politis warga negara yang beragama Buddha, yakni tindakan politis yang etis.
Keterlibatan politik itu mencerminkan kekhasan manusia sebagai makhluk berakal budi yang dapat mengerti. Manusia juga sebagai makhluk sosial yang memerlukan kebersamaan, dimana segi etis tidak pantas ditinggalkan atau ditanggalkan.
Dengan begitu, justru keterlibatan tindakan-tindakan politis umat beragama akan mencerahkan kembali makna politik itu yang sebenarnya, yakni cita-cita masyarakat itu sendiri. Pencerahan politis bisa diharapkan datang dari kaum beragama yang berpolitik berdasarkan moralitas, atau setidaknya dapat memberikan tuntutan politik yang sarat nilai dan moral kepada para politisi praktis.
Tindakan politik yang etis akan selalu berpatokan kepada cita-cita masyarakat secara menyeluruh, dan bukan kepada perebutan kekuasaan. Tindakan politik yang etis yang mencerminkan cita-cita masyarakat itulah yang juga dikemukakan oleh banyak para filsuf, pemikir yang mencita-citakan kehidupan masyarakat bagaimana seharusnya.
Plato (428-348), seorang filsuf Yunani, misalnya menggagas pola kehidupan kenegaraan yang baik, yang menurutnya hanya akan tercapai apabila masyarakat ditata menurut cita-cita keadilan. Keadilan disini bukanlah secara individualistis melainkan keadilan yang dipahami sebagai tatanan seluruh masyarakat yang selaras dan seimbang.
Sedangkan Aristoteles (384-348) melihat polis (masyarakat yang tertata secara politik) sebagai permasalahan yang juga berkaitan dengan tujuan manusia itu sendiri. Tujuan terakhir manusia adalah kebahahagiaan (eudaimonia), karena hanya kebahagiaan itulah yang diusahakan demi manusia itu sendiri.
Tetapi manusia adalah makhluk social (zoon politikon), karenanya untuk dapat mengembangkan potensi-potensinya, manusia membutuhkan negara sebagai tatanan kehidupan bersama manusia dalam masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.
Tujuan negara adalah sama dengan tujuan manusia: agar manusia mencapai kebahagiaan. Maka negara bertugas untuk mengusahakan kebahagiaan warganya, mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial. Adalah sungguh mulia peran para pemangku negara atau para politisi di dalam mewujudkan kebahagiaan manusia.
Partisipasi Politis
Di tahun politik menghadapi Pemilu 2024 ini, kita semua melakukan keterlibatan politis kita. Berpartisipasi mensukseskan pemilihan umum dengan memilih wakil rakyat dan pemimpin nasional yang akan sungguh-sungguh membawa bangsa dan negara kita ini menuju kesejahteraan dan kebahagiaan.
Pemilu adalah instrumen kontrak sosial antara rakyat dan pemimpinnya, dan suatu sarana yang mencerminkan demokrasi, pemerintahan yang berdasarkan suara rakyat. Ada pertalian yang erat sekali antara agama Buddha dengan demokrasi. (Piyadassi Mahathera, 2003).
Keterlibatan politis kita sebagai cerminan menusia sosial yang berpolitik sesuai dengan prinsip-prinsip etika sosial Buddhis, dan misi Buddhadharma sesungguhnya.
Misi luhur dalam politik ini dapat didasarkan pada ajaran Sang Buddha dalam Digha Nikaya III: “demi untuk kebaikan dan kebahagiaan orang banyak, demi kasih sayang terhadap dunia, demi kebaikan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.” Keterlibatan politik yang dilakukan tidak semata untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan, namun dalam arti sebagai tanggung jawab kemanusiaan.
Etika sosial Buddhis yang selalu memikirkan dan memperjuangkan kebahagiaan orang lain, ketimbang kepentingan sendiri. “Orang yang memperhatikan kepentingan orang lain di samping kepentingan sendiri adalah yang terbaik” (Anguttara Nikaya II, Digha Nikaya III) ujar Buddha yang dapat memandu untuk pencerahan politis! (JP). ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).