Ketika Bumi Menggeliat dan Berdetak

Home » Artikel » Ketika Bumi Menggeliat dan Berdetak

Dilihat

Dilihat : 72 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 32
  • 62
  • 38,741

Oleh: Jo Priastana

 

“Melupakan cara menggali bumi dan merawat tanah

berarti melupakan diri kita sendiri”

(Mahatma Gandhi)

Bumi kian berdetak dan menggeliatkan dirinya berupa bencana gempa yang menghadirkan bencana bagi manusia. Ada apa hubungan manusia dengan bumi? Adakah selama ini manusia terlalu menyakiti bumi, hingga bumi harus menggeliatkan dirinya dalam rentetan gempa. Tampaknya rentetan gempa bumi rajin menyambangi Tanah Air.

Indonesia kembali berduka, pada 21 November 2022 gempa dengan skala M 5,6 melanda Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Gempa Cianjur banyak menelan korban manusia dan kerusakan rumah-rumah penduduk. Sebelumnya di daerah Jawa Barat ini juga pernah terjadi gempa seperti yang berpusat di Ujung Kulon pada 15 Oktober 2009, menyusul gempa bumi yang terjadi di Tasikmalaya dan Sumatera Barat.

Gempa bumi yang datang memporak-porandakan hunian dan lingkungan hidup manusia serta mendatangkan bencana kemanusiaan. Seiring dengan seringnya terjadi gempa bumi ini, alangkah baiknya bila kita menumbuhkan kesadaran dan pemahanan akan kondisi Tanah Air. Kondisi tanah air yang menurut ahli geologi berada di jalur gempa dan gunung api atau apa yang dikenal sebagai Cincin Api. 

Bencana Gempa Bumi dan Geologi

Dengan keberadaan pulau-pulau di Indonesia di jalur gempa sebagai cincin api itu, maka dimungkinkan gempa bumi datang menyambangi tanah air. Beberapa gempa yang pernah terjadi dan tercatat pada sebelum tahun 2000 misalnya: (1) Pada 30 September 1899, Laut Banda/Ambon, 7,8 SR  (Skala Richter) dengan 3.280 korban tewas. (2) 14 Agustus 1968, Sulawesi Utara, kekuatan 7,8 SR, 392 korban tewas. (3) 19 Agustus 1977, Kepulauan Sunda kekuatan 8,0 SR korban tewas 189. (4) 12 Desember 1992, Flores, kekuatan 7,5 SR, korban tewas 2.200. (5) 2 Juni 1994, Banyuwangi, Jawa Timur, kekuatan 7,2 SR, korban tewas 200. (6) 17 Februari 1996, Biak, Papua, kekuatan 8,1 SR, korban tewas 108.

Di tahun 2000 hingga sekarang juga terjadi sejumlah gempa bumi. (1) Pada 4 Juni 2000, Bengkulu, dengan 7,3 SR, korban tewas 93. (2). 26 Desember 2004, Aceh, 9,1 SR, 220.000 korban tewas. (3). 12 November 2004, Alor NTT, 7,3 SR, 26 korban tewas. (4). 27 Mei 2006, Yogyakarta, 5,9 SR, 6.223 korban tewas. (5). 13 September 2007, Padang, Bengkulu, Jambi, 7,7 SR, 10 korban tewas. (6) 17 Nov 2008, Sulawesi Tengah, 7,7 SR, 4 korban tewas 4.  (6) Januari 2009 Manokwari, Papua Barat, 7,2 SR – 2 korban tewas. (7). 2 September 2009, Tasikmalaya, Jawa Barat, 7,3 SR korban tewas 529. 30 September 2009, (8). Sumatera Barat, 7,6 SR, korban tewas 529, (9). 1 Oktober 2009, Bengkului Jambi, 7,0 SR korban tewas 2. dan (10) Ujung Kulon pada 15 Oktober dengan 6,8 SR, dengan getarannya yang dirasakan penduduk Jakarta.

Terhadap kerap terjadinya gempa bumi itu, kita ditantang untuk dapat mengantisipasi terhadap kemungkinan jatuhnya korban. Mempelajari penyebab gempa bumi secara saintifik sangat penting, seperti dalam ilmu geologi untuk mengetahui fenomena bumi. Selain itu kita juga perlu menumbuhkan rasa solidaritas terhadap korban bencana gempa.

Berbagai bantuan dan pertolongan serta aksi sosial perlu segera diulurkan bagi korban bencana gempa, seperti pemulihan kesehatan korban baik fisik maupun psikis, maupun rehabilitasi hunian, lingkungan dan berbagai sarana fisik lainnya. Semuanya itu merupakan wujud sifat kepedulian sosial atau solidaritas seorang Bodhisattva.

Bencana gempa bumi dapat diketahui melalui pemahaman tentang bumi melalui ilmu geologi. Ilmu geologi sangat penting dalam pengenalan dan antisipasi terhadap bahaya gempa bumi, karena dalam ilmu geologi tersebut dapat diketahui tentang komposisi, struktur, proses dan sejarah bumi, serta kemungkinan munculnya gempa.

Ninok Leksono (Kompas, 7 Oktober 2009) mengungkapkan bahwa ilmuwan yang mendefinisikan geologi adalah Sir Charles Lyell pada tahun 1830. Semenjak saat ilmu itu dikumandangkan, maka studi geologi itu diperluas sampai ke planet-planet lain dan satelitnya, yang lalu dikenal sebagai geologi keplanetan. Ada banyak cabang dalam geologi, antara lain geofisika yang mempelajari fisika bumi.

Bumi dan Perspektif Buddhadharma

Dalam perspektif Buddhadharma pemahaman mengenai bumi yang dipelajari ilmu geologi termasuk dalam utu niyama, yakni ketertiban atau hukum-hukum yang mengatur dunia inorganik. Utu Niyama merupakan salah satu hukum tertib alam semesta (niyama) yang dikemukakan Sang Buddha bersama dengan hukum tata-tertib lainnya seperti untuk dunia organis (bija niyama), perilaku manusia (karma niyama), kesadaran (citta niyama), serta fenomena lainnya yang melampaui dunia empiris (dhamma niyama).

Sebagaimana dengan hukum kesunyataan tilakkhana yang diungkapkan Sang Buddha bahwa fenomena manusia dan kehidupan di semesta ini, termasuk juga bumi adalah selalu mengalami perubahan (anicca), penderitaan (dukkha), dan tiadanya inti yang kekal (anatta), maka di dalam ilmu geologi yang mempelajari tentang bumi pun diungkapkan bahwa bumi ini selalu bergerak dan karenanya bukan sesuatu yang kekal namun selalu mengalami perubahan baik cepat maupun lambat.

Gempa bumi menunjukkan fenomena perubahan dan ketidakakkekalan, serta kedukaan pada manusia yang menjadi korban. Fenomena yang mencerminkan proses yang terjadi pada bumi itu sendiri sebagaimana bekerjanya unsur-unsur alam seperti yang menjadi kajian ilmu geologi.

Dalam Maha Parinibbana Sutta yang mengungkapkan jawaban atas pertanyaan Ananda mengenai latar belakang, penyebab terjadinya gempa bumi, satu diantara delapan jawaban tersebut mencerminkan keselarasan dengan apa yang diungkapkan ilmu geologi, yaitu: (1) Bumi yang luas ini terbentuk dari zat cair, zat cair terbentuk dari udara dan udara ada di angkasa. Apabila udara bertiup dengan dahsyatnya, maka zat cair berguncang. Keguncangan zat cair ini menyebabkan bumi bergetar.

Selain itu, ada pula disebutkan penyebab fenomena bumi yang bergetar dan bergoncang lainnya, yang berkaitan dengan keberadaan Brahmana, Bodhisattva, maupun Sang Tathagata, yaitu: (2) adanya seorang pertapa atau Brahmana yang memiliki kekuatan batin maha besar. (3) Sang Bodhisattva meninggalkan alam surga Tusita masuk ke dalam kandungan seorang ibu yang penuh pengertian, (4) Sang Bodhisattva hadir ke rahim (kandungan) seorang ibu yang penuh pengertian. (5) Sang Tathagata mencapai kesempurnaan yang maha sempurna, (6) Sang Tathagata memutar Dharmacakra. (7) Sang Tathagata telah bertekad untuk meneruskan hidupnya, dan (8) Sang Tathagata telah tiba saatnya mangkat, parinibbana dimana tiada tersisa suatu unsur keinginan.

Fenomena Bumi

Ilmu geologi mengungkapkan bahwa bumi terdiri dari berbagai lapisan-lapisan, seperti adanya kerak atau kulit, lalu mantel dan inti.  Kerak bumi yang berwujud lempeng-lempeng itu telah bergerak ke sana-sini di permukaan Bumi setidaknya sejak 600 juta tahun terakhir dan bahkan sejak beberapa miliar tahun sebelumnya (New York Public Library Science Desk Ref, 1995).

Sekarang ini, setiap lempeng bergerak dengan kecepatan berbeda-beda, di antaranya ada yang dengan kecepatan 2,5 sentimeter per tahun. Para ilmuwan juga meyakinini bahwa pada masa lalu, sekitar 250 juta tahun silam, ada benua besar atau superkontinen yang dinamai Pangaea (Nama Pangaea diusulkan oleh geolog besar Afred Wegener tahun 1915). 

Sekitar 180 juta tahun lalu, superkontinen ini pecah menjadi Gondwanaland, atau Gondwana dan Laurasia. Gondwana adalah kontinen hipotetis yang dibentuknya dari bersatunya Amerika Selatan, Afrika, Australia, India, dan Antartika. Sementara Laurasia tersusun dari Amerika Utara dan Eurasia.

Sekitar 65 juta tahun silam atau masa sekitar punahnya dinosaurus, kedua kontinen itu mulai berpisah dan perlahan-lahan membentuk tatanan seperti yang kita lihat sekarang ini.

Ada prediksi menarik dalam 50 juta tahun dari sekarang, pantai barat Amerika Utara akan robek dari daratan utama (mainland). Australia akan bergerak ke utara dan bertubrukan dengan Indonesia. Sementara Afrika dan Asia akan terpisah di Laut Merah.

Fenomena bumi yang selalu bergerak dan bertransformasi itu menimbulkan pertanyaan tentang kelangsungannya. Berapa lama lagikah usia bumi? Sampai seberapa lama bumi masih dapat menyediakan dirinya sebagai kondisi yang layak bagi hunian manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya. Adakah keterkaitan antara kehidupan manusia dengan bumi, dan bagaimanakah keterkaitan tersebut?

Bumi dan Abad Terakhir

Disebut-sebut bahwa kemungkinan umur bumi ini tinggal satu abad. Tentu yang dimaksud dengan ini adalah berkenaan dengan batas keterhunian, yakni menyangkut dengan datangnya pemanasan global dan terus menurunnya kualitas lingkungan. Karena itu, sejumlah ilmuwan menyebut kurun seabad ke depan sebagai one final century (abad kita yang terakhir).

Semakin pendeknya waktu bagi manusia menempati bumi sebagai hunian ini tentunya juga berkaitan dengan sikapnya terhadap bumi yang gemar mengeksploitasi. Padahal dari ilmu astronomi yang mengaitkan umur bumi ini dengan teori evolusi bintang dan dengan umur Matahari masih sekitar 4,5 miliar tahun lagi.

Kondisi bumi yang tinggal se-abad bagi hunian manusia akibat eksploitasi manusia yang berlebihan terhadap alam ini, sesungguhnya telah jauh diperingatkan sejak tiga puluh tahun yang lampau. Pada saat isu lingkungan hidup mulai mencuat, di tahun 1972, pada konferensi Lingkungan Hidup PBB terbit sebuah buku “Only One Earth,” oleh Barbara Ward dan Rene Dubos. Buku itu memperingatkan tentang keterbatasan bumi dalam memberikan daya dukung kehidupan manusia. Sebuah buku peringatan yang tetap relevan sampai saat ini bagi manusia dan kehidupannya di bumi.

Menghormati Dengan Merawat Bumi

Semestinya setelah terbitnya buku tersebut, kita cepat tergugah untuk memelihara lingkungan, menjaga hutan dan sungai, dalam rangka menghormati bumi dan berbagai makhluk hidup yang berbagi ruang hidup di Bumi yang satu ini.

Kini dengan melihat perkembangan aktivitas bumi yang gemar “menyulut api” menggeliatkan dirinya dalam gempa bumi, tentunya manusia dapat lebih menyadari akan efek ambisinya selama ini dalam mengeksploitasi kandungan isi bumi demi pemenuhan industri. Sejak industrialisasi yang mendapatkan momentumnya dalam revolusi industri di pertengahan abad ke-19 manusia telah mengeksploitasi alam secara luar biasa.

Tidak hanya menguras isi bumi, aktivitas manusia dalam industri itu juga telah menyemburkan miliaran ton gas dan debu ke atmosfer, yang tidak sepenuhnya bisa dibawa turun lagi ke permukaan bumi dan menimbulkan apa yang sekarang dikenal sebagai efek rumah kaca, global warming, pemanasan global dan masalah ekologis lainnya.

Sedikit banyaknya, aktivitas manusia yang berindustrialisasi dengan kandungan ketamakan dan keserakahan dalam memenuhi ambisi dan kebutuhan yang terciptakannya itu memberi efek bagi bumi yang akhirnya berdetak dan menggeliat dalam fenomena berbagai bencana alam. 

Usia bumi semakin terasa lebih cepat, dan ini memperoleh pengaruh dari eksplorasi yang berlebihan terhadap alam dan kandungan isi bumi dalam industrialisasi, aktivitas yang mencerminkan pandangan manusia terhadap alam yang bersifat linier dimana alam hanya dianggap untuk pemenuhan ambisi manusia.

Oleh karenanya pandangan yang selaras, bersahabat dan akrab terhadap alam perlu menggantikannya. Pandangan tentang alam semesta yang bersifat holistik ini terdapat dalam filsafat Buddha tentang alam, bahwa segenap bentuk kehidupan itu saling terkait dan berhubungan dalam jejaring alam semesta, keharmonisan agung alam semesta sebagaimana ditekankan aliran Buddhis Thien Tai, dan untuk itu kita perlu menjaga dan merawat bumi! (JP)

***

  • REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
  • REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH)
  • SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor)

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?