Ketika Moralitas Tinggal 25%

Home » Artikel » Ketika Moralitas Tinggal 25%

Dilihat

Dilihat : 73 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 45
  • 60
  • 38,643
pic moralitas 25

Oleh: Jo Priastana

 

“How can one be well …when one suffers morally?

(Leo Tolstoy, Writer “War and Peace”)

 

Bila kejahatan pencurian seperti korupsi telah begitu merajalela, dan berlangsung secara bersama-sama dan sistematis. Bila kejahatan kebohongan dan pembunuhan sudah begitu lumrah dan berlangsung secara sadis tidak mengenal usia. Bila kejahatan dalam perilaku seksual dan makan minum berlebihan sudah menjadi pemandangan sehari-hari dan berlangsung tidak mengenal usia lagi dan kalangan dan status sosial.  Pertanda kehidupan apakah ini?

Pertanda apakah bila rasa malu telah dikalahkan oleh hasrat nafsu duniawi, bila rasa bersalah dan hati nurani telah tertimbun debu keserakahan dan kebodohan? Akan jadi apakah Negara ini, bila kejahatan pencurian uang Negara dalam bentuk korupsi telah begitu akut? Bila kebohongan terhadap rakyat telah begitu lumrah. Dimanakah jerit suara hati para pemimpin negara melihat pengelolaan Negara seperti itu?  

Bila kejahatan telah begitu kasat mata dan hidup nyata dalam keseharian kita, mau dibawa kemanakah dunia yang kita tempati ini? Akan jadi apakah bumi yang kita diami ini, apabila sepuluh karma buruk telah begitu merajalela. Akan jadi apakah bumi nusantara ini bila eksploitasi alam oleh segelintir oligarli meninggalkan kesengsaraan bagi masa depan anak-anak negeri.

 

Zaman Edan “Kalatidha” Ronggowarsito

Bila pembunuhan, pencurian, kejahatan seksual, kebohongan, pemfitnahan, kata kasar dalam umpatan cacian, omong kosong, keserakahan, niat jahat, dan pandangan yang keliru, serta kehidupan mewah ditengah kemiskinan dan kerasnya hasrat duniawi-inderawi telah begitu merajalela dan menjadi pemandangan sehari-hari, adakah itu kehidupan yang pantas? Adakah kehidupan seperti itu terus dipertahankan? Dimanakah kesadaran rasa moral, nurani dan akal sehat?   

Adakah dunia telah begitu gila, adakah zaman memang dikatakan telah masuk dalam zaman edan? Istilah zaman edan sebagaimana ujaran terkenal yang disabdakan dan telah diramalkan oleh pujangga besar Nusantara, Ronggowarsito beberapa ratus tahun silam. Masyarakat dewasa ini tampaknya sedang sakit. Dalam kondisi sakit kemoralan segalanya menjadi absurd dan irasional serta gampang terjadi seolah-olah begitulah yang pantas dilakukan.

Orang-orang pada sakit, spiritual, moral, etika, pikologis sehingga healing holistik menjadi kondisi yang dirindukan. Dalam kondisi sakit, masyarakat mudah terombang ambing, mudah terbawa atau terbius oleh tawaran-tawaran yang sebenarnya adalah mimpi dan ilusi.  Mimpi dan ilusi yang menjadi ciri dari zaman edan, zaman Kaliyuga sebagaimana diramalkan Ronggowarsito yang sarat dengan kemerosotan moral manusia.

Kehidupan yang disarati oleh mimpi dan ilusi dari gemerlap duniawi itulah yang disinyalir pujangga Keraton Surakarta, Ronggowarsito yang menciptakan istilah zaman edan dalam salah satu karyanya, Serat Kalatidha. Kala artinya waktu dan tidha artinya bimbang, berasosiasi dengan time of tribulation, kondisi serba tidak menentu, semacam krisis sosial-kultural yang berakar pada moralitas.

Pencipta istilah terkenal “zaman edan,’ Raden Ngabehi Rangga Warsita (Ronggowarsito), lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Maret 1802 – meninggal di Surakarta, 24 Desember 1873 pada usia 71 tahun. Ronggowarsito adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Istilah Zaman Edan diperkenalkannya dalam Serat Kalatidha yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom, satu bait diantaranya berbunyi:

 “amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada.”

Dan terjemahannya sebagai berikut: “menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat bagian, kelaparan pada akhirnya, namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.”

Dalam zaman edan dimana dalam kondisi masyarakat yang sakit itu muncul beragam penyakit psikologis manusia seperti: neurotik, obsesif, depresi, stress, cemas, khawatir, takut, hingga agresif maupun psikopatologis. Kehidupan berjalan secara anomali dimana norma moral tidak lagi berjejak, dan ketidak-berdayaan manusia di dalam keputusasaannya dalam meraih hidup yang sejahtera dan bahagia.

Dalam kehidupan tanpa moralitas itu dimana realitas yang sejati dalam kebenaran dan kebaikan tidak muncul dihadapan, maka rakyatpun merindukan akan datangnya sosok sang mesias, sang pembebas, sang penyelamat. Konsep Ratu Adil sebagai mesias atau penyelamat mudah muncul di tengah kondisi sosial-kultural seperti itu.

Ratu Adil yang diharapkan hadir agar terhapusnya kebimbangan dan berakhirnya zaman edan. Harapan yang seringkali bernuansa religius, semacam apokalipsme, lari ke harapan yang ditawarkan oleh agama dan kepercayaan, dan terkesan menghindar dari tantangan menghadapi persoalan aktual sesungguhnya. Dambaan akan sang pembebas, sang mesias dalam sosok ratu adil kerap muncul di zaman kebobrokan moral.

 

Moralitas 25% Kaliyuga

Dalam perspektif pemahaman Filsafat Kebijaksanaan Timur, sebagaimana yang terungkap dalam kitab Purana, filsafat Samkhya, (Harun Hadiwijono, 1971, “Agama Hindu dan Buddha,”: 33-34), zaman kehidupan sekarang ini adalah termasuk masa Kaliyuga atau abad Kali. Sebelumnya, Kaliyuga didahului oleh Krtayuga, Thretayuga, dan Dwarapayuga. Keempat abad atau yuga tersebut itu merupakan bagian kecil dari mahayuga atau 1000 abad yang dikatakan sebagai waktu kehidupan satu hari Brahma.

Masing-masing abad besar tersebut berhubungan kehidupan perilaku manusia.  Krtayuga merupakan abad yang keadaannya 100% baik. Dalam abad ini kejujuran, kebaikan hati, kebaktian, dan kedermawanan dilakukan oleh semua orang. Thretayuga, abad yang hanya memiliki 75% kebaikan. Orang menjadi jahat dan gemar bertengkar, menjadi cerewet, tetapi pada umumnya mereka masih melakukan upacara-upacara keagamaan.

Dwaparayuga, abad yang hanya memiliki 50% kebaikan, kebohongan, kejahatan, ketidakpuasan, percekcokan menjadi-jadi. Kebaktian, kebaikan hati, dan suka mengampuni menurun setengah-setengah. Sedangkan Kaliyuga, abad yang hanya 25% kebaikan. Abad ini adalah abad kemerosotan. Hanya seperempat dari seluruh kebajikan tersisa. Akhirnya sisa ini juga habis.

Dicirikan juga bahwa pada abad Kaliyuga ini kebanyakan orang menjadi Sudra, bersikap seperti jongos dan hamba yang senantiasa dikuasai oleh godaan-godaan. Mereka jahat, tidak ramah-tamah, gemar bercekcok, celaka, dan berjiwa pengemis. Penipuan, kemelaratan, kedengkian, ketololan, kesedihan, ketakutan, dan kemiskinan merajalela dan manusia diliputi oleh kegelapan.

Apa yang rendah dan tercela dipuji-puji. Orang lelaki dikuasai oleh istrinya. Wanita menjadi tak tahu malu, lancang, dan gasang. Mereka terlalu banyak berhubungan seks, banyak anak lahir yang tak jelas siapa ayah sesungguhnya, pengejar kenikmatan, makan banyak, berbicara banyak dan bicaranya tidak menyenangkan. Tindakan bernuansa ramai dengan upacara dan ritual, sebagai manipulatif meraih kuasa dan kekayaan dan hiburan kesengsaraan dengan harapan dan janji utopis.

Disebutkan juga masa Kaliyuga ditandai oleh kota-kota yang penuh dengan pencuri dan orang jahat. Yang berjualan adalah pedagang-pedagang yang rendah dan curang. Raja-raja, pemimpin masyarakat justru menindas dan memeras darah rakyatnya. Kepala keluarga melalaikan tugas mereka dan mengemis di jalan-jalan, meminta-minta dan orang-orang Brahmana memerosotkan derajat mereka hingga setaraf dengan Sudra.

Musim kemarau dan banjir merusak panen, dan perang serta bala kelaparan menurunkan penduduk dunia. Dengan singkat, keadaan dunia menjadi demikian jelek, sehingga manusia yang bijaksana menanti-nantikan kedatangan Kalki, yang akan memperbarui dunia.

Zaman edan dimana banyak orang hanya tertarik pada pusaran kehidupan duniawi yang semu dan ilusif, serta bangsa dan negara seperti kehilangan kompas karena tak ada keteladanan kepemimpinan. Zaman edan dimana kejahatan tumbuh berselubung kebaikan, teratai palsu semarak dalam kolam moralitas dan spiritualis simulakra. Kebaikan hanya sekedar tontonan simulasi, jauh dari keteladanan, kejuruan dan kemurnian. (JP)

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

sumber gambar: bard.ai (bard.google.com)

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?