Oleh: Jo Priastana
“Yang pasti, para diktator totaliter tidak secara sadar menempuh jalan menuju kegilaan itu”
(Hannah Arendt, 1906-1975 dalam “The Origins of Totalitarianism”)
Bagaimana mungkin negeri subur cantik dengan mayoritas beragama Buddha yang cinta damai menjadi ladang pembantaian bersimbah darah dan meninggalkan generasi yang tidak mengenal lagi garis keturunan di atasnya? Generasi Kamboja masa kini pada umumnya tidak punya kakek atau nenek, akibat terjadinya peristiwa pelanggaran kemanusiaan di Kamboja 40 tahun lalu. Banyak anak sekarang kehilangan orang tua, saudara kandung, maupun famili terdekat.
Salah seorang yang merasakan akibat tragedi kemanusiaan dan kehilangan keluarganya adalah Rithy Panh, seorang sutradara asal Kamboja. Pada Festival Film Internasional Ajyal di Doha, Qatar, 22/11/2024, (Kompas, 7/1/25), Rithy Panh (60 thn) membawa film terbarunya “Meeting with Pol Pot (Rendez-vous avec Pol Pot)”, sebuah film yang tayang perdana pada Festival Film Internasional di Cannes Paris, Perancis, pada 2024.
Film ini berkisah tentang dua wartawan dan seorang intelektual Barat yang diundang ke Kamboja pada 1978 untuk mewawancarai Pol Pot, salah seorang pemimpin revolusi yang paling bertanggung jawab atas tragedi genosida di Kambooja itu. Kisah film diadaptasi dari buku “When the War was Over: Cambodia and the Khmer Rouge Revolution“ (1998), karya koresponden perang asal Amerika Serikat, Elizabeth Becker yang pernah bertemu Pol Pot bersama jurnalis AS, Richard Dudman, dan jurnalis Skotlandia, Malcolm Caldwell.
Revolusi dan Surga Utopia
“Meeting with Pol Pot” mengungkap revolusi berdarah yang dilakukan oleh rezim komunis Khmer Merah pimpinan Pol Pot pada periode 1975-1979 di Kamboja. Demi membangun tatanan sosial yang baru berbasis ideologi komunis, Pol Pot menyiksa dan membunuh 1,7 juta hingga 2 juta orang Kamboja. Sebagian dari mereka merupakan loyalis rezim sebelumnya dan para intelektual yang dianggap menghambat revolusi dan menyertakan orang-orang yang tidak mengerti apa-apa soal politik.
Ketika genosida paling kejam di dunia itu berlangsung, Rithy Panh masih remaja. Seperti banyak anak segenerasinya, ia kehilangan kedua orangtua dan beberapa saudara kandungnya. Memori kelam itu ia rekam lewat film agar orang sadar bahwa revolusi yang didasari ideologi miskin hanya menghasilkan tragedi kemanusiaan. Panh aktif sebagai sutradara sejak 1989 dimana film-fillmnya kebanyakan dokumenter dan bertutur tentang kekejaman rezim Pol Pot yang mengakibatkan penderitaan tak terperi pada rakyat Kamboja (“Merekam Memori Tergelap Kamboja”, Rubrik Sosok, Kompas, 7/1/25/FB Harian Kompas, 8/1/25).
Revolusi yang merubah tatanan sosial-budaya-politik di Kamboja dilakukan oleh rezim Pol Pot (1975-1979). Kata Revolusi mengingatkan kepada pergolakan berdarah sebagaimana terjadi di sepanjang sejarah umat manusia, seperti Revolusi Prancis 1789, Revolusi Rusia 1917, Revolusi Tiongkok 1949, Revolusi Kebudayaan 1960-an, dan lain-lain. Revolusi berkenaan dengan transformasi mendalam suatu masyarakat yang menyertakan perubahan secara radikal, yakni perubahan struktur sosial suatu negara.
Samuel P. Huntington (1927-2008), ilmuwan politik Amerika, penulis buku terkenal “The Clash of Civilization”, mengungkapkan, “A Revolution is a rapid, fundamental, and violent domestic change in the dominant values and myths of a society, in its political institutions, social structure, leadership, and government activities and politics.” Dalam pergolakannya, ia menyatakan bahwa revolusi tidak hanya mengubah kepemimpinan suatu negara, tetapi “in addition, virtually all students of revolution agree that either urban or agrarian unrest is a central component of any revolution.” (Samuel P. Huntington, “Political Order in Changing Societies“, New Haven: Yale University Press, 1968).
Pol Pot (1925-1998) adalah seorang politikus dan revolusioner Kamboja yang memerintah Kamboja sebagai Perdana Menteri Kamboja Demokratis antara 1976-1979 berideologi Marxis-Leninis dan nasionalis Khmer. Ia menjadi tokoh gerakan komunis Kamboja, Khmer Merah dari 1963 sampai 1997 dan menjabat sebagai sekretariat Jenderal Partai Komunis Kamboja dari 1963-1981. Di bawah pemerintahannya, Kamboja berubah menjadi negara komunis satu partai bernama Kamboja Demokratis dan melakukan genosida dalam rangka menciptakan masyarakat sosialis agraria yang ia yakini akan berubah menjadi masyarakat komunis.
“The Killing Fields” di Tanah Buddha
Pemerintahan Pol Pot secara paksa memindahkan masyarakat kota ke wilayah pedesaan untuk bekerja di ladang pertanian kolektif. Revolusi rezim Pol Pot terjadi di Kamboja dimana mayoritas penduduknya beragama Buddha. Kamboja yang dikenal sebagai negara cantik dimana di tanahnya tumbuh subur bibit Buddha yang telah hadir sejak hampir dua ribu tahun dan selanjutnya telah melewati jatuhnya berbagai kerajaan dan dinasti.
Sejarah Agama Buddha masuk ke Kamboja melalui pengaruh dari India pada abad ke 3 SM. Pada abad ke 5 M, agama Hindu dan Buddha Mahayana berkembang di bawah Kerajaan Funan dan Chenia. Selama masa Kerajaan Khmer (802-1431 M), Buddha Mahayana mendominasi, terutama pada masa pemerintahan Jayavarman VII, yang menjadikan Buddha sebagai agama resmi kerajaan. Namun, seiring runtuhnya Kerajaan Khmer Merah, aliran Buddha Theravada mendominasi pada abad ke 14, menjadi bentuk Buddha yang dianut oleh mayoritas dan mempengatuhi budaya di Kamboja.
Kamboja dijuluki Negeri Angkor Wat, yang menjadi ikon negara, situs arkeologi terpenting di Asia Tenggara, dibangun pada abad 12 oleh Raja Suryavarman II, warisan Hindu dan Buddha yang menjadi daya tarik wisatawan dunia hingga kini. Kamboja juga kaya dengan atraksi budaya dan penduduknya yang dinamis dan atraktif, serta alamnya yang indah dan subur. Ada festival Bonn Om Teuk, yaitu festival balap perahu nasional, berpangan beras dan malam kuliner dengan bahan alami dari bumi sendiri.
Hingga datang masa Khmer Merah (1975-1979), dimana agama Buddha mengalami penindasan brutal, termasuk pembantaian banyak bhikkhu dan penghancuran Wihara. Sejarah masa kelam agama Buddha di Indocina di bawah rezim Pol Pot yang melakukan pembersihan agama yang kejam, menargetkan bhikkhu Buddha sebagai bagian dari kampanye untuk menghapus semua elemen masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ideologi revolusioner.
Diperkirakan sekitar 25.000 bhikkhu dibunuh, biara-biara dihancurkan, dan praktik agama dilarang keras. Akibat pengaruh ideologi marxisme-komunisme di Kamboja di bawah Khmer Merah itu, agama Buddha hampir dihancurkan sepenuhnya. Baru setelah jatuhnya Khmer Merah, agama Buddha mulai pulih tetapi tetap menghadapi pembatasan dari rezim pemerintah baru.
Sejarah tragedi genosida di Kamboja dapat dibaca lewat tulisan Ian Harris dalam “Buddhism in a Dark Age, Cambodian Monks under Pol Pot,” University of Hawaii Press, 2012. Buku yang memberikan memberikan wawasan mendalam tentang penindasan agama Buddha selama rezim Khmer Merah. Selain itu, ada juga artikel Ian Harris berjudul “Buddhis under Pol Pot” dalam Journal of Contemporary Religion 1999, sebuah tulisan yang mengeksploitasi dampak dari pemerintahan Khmer Merah terhadap agama Buddha di Kamboja.
Tragedi kemanusiaan Kamboja itu selalu menimbulkan pertanyaan. Mengapa di negeri cantik Kamboja yang sarat dengan peninggalan peradaban yang tinggi yang telah memiliki bibit kebuddhaan yang humanis dimana agama Buddha telah berkembang dalam sejarah sampai bisa menghadirkan ideologi marxisme dan komunisme dengan menjadikan Kamboja sebagai “Kiling Fields” (ladang pembantaian), meminjam judul sebuah film di tahun 1980-an, tentang genosida di Kamboja?
Ideologi dan Pembelajaran Dunia
Dunia bisa belajar sejarah tragedi kemanusiaan dari Film “Meeting with Pol Pot”. Sebuah film yang didedikasikan untuk kemanusiaan, dimana di dalamnya tidak hanya bicara soal Khmer Merah, tetapi juga soal bagaimana ideologi yang hanya menimbulkan tragedi kemanusiaan yang parah hendaknya jangan sampai terulang lagi. Kehadiran ideologi Marxisme dan komunisme di negara-negara Asia di tahun 1960-1970-an itu yang mayoritas beragama Buddha (Kamboja Indocina) sepantasnya menggelitik para cendekiawan, intelektual Buddhis untuk memikirkannya.
Ada tulisan Charles B. Jones, Assistant Professor, Departement of Religion and Religous Education, dalam “Journal of Global Buddhism”, Vol.1. 2012. ISSN 1527-6457. Ia mengemukakan sebuah tulisan berjudul “Buddhism and Marxism in Taiwan: Lin Quiwu’s Religious Socialism and Its Legacy in Modern Times” Charles B. Jones memperlihatkan tulisan Lin Qiuwu di tahun 1929 yang berjudul: “Jiejidouzhengyufojiao” (Class Struggle and Buddhism), in Nan’eBukkyoo 7/2 (1929), pp. 52-58), sedikit kutipannya:
“That Lin would advance such an analysis makes a great difference in our perception of his relationship to both Buddhism and Marxism. It demonstrates clearly that he went well beyond a simple rhetorical appropriation of Buddhist terminology in order to command the attention of the island’s Buddhists and induce their cooperation with a basically Marxist program. Instead, it shows that he genuinely accepted a Buddhist construction of reality that included idealistic elements and metaphysical concepts that Marx himself would never have accepted, and used them as a corrective or complement to Marxist thought. The idea of “one buddha” gave him the means to propound the fundamental unity of humanity (as one aspect of the final unity of all phenomena), which he could then oppose to the divisiveness of class structure, which in his terms rested on a foundation of philosophical mistakes.”
Ideologi yang mengandung impian dan cita-cita masa depan seringkali tidak sebanding dengan realitas. Agustinus Wibowo, sang pengelana di banyak negara Asia yang menyaksikan banyak pergolakan berdarah karena perbedaan dan perjuangan ideologi, mengingatkan, “Ideologi memang bicara tentang impian-impian ideal, tetapi itu hanya angan-angan dan di atas kertas. Yang benar-benar berlaku di lapangan adalah realisme politik, yaitu kenyataan bahwa politik lebih digerakkan oleh motif kekuasaan dan kepentingan”.
Seperti yang diungkapkan oleh George Orwell (1903-1950), sastrawan Inggris terkenal dengan karyanya “1984” dan “Animal Farm”, bahasa politik memang dirancang untuk membuat kebohongan tampak seperti kejujuran dan pembunuhan terdengar terhormat. Oleh karena itu, ketika bicara tentang ideologi, kita tidak boleh hanya terpikat oleh janji-janji utopis muluknya, tetapi juga harus menerima fakta bahwa realisme politik lebih sering mendominasi di dunia nyata (Agustinus Wibowo, “Kita dan Mereka,” 2024:427).
Kita harus selalu waspada akan penerapan suatu ideologi dalam kenyataan yang belum tentu seindah cita-citanya. Dan sebaliknya, tetap harus mencurigai dan kritis terhadap penguasa, sebab sebagaimana diingatkan sendiri oleh Karl Marx (1818-1883), bahwa ideologi itu selalu berada di tangan kelas penguasa, ide-ide kelas penguasa di setiap zaman merupakan ide-ide yang berkuasa. “The Ruling ideas of each age have ever been the ideas of its ruling class.”
Rithy Panh, sang sutradara sendiri tampaknya menyadari bahwa Marxisme juga menjauhi kekerasan dan Pol Pot keliru untuk itu. “Banyak pemimpin seperti Pol Pot menggunakan ideologi dalam bentuk (yang mereka kira) murni. Saya kira Pol Pot bukan seorang Marxist. Marx tidak menyarankan membunuh orang. Ketika dia bicara sosal penghancuran kelas, dia tidak bicara soal pembunuhan.” kata Panh.
Ladang Kemanusiaan Yang Satu dan Sama
Rithy Panh (60 thn) telah mendedikasikan dirinya untuk kemanusiaan dengan satu tujuan mulia, agar belajar dari sejarah tragedi semacam genosida yang terjadi di negerinya. Panh mengingatkan agar di negeri Kamboja yang indah dan pernah memiliki peradaban yang tinggi, tragedi “killing fields” tidak terulang lagi pada generasi selanjutnya.
Rithy Panh sendiri selain melalui film juga mendirikan lembaga Bophana Audio Visual Resource Center. Lewat lembaganya ini, Panh ingin mengedukasi publik dan berdialog, terutama generasi muda, tentang sejarah kelam Kamboja yang mungkin tidak mereka pahami. Bophana adalah nama dari perempuan Kamboja berusia 25 tahun yang dieksekusi oleh rezim Khmer Merah pada 1977. Bophana termasuk yang disiksa dan diperkosa, namun sempat menulis berhalaman-halaman kesaksian terkait kekejaman Khmer Merah.
Lembaga yang didirikan Panh ini mengumpulkan arsip-arsip film, televisi, foto, dan audio tentang Kamboja dari seluruh dunia, termasuk propaganda-propaganda rezim Pol Pot (Kompas, 7/1/25, Budi Suwarna). Rithy Panh mendedikasikan hidupnya untuk mencermati bahaya dan dampak kehadiran suatu ideologi terhadap kemanusiaan, mencegah tragedi kemanusiaan terulang kembali, dan sebaliknya mengembangkan kehidupan yang maju, damai dalam budaya kesadaran dan kemanusiaan.
Melalui karya dan pengabdian kemanusiaannya itu, Rithy Panh tampaknya ingin mengajak dunia agar di negeri cantik Kamboja itu pantasnya menjadi ladang cinta kasih dan kemanusiaan, seperti mewujudkan surga Sukhavati dimana bibit kebuddhaan yang ada di dalam diri setiap orang yang satu dan sama itu tumbuh subur. Masyarakat hidup damai dan maju bersama semerbak harum senyum Buddha yang dalam dharmanya beramanat mewujudkan kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial. Sebuah negari cantik yang penuh masa dengan dengan kemajuan dalam budaya kesadaran dan kemanusiaan sebagaimana pernah terjadi di dalam sejarahnya. (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: https://cdn.getyourguide.com/img/tour/2e8a1f943413068ae04c760594ceb5648bf69aeab6f417413a9c820a63055372.png/146.jpg