Kisah Terbakarnya Kuil Kencana “The Temple of Golden Pavilion” – Keindahan Wujud Dalam Kekosongan Spiritualitas

Home » Artikel » Kisah Terbakarnya Kuil Kencana “The Temple of Golden Pavilion” – Keindahan Wujud Dalam Kekosongan Spiritualitas

Dilihat

Dilihat : 100 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 17
  • 271
  • 82,520
Pic 3 Terbakarnya Kuil

Oleh: Jo Priastana

 

“The Golden Temple was the symbol of the beauty that called forth the darkness in my heart”

(“The Temple of Golden Pavilion”, Yukio Mishima, Novelis)

 

Kisah tentang satu kuil, dibakar justru oleh pengagumnya sendiri yang terobsesi akan menawannya sebagai kuil yang sangat indah. Namun kuil kencana yang sangat indah itu yang mencerminkan nilai-nilai luhur, tampaknya tidak seindah dan tidak tercermin pada kehidupan para penghuninya. Bagaimana seseorang yang telah terobsesi akan keindahan keluhuran sebuah bangunan ibadah berhadapan dengan kontradiksi yang disaksikannya? Adakah ini juga mewakili kehidupan beragama zaman kini? Paradoks antara giat membangun tempat ibadah yang besar, mewah dan indah yang seiring dengan sifat keserakahan, materialisme dan korupsi yang makin menggejala dan menggila.

Adalah salah satu karya sastra yang sekiranya bisa ditafsirkan seperti itu. Sebuah karya monumental dari sastrawan Jepang termashur Yukio Mishima (1925-1970), “The Temple of the Golden Pavilion (Kinkaku-ji)”. Novel sastra yang mengisahkan seorang tokoh dibalik kuil kencana yang dibakar ini terinspirasi oleh sejarah nyata sebuah kuil Buddha yang terbakar di Kyoto pada tahun 1950. “The Temple of Golden Pavilion,” ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran tentang keindahan, kehancuran, kekosongan spiritual, dan pencarian pencerahan yang dapat dihubungkan dengan Buddhadharma.

Tokoh utama, dalam novel “Kuil Kencana” (1956) yang bernama Mizoguchi, terobsesi dengan kuil yang melambangkan keindahan dan kesucian. Tetapi dia juga mengalami kebingungan moral dan spiritual, karena keindahan keluhuran itu tidak tampak dalam kenyataan. Situasi yang mencerminkan ketegangan dan kesenjangan antara dunia material dan spiritual ini sering ditemukan dalam banyak kehidupan beragama. Kontradiksi antara dunia ideal dan realitas yang dilihat Mizoguchi dan yang menjadikannya kebingungan hingga akhirnya membakar kuil kencana itu.

 

Keindahan Absolut Yang Kosong  

Api kekecewaan Mizoguchi yang melihat realitas kehidupan moralitas dan spiritualitas komunitas tidak seindah keindahan bangunan kuil kencana yang menjadi obsesinya. Sastrawan Jepang Yukio Mishima memiliki imajinasi dan kemampuan estetik yang luar biasa, termasuk cara hidupnya yang eksistensialis. Sastrawan ini tiga kali dinominasikan untuk penerima Nobel Kesusastraan, dan api kekecewaan Mizoguchi dalam novelnya, “Kuil Kencana,” seakan mewakili dirinya dengan tradisi Jepang.

Karya-karya Yukio Mishima memiliki pengaruh Buddhisme yang dipadukan dengan pandangan filosofis Sintoisme dan estetika Jepang tradisional. Buddhisme seringkali muncul melalui tema-tema tentang kehidupan, kematian, dan pencarian makna dalam dunia yang fana, serta ajaran tentang kehidupan sebagai perjalanan penderitaan dan samsara atau perputaran kelahiran dan kematin.  

Karya Yukio Mishima telah lama dikenal di Indonesia. “The Temple of the Golden Pavilion,” atau “Kinkaku-ji,” ada diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Kuil Kencana” (1956) oleh Sastrawan Asrul Sani (1927-2004). Ada karya lainnya, “Senandung Ombak,” terjemahan oleh Sastrawan Ayatrohaedi (1939-2006) dari “The Sound of Waves” (1954), atau dalam bahasa Jepang “Shoisai.

Dalam kisah Kuil Kencana (The Temple of the Golden Pavilion) ini terdapat berbagai nilai yang diungkapkan melalui karakter tokohnya. Ada nilai keindahan dan kekosongan, kepuasan diri dan kebutuhan untuk menghancurkan, keberanian dan penghancuran diri, serta perjuangan antara nilai-nilai luhur tradisi dan tantangan modernitas.

Yukio Mishima menggambarkan Kuil Kencana sebagai simbol keindahan yang sempurna namun sekaligus kosong dan rapuh. Hal ini mencerminkan kontradiksi antara pencarian manusia terhadap keindahan yang ideal dan kesadaran akan keterbatasan hidup yang tidak bisa mencapai kesempurnaan.

Sebuah filosofi tentang pergulatan batin manusia antara keluhuran dari ketidakterbatasan dan kenyataan kehidupan yang terbatas. Dan sekaligus cermin keputusasaan dari kedalaman diri manusia sebagaimana filosofi Soren Kierkegaard (1813-1855), sang filsuf eksistensialis tentang anxiety (kecemasan) dan keputusasaan.

Karakter utama, Mizoguchi, merasa teralienasi (terasing) dan memiliki ketertarikan obsesif terhadap kuil. Namun sering berjalannya cerita, ada konflik antara kebutuhan untuk mempertahankan keindahan dan dorongan untuk menghancurkannya yang mencerminkan perasaan keterasingan dan frustrasi terhadap dunia yang tidak memuaskan.

Dalam cerita “Kuil Kencana” ini, ada tema tentang pencarian identitas dan kehormatan. Mizoguchi berjuang dengan perasaan rendah diri serta tidak percaya diri, dan ini menggiringnya pada pencarian untuk menghancurkan objek yang dianggapnya sebagai simbol ketidakmampuannya atau sebagai perwujudan dari keindahan yang tak bisa ia capai.

Kisah dalam novel “Kuil Kencana,” juga dapat ditafsirkan mengandung ketegangan antara dunia ideal spiritualitas dan realitas materialime. Paradoks yang relevan dengan kehidupan zaman kini, ketegangan antara tradisi dan modernitas, pertentangan antara tradisi Jepang yang mendalam dan modernitas. Kisah ini mewakili perjuangan manusia modern masa kini yang galau dengan dunia spiritualitas yang ditenggelamkan oleh kehidupan materialisme.

 

Dunia Spiritual Yang Rapuh

Nilai-nilai luhur tradisi Jepang yang direpresentasikan menjadi kuil kencana yang begitu indah itu nyatanya secara eksitensial tidak tergapai oleh kehidupan manusia, maupun secara sosial dalam kehidupan beragama masyarakat. Ideal spritualitas itu hanya semata mewujud secara material, dalam keindahan kuil yang membeku, sementara penghuninya hidup bergelimang di dalam dunia materialisme atau hanya semata menjalankan spiritualitasnya secara material, spiritual materialisme.

Dengan pendekatan semiotika dan hermeneutika, novel yang sangat indah, mencekam dan dramatis ini, menjadi penanda yang dapat pula diinterpretasikan atau mengandung pesan adanya kontradiksi antara bentuk luar dan isi batin. Mizoguchi sang tokoh utama, melihat Kuil Kinkaku-ji ini sebagai simbol keindahan absolut dan nyaris suci, tapi seiring waktu, ia mulai menyadari bahwa orang-orang yang ada di sekitar kuil, seperti para biksu, tamu, dan bahkan gurunya sendiri tidak hidup sesuai dengan kemurnian yang dipancarkan oleh kuil itu.

Guru kepala ternyata punya ambisi, kelemahan dan bahkan kepalsuan moral. Kuil yang seharusnya jadi tempat pencerahan, malah terasa hampa bagi Mizoguchi yang mengalami konflik batin dalam dirinya. Kuil kencana menciptakan konflik antara representasi keindahan (arsitektur, simbolisme) dan realitas moral (penghuni yang penuh cacat). Seperti melihat tubuh yang indah tapi jiwa di dalamnya membusuk, dan itu menghancurkan fantasi ideal Mizoguchi.

Awalnya Mizoguchi memuja kuil, tapi saat dia sadar bahwa kuil itu hanyalah “kulit luar” dari sesuatu yang tidak sepadan secara spiritual, kekagumannya berubah menjadi kebencian. Ia merasa dikhianati oleh keindahan, karena keindahan itu palsu atau setidaknya tidak bisa menyelamatkan jiwanya. “Keindahan itu seperti dewa yang diam, dan diamnya itu menyakitkan.” Dalam diam dan kemegahannya, kuil justru menghakimi keberadaan Mizoguchi yang compang-camping secara fisik, mental dan sosial.

Pembakaran kuil pun tak terelakkan sebagai bentuk penolakan dan pembebasan. Pembakaran kuil juga bisa menjadi aksi simbolis, sebagai penanda dari penghancuran kemunafikan antara luar dan dalam. Apakah aksi simbolis pembakaran kuil itu juga sesuatu yang indah? Sebagai penanda yang mengandung pertanda keadilan estetis? Untuk itu, jika hidupnya itu hancur, maka keindahan palsu itu pun harus musnah. Pembakaran kuil oleh Mizoguchi sebagai simbol melepaskan diri dari cengkeraman keindahan absolut yang menindasnya.

Kontradiksi antara penampilan luhur kuil dan realitas moral penghuninya adalah pemicu penting krisis Mizoguchi. Lebih dalam dari itu, ia juga merasa bahwa dunia tak adil karena keindahan tak memberi keselamatan, dan dalam pikiran yang kacau, kehancuran tampak lebih murni daripada keindahan yang penuh kepalsuan.

 

Absurditas Eksistensi

Zen Buddhism tumbuh begitu mentradisi di Jepang, dan banyak memberi pengaruh pada para seniman baik dalam inspirasi, kreativitas berkarya maupun kehidupan pribadinya yang cenderung eksentrik eksistensialis. Zen Buddhism menawarkan pengalaman hidup dan dekat dengan filsafat eksistensialis. Zen Buddhism menekankan kesederhanaan, kefanaan dan pengosongan ego.

Dalam novel, Mizoguchi melihat keindahan kuil Kinkaku-ji sebagai sesuatu yang mutlak, beku, dan tak tergapai. Keindahan itu tak membebaskannya, tapi justru membuatnya terperangkap dalam rasa rendah diri dan memunculkan keputusasaan.

Mizoguchi yang terpesona dan obsesi pada kuil kencana yang indah dan seharusnya mencerminkan nilai-nilai luhur, pada akhirnya membekukan dirinya dan merasa asing dari dunia. Dirinya mengalami keterasingan seperti cerminan idea Filsuf Eksistensialis Jean Paul Sartre (1905-1980) tentang nausea (mual psikis). Keterasingan (alienasi) ketika dihadapkan pada absurditas eksistensi.

Yukio Mishima, lewat Mizoguchi menyodorkan keindahan bukan sebagai pelipur lara, tapi sebagai penyebab kegelisahan eksistensial. Bagi Yukio Mishima sendiri, ia percaya bahwa tindakan ekstrem adalah bentuk ekspresi jujur dari krisis batin. Dan hal ini juga yang ia lakukan dalam hidup nyatanya. Yukio Mishima melakukan bunuh diri secara tradisi Jepang (seppuku) setelah menyampaikan manifesto politik dan protes untuk kembalinya nilai-nilai tradisional Jepang. (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Sumber gambar: instagram @Muthapuaka

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?