Letting Go Layangan Putus

Home » Artikel » Letting Go Layangan Putus

Dilihat

Dilihat : 14 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 29
  • 22
  • 30,350
35 pic Letting Go LAYANGAN PUTUS

Oleh: Jo Priastana

Letting go gives us freedom, and freedom is the only condition for happiness. If, in our heart, we still cling to anything – anger, anxiety, or possesions – we cannot be free

(Thich Nhat Hanh)

Dalam dunia yang semakin cepat berubah, pragmatis-hedonis dan flexing, terlebih di masa pandemi covid-19, ketika rasionalitas tidak lagi menjadi begitu penting, orang bisa saja jatuh cinta pada siapa pun dan dalam situasi apa pun. Mereka tidak mempersoalkan, bagaimana dan mengapa tiba-tiba jatuh cinta, karena godaan atau tawaran duniawi itu begitu mempesona atau mungkin karena berkembangnya kebebasan, gaya hidup dan moralitas permisif.

Persoalan jatuh cinta lagi bagi mereka yang telah memasuki rumah perkawinan yang kemudian berkelanjutan dalam perselingkuhan hanyalah satu contoh betapa manusia mudah jatuh dan terlena. Perselingkuhan dalam perkawinan melibatkan seksualitas. Karena begitu sakralnya seksualitas dalam menjaga keutuhan dalam hidup perkawinan manusia, maka pelanggaran atasnya pun mengancam runtuhnya rumah tangga, terjadinya perpisahan dan perceraian.

Memang jatuh cinta itu sungguh mempesona serta misterius. Dua orang yang sebelumnya tidak saling mengenal, demikian Erich Fromm dalam bukunya “The Art of Loving,” tiba-tiba saja merasa seolah-olah tembok di antara mereka runtuh. Mereka merasa dekat, kemudian merasa sebagai kesatuan. Saat itu mungkin saat yang paling membahagiakan dalam pengalaman hidup, suatu keajaiban dari kemesraan yang disertai daya tarik seksual dalam kesatuan pria dan wanita.

 

Seksualitas dan Cinta

Kesatuan pria dan wanita dalam kehidupan perkawinan yang melibatkan seksualitasnya merupakan juga kesatuan jiwa, hati yang diliputi oleh cinta. Manusia merupakan kesatuan rupa dan nama dan karenanya kesatuan dalam hidup perkawinan yang melibatkan libido dan eros itu perlu dilandasi oleh cinta kasih, saling menerima, saling memberi, dan saling menyerah secara total baik jasmaniah maupun rohaniah.

Kehidupan perkawinan bisa menjadi ungkapan perjalanan mendewasakan diri, yang akhirnya mendekatkan manusia kepada penyempurnaan, kematangan, dan kebijaksanaan. Tapi persoalannya, tidak selalu hidup perkawinan seindah seperti itu. Ancaman keruntuhan karena perselingkuhan kerap terjadi, mungkin karena kehidupan seksual dalam perkawinan telah tidak lagi dihangatkan oleh cinta.

Seks dengan cinta sesungguhnya akan memanusiakan kembali manusia. Namun, bagaimana bila cinta itu sudah tidak terdapat dalam rumah perkawinan, sehingga salah satu diantaranya harus menemukannya di luar rumah seperti yang terjadi dalam jatuh cinta lagi dan perselingkuhan. Adakah kehangatan dalam cinta juga yang justru dicari dalam perselingkuhan yang melibatkan seksualitas itu? Meski seks melulu bisa tanpa cinta, namun seks dan cinta memang sangat berhubungan satu sama lain.

Sastrawan dunia D.H. Lawrence, dalam novelnya (1926) “Lady Chatterleey’s Lover, yang filmnya “Lady Chatterleey” (2000), mengilustrasikan hal ini dengan baik sekali lewat dialog antara bangsawan Lady Chatterley dan Melor, karyawannya yang juga kekasih selingkuhannya. “Tapi apa yang kamu percaya? Desahnya. “Saya tidak tahu, kata Lady Chatterley. Keduanya diam. Kemudian Melor berdiri dan berkata, “Ya, saya mempercayai sesuatu. Saya percaya pada kehangatan hati dalam cinta, pada persetubuhan dengan hati yang hangat. Saya percaya jika lelaki bisa bersetubuh dengan hati yang hangat, dan perempuan menyambutnya sama hangatnya, segalanya akan menjadi baik. Bersetubuh dengan hati yang dingin adalah mati dan idiot!” Meski bangsawan, keluarga kaya terpandang, Lady Chatterleey tidak memperoleh kehangatan cinta dari suaminya, sehingga ia harus berselingkuh dan bahkan meninggalkan suaminya. (Jo Priastana.2005. “Buddhadharma dan Seksualitas.” Jakarta: Yasodhara Puteri).

Perkawinan memang tidak dipisahkan dari seks dan cinta, karenanya sangat penting cinta dalam pergaulan seksual bagi hidup perkawinan. Rollo May dalam bukunya “Love and Will,” mengungkapkan macam-macam cinta. Pertama, menyangkut seks atau nafsu birahi, libido. Kedua, eros yakni dorongan untuk mencinta dan mencipta. Ketiga adalah philia atau persahabatan, cinta untuk saudara. Sedangkan yang keempat adalah agape atau caritas yakni cinta yang mengabdi demi kesejahteraan orang lain dengan dasar mengembangkan perikemanusiaan.

Seks atau libido memang mengawali hubungan antar manusia yang berlainan jenis seperti dalam cinta yang kemudian diteruskan dalam hidup perkawinan.  Pemahaman orang tentang seks dan cinta tidak selalu sama dan juga mengalami perubahan seturut dengan perjalanan relasinya. Setiap orang perumah tangga yang masih mengalami adanya dorongan seks seringkali juga mengalami godaan untuk jatuh cinta lagi, apalagi bila cinta telah tidak menyertai seksualitas dalam rumah tangga atau sebaliknya, sehingga harus mencari dan menemukannya pada dia yang lain atau mungkin rasa cinta itu datang sendiri secara misterius.  

 

 Jatuh Cinta Lagi dan Selingkuh

Mengapa orang bisa jatuh cinta lagi? Dan mengapa mesti melanjutkan dalam perselingkuhan, entah diam-diam atau terang-terangan, dan akhirnya mengancam hidup perkawinannya? Entahlah! Bisa saja karena setiap orang punya peta cintanya sendiri, yaitu semacam panduan batin yang menuntun selera orang untuk memilih teman hidupnya. Peta cinta yang merupakan suatu prototype tertentu dalam gambaran batinnya yang kini terpenuhi pada lawan jenis yang disukainya, yang menjadi idealnya, namun sayangnya terjadi pada dia yang disebut WIL atau Wanita Idaman Lain, atau PIL, Pria Idaman Lain yang menjadi selingkuhannya.

Menurut ahli psikonalisa, Carl Gustav Jung (1875-1961), dalam “The Undiscovered Self,” (1968), dalam diri setiap manusia itu terkandung dua prinsip yang saling berlainan namun saling melengkapi, yaitu prinsip anima (prinsip feminim) dan animus (prinsip maskulin). Selain itu, setiap orang juga memiliki typus idealnya termasuk terhadap lawan jenisnya. Karena itu, bisa jadi bahwa WIL seseorang adalah typus ideal dari prinsip anima yang terdapat dalam diri seorang laki-laki, dan PIL seseorang adalah typus ideal dari prinsip animus yang terdapat dalam diri seorang wanita.

Dalam Buddhadharma, dikenal tipe-tipe seorang wanita atau  istri. Seperti diungkapkan di dalam Anguttara Nikaya, ada istri yang bertipe pembunuh (vadhakasama), perampok (corisama), dan istri bertipe putri (ayyasama). Selain itu, terhadap istri yang dianggap ideal, Sang Buddha dalam Anguttara Nikaya mengemukakan ada empat, yaitu: istri bertipe ibu (matasama), istri bertipe saudara (bhaginisama), istri bertipe sahabat (sakhisama), dan istri bertipe pelayan (dasisama).

Tipe istri ideal yang bagaimanakah bagi seorang pria? “Sungguh beruntung engkau orang baik; sungguh beruntung engkau mempunyai istri yang begitu baik, yang telah menasehatimu dan menjadi gurumu, dan batinnya penuh kasih sayang serta hasrat yang tulus untuk kesejahteraanmu.” (Anguttara Nikaya III). 

 “Bila suami dan istri ingin saling memandang (tetap bersama-sama) dalam hidup ini dan dalam kehidupan yang akan datang, maka keduanya harus seimbang dalam saddha (keyakinan), sila (moralitas), caga (kemurahan hati), dan panna (kebijaksanaan).” (Anguttara Nikaya II).

Bagi istri, disarankan untuk menghindari memperoleh suami yang “hidung belang, pemabuk, penjudi, dan pemboros.” (Vasala Sutta).  Atau bisa jadi, baik suami maupun istri ternyata tidak mendapati “dia yang simpatik seperti saudara, dia yang selalu ada dihatimu seperti seorang pacar, dia yang mengasuh seperti ibu, dan dia yang siap membantu seperti pembantu.” (Nagarjuna dalam Suhrleka). 

Kegagalan pria dan wanita menemukan tipe idealnya pada istri atau suaminya inilah yang berpotensi menjadi bom waktu perkawinan jika suatu hari suami atau istri punya peluang jatuh cinta dengan orang yang punya tipe persis seperti gambar dalam peta cintanya. Maka itu, wajarlah kalau orang bisa jatuh cinta lagi, meski barangkali perkawinannya itu sendiri berjalan dengan baik dan bahagia. Bukan tidak mustahil suami atau istri yang tampaknya baik dan setia itu ternyata memiliki WIL atau PIL, sehingga menjadi bom waktu yang akan menghancurkan rumah perkawinannya, kebersamaan hidupnya.

Kemungkinan untuk jatuh cinta lagi itu terbuka bagi setiap pasangan. Harold Bessel Ph.D, yang banyak menekuni soal-soal cinta dan pilihan teman hidup mengungkapkan bahwa unsur atraksi romantik (romantic attraction),  dan kematangan emosi (emotional maturity) sebagai faktor yang ikut menentukan mutu suatu perkawinan, dan menjadi bahan pertimbangan bagaimana orang memutuskan pilihan teman hidupnya. Tiadanya kedua atau salah satu dari unsur tersebut dapat menggoyahkan perjalanan perkawinan.

Mungkin saja suatu hari, suami maupun istri menemukan atraksi romantiknya pada wanita atau pria lain. Keterpikatan dalam pertemuan pria-wanita lain yang punya makna erotik terasa seperti menemukan peta cintanya sehingga membuat mereka jatuh cinta lagi dan membawa mereka ke jenjang perselingkuhan dalam kegelapan kemudian membawanya dalam terang perkawinan.  

“Hidup ini memiliki banyak bahaya; yang lebih tidak stabil dibandingkan gelembung yang tertiup angin, adalah keajaiban terbesar bahwa manusia selamanya bangkit dari tidur.” (Nagarjuna dalam Suhrleka).

Meski tampaknya jatuh cinta lagi itu dapat terjadi pada setiap pasangan perkawinan, namun selingkuh hendaknya jangan sampai terjadi atau hanya dipandang sebagai masalah biasa. Perselingkuhan akan menjadi masalah serius yang sulit dipecahkan karena berkelindan dengan emosi cinta sehingga mengancam perjalanan perkawinan, dan menjadi awal dari penderitaan dan runtuhnya rumah tangga.

“Orang yang tidak puas dengan isterinya sendiri, berhubungan dengan wanita-wanita pelacur, serta terlihat bersama-sama dengan istri orang lain, inilah awal penderitaan.” (Anguttara Nikaya IV:287).  

 

Melepas Layangan Putus

Dalam sepanjang hidup pasangan, rumah perkawinan memang tidak selalu berjalan di jalan tol yang mulus tanpa hambatan dan godaan, apalagi bila hidup perkawinan tidak memperoleh kesegaran dalam cinta kasih. Setiap suami atau istri tampaknya akan datang perasaan untuk jatuh cinta kembali, atau mungkin ditaksir kembali oleh wanita atau pria lain.

Kewaspadaan dalam hidup perkawinan senantiasa perlu diusahakan, karena godaan fantasi romantik dan rasa cinta terhadap pasangan idaman mungkin datang mengguncang  kesetiaan, menantang komitmen hidup bersama perkawinan. Situasi yang sangat rawan ini membuka peluang bagi terjadinya perselingkuhan, bagi terjadinya fatal attraction yang mengancam keutuhan rumah perkawinan.

Memiliki kekasih gelap dalam hidup perkawinan dapat terus membayangi dan kekasih gelap ibarat virus yang merusak rumah perkawinan, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang mau selalu disimpan di dalam kegelapan. Pastinya setiap perlingkuhan apalagi sampai jatuh cinta dan saling mencintai tentunya ingin memperoleh terang. Perceraian dengan pasangan sah menjadi ancaman. Perceraian yang tidak pernah diinginkan akhirnya menjadi solusi, karena dipandang sudah tiada cara lain untuk memperbaiki hubungan.

Perceraian mempunyai berbagai pandangan dalam setiap agama. Sebagian agama mengganggap perceraian adalah hal yang tidak baik untuk dilakukan karena termasuk pelanggaran perjanjian, komitmen pernikahan, maupun asas perkawinan monogami atau spiritualitas hidup bersama untuk sekali bersama seumur hidup. Agama-agama juga memiliki pandangan khusus dan tersendiri dalam menilai makna perceraian dari hidup bersama dalam perkawinan.

Agama Buddha juga memiliki pandangan sendiri dalam masalah perceraian. Seperti yang dilansir oleh budsas.org, dalam agama Buddha pernikahan dianggap seluruhnya sebagai keprihatinan pribadi dan individu, dan bukan sebagai kewajiban atau ajaran agama, meski dalam perkawinan pandita berperan serta berkhotbah, dan entah kemana dalam masalah perceraian. Tidak ada hukum dalam agama Buddha yang lebih mendorong seseorang untuk menikah, untuk tetap sebagai bujangan atau menjalani hidup total kesucian.

Termasuk tidak ada prinsip yang mengatur bahwa umat Buddha harus menghasilkan sekian anak dalam keluarga atau mengatur jumlah anak yang mereka hasilkan. Begitu pula dengan perceraian. Ketimbang mempersoalkan boleh dan tidak boleh, lebih baik melihat duduk perkara yang sejelasnya dan makna perkawinan itu bagi yang bersangkutan, seperti misalnya berkenaan dengan kebahagiaan masing-masing. Maka dari itu, perpisahan atau perceraian juga tidak dilarang dalam agama Buddha, meski juga tidak berarti perceraian dianjurkan. Pernikahan menjadi urusan individu masing-masing termasuk perceraian dan juga poligami. Yang ditekankan adalah baik pria dan wanita Buddha wajib memiliki kebebasan untuk menentukan apakah mereka benar-benar setuju atau tidak setuju dengan satu sama lain. Karenanya perceraian bisa menjadi sesuatu yang lebih baik jika bisa menghindari kehidupan keluarga menjadi sengsara untuk jangka waktu yang panjang, dan sebaliknya, akan menghasilkan kebahagiaan bagi masing-masing. (Lucky Krena Putra, “Hukum Perceraian Dalam Agama Buddha”, dalam Fimela.Com, 3 Agustus 2013, dan Dhammananda, Sri. 2008. “Rumah Tangga Bahagia.” Yogyakarta: Insight Vidyasena Production).

Bila memang kekasih gelap itu sudah datang meminta terang, maka ancaman keutuhan perkawinan pun menjadi nyata. Hidup perkawinan itu menyangkut soal kebahagiaan dan penderitaan, dan meski sudah diperjuangkan sekuat hati, baik secara moral, komitmen, sosial, ekonomi, dan hukum untuk tetap bisa bertahan dalam hidup bersama walau kerap hanya mendatangkan penderitaan, maka perceraian pun sulit dihindarkan. Situasi sudah jauh dan tidak mencerminkan lagi tujuan perkawinan yang dipersatukan cinta, seperti mendapat ketenangan (sakinah), hidup dengan cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah).

Perpisahan pun bisa jadi dimengerti dan dimaklumi sebagai solusi terbaik diantara kondisi yang semakin buruk bila diteruskan. “Hubungan asmara itu seperti kaca. Terkadang lebih baik meninggalkannya dalam keadaan pecah. Daripada menyakiti dirimu dengan menyatukan mereka.” (D’love, 2010).

Mengingat keadaan seperti itu, tidakkah lebih baik menyikapinya dengan keikhlasan dengan hati tulus rela untuk dapat melepasnya, letting go layangan putus.  “Tidak mengapa jika sesekali layangan kita putus. Tidak mengapa jika sesekali impian kita diterbangkan angin. Karena satu-satunya yang kita genggam erat adalah Diri Kita Sendiri” (Layangan Putus, Film Nasional) (JP).

***

Butuh bantuan?