Oleh: Ikhsan Alhaque
Hulu Barito, Muara Republik
Banjarmasin mengajari seorang Liem Koen Hian berenang meniti arus sungai kehidupan; berangkat dari sini berpuluh tahun kemudian pelajaran di masa kanak-kanaknya itu kelak menuntunnya menulis jalan ke Republik yang diberi nama Indonesia. Di antara biduk yang melintas dan rumah apung yang akrab dengan gelombang pasang–surut Sungai Barito, ia tumbuh sebagai peranakan yang memilih “Indonesia” bukan sekadar alamat semata, melainkan pertaruhan nasib dan tanggung jawab. Ia menjadikan pena sebagai dayung, tekad sebagai titian ulin dan lampu damar sebagai kompas di malam kolonial yang pekat. Ia tahu: air tak berwarna; ia hanya tahu tujuan—begitu pula kebangsaan. Pasang kehidupan pernah mengangkat namanya; sebaliknya kondisi surut turut menyisakan kemasyhurannya dalam senyap. Namun dari hulu sampai muara, ia menabuh satu janji dan satu tekad: menyeberangkan kata “kita” melewati pintu gerbang kemerdekaan.
Fakta banyak membuktikan bahwa arus sejarah, tentu jarang tenang. Dalam tata kolonial yang membelah penduduk menjadi kaum Eropa—Timur Asing—Bumiputra, Liem lahir dan bertumbuh di Pecinan Banjarmasin (kini Kelurahan Gadang-Kecamatan Banjarmasin Tengah) pada tahun 1897. Ia sempat menempuh Hollands-Chineesche School sampai kelas enam; dan pada 1912, di usia 15 tahun, ia dikeluarkan setelah menantang berkelahi guru Belanda totoknya gara-gara menghina keluarganya. Selepas itu, Liem sempat menjadi juru tulis di perusahaan minyak Shell di Balikpapan, tak betah disana ia lalu pulang ke tanah Banjar bekerja di koran Penimbangan—di meja redaksi itulah ia menemukan “passion-nya yang kedua”: berupa goresan tinta yang mengalirkan keberanian, bahasa yang tajam, disiplin yang tertata. Tahun 1915 ia merantau ke Surabaya (redaksi Tjhoen Tjhioe); pada awal 1917 menerbitkan Soe Lim Poo (gagal), sempat berdagang sebentar di Aceh dan menikahi Sho Kim Lian, lalu Desember 1918 kembali ke dunia pers: memimpin Sinar Soematra (Padang) hingga 1921.
Setelah itu The Kian Sing merekrutnya ke Pewarta Soerabaia sebagai pemimpin redaksi bergaji f.800—lebih tinggi dari asisten residen—plus mobil dinas; rubrik “Corat-coret Hari Saptoe” membuat koran ini menjelma jadi raksasa penerbitan Jawa Timur, tetapi di lain pihak membuat gerah pemerintah kolonial Belanda karena kritikan dan tulisannya yang tajam menyinggung sistem kolonial (ringkasan karier awal: Suryadinata, 1977).
Riak Menjadi Ombak
Dari pijakan itu, ia kemudian menuliskan bab yang lebih deras. Sebagai hoofredacteur Sin Tit Po, Liem menyaksikan kompetisi bola kolonial SVB/NIVB yang merendahkan wartawan “non-putih” dan pribumi. Merasa tertantang, Liem menjawabnya bukan dengan makian, melainkan komando yang menggelegar di kolom editorial korannya. Di bulan April–Mei 1932, ia menggalang seruan boikot bersama jejaring Comité van Actie Persatoean Bangsa Asia; koran Bumiputra dan Arab untuk tidak menonton semua pertandingan bola yang disponsori oleh pemerintah kolonial. Akibatnya, tribun kolonial mendadak kosong-melompong; namun di sisi lain martabat bumi putera dan peranakan terasa dipulihkan. “Sejak April hingga Mei 1932, Liem membanjiri Sin Tit Po dengan tulisan-tulisan tentang boikot,” tulis Historia (2020); gelombang pun terangkat. Polisi bertindak lalu membuinya sementara, tetapi arus terlanjur berbalik: dari meja redaksi hingga ke sudut stadion, harga diri menemukan dermaga. Seturut itu Liem akhirnya dibebaskan.
Menyebut “Kita” Tanpa Tanda Petik
Dari energi yang menggumpal di Surabaya, lahirlah pilihan politik Liem yang tegas. Tepat tanggal 25 September 1932, Liem mengibarkan bahtera politiknya yang bernama Partai Tionghoa Indonesia (PTI)—sebuah entitas politik bukan pro-Belanda, bukan pro-Tiongkok, melainkan pro-Indonesia merdeka. Intinya: Indonesierschap—kewarganegaraan setara bagi siapa pun yang lahir, hidup, dan membaktikan diri di tanah air ini—gaya politik demikian tentunya berseberangan dengan Chung Hwa Hui (status quo kolonial) dan berbeda pula dari kubu Sin Po (orientasi ke Tiongkok). Ketika Republik ini sedang di perdebatkan dengan sengit oleh tokoh-tokoh bangsa, maka Liem masuk ke BPUPKI sebagai anggota mewakili golongan Tionghoa.
Pada sidang 11 Juli 1945, ia mengusulkan kewarganegaraan otomatis bagi Tionghoa kelahiran Hindia; dan pada tanggal 15 Juli di tahun yang sama ia menuntut pula kebebasan pers agar tertulis terang dalam UUD yang lagi dirumuskan —agar “tamu atau kaum pendatang” diakui sebagai kita dan bukan mereka. Tapi sekeras apapun perdebatan di BPUPKI, akhirnya suka-tidak suka, keputusan harus ditetapkan dan kompromi politik harus di ambil. Diksi “orang Indonesia asli-pribumi/non pribumi atau keturunan asing”, sempat menghiasi praktek politik ketatanegaaraan kita bertahun-tahun pasca merdeka, walaupun akhirnya dihapuskan.
Pelajaran dari kiprah Liem Koen Hian, bahwa ia menancapkan jangkar moral bagi bangsa ini: dimana kebangsaan adalah arah, bukan asal (Suryadinata, 1977; Chandra, 2012).
Pada tataran gagasan, Benedict Anderson menyebut bangsa sebagai “an imagined political community—imagined as both inherently limited and sovereign.” Namun, Liem— jauh sebelum kutipan itu populer, sudah mempraktikkannya: membayangkan Indonesia sebagai komunitas politik yang menampung peranakan setara dengan siapa pun, seraya menolak pagar asal-usul sebagai takdir (Anderson, 1983/1991).
Muara yang Menyisakan Sunyi
Sesudah proklamasi, perahu yang ia dayungkan melaju pelan di air yang keruh dan bergolak. Liem tetap bekerja untuk Republik—ia pernah tercatat menjadi anggota delegasi Perjanjian Renville (1947–48)—namun seiring waktu berjalan, arus kecurigaan segera meninggi dalam perpolitikan nasional. Tahun 1951, tiba-tiba ia ditahan tanpa proses pengadilan; kemudian ia dipulangkan dari penjara tapi dengan tubuh yang lemah dan hati yang remuk karena kecewa. Sejumlah catatan tidak resmi menyebutkan, selepas penahanan ia menanggalkan kewarganegaraan Indonesia—ironi yang paling getir, sebab hak itulah yang ia perjuangkan sejak belia (Suryadinata, 1977). Ia lalu fokus berbisnis dan menjadi filantropi dengan sikap welas asih: menolong setiap orang yang membutuhkan lewat botol obat dan sapa ramah harian.
Pada akhir Oktober 1952, ia tiba di Medan untuk mengurus cabang ketiga Apotik Kalimantan (sebuah merek yang mengingatkannya dengan tanah kelahirannya), tanggal 3 November ia berulang tahun genap 55 tahun; namun esok paginya secara mendadak — tanggal 4 November 1952—ia pergi selamanya menghadap pencipta-Nya. Ia lalu dimakamkan di pemakaman Kwan Tung tanpa kehadiran satupun sanak keluarga.
Kabar duka baru tiba di tangan keluarga di Jakarta 3 hari kemudian lewat selembar kertas telegram. Bertahun kemudian, ketika majalah Tempo (Agustus 2019) menyisir jejak pusaranya, lokasi makamnya tak lagi ditemukan—lenyap entah kemana, seperti samudera menelan bahtera.
Dari pusaranya yang tanpa alamat itu, pertanyaan berpaling pada kita: bagaimana negara dan ingatan publik menyebut namanya hari ini? Secara resmi, namanya belum bersemayam di deret di daftar Pahlawan Nasional. Namun pengakuan publik–akademisi terus menguat: arsip, kajian, dan tulisan sejarah tetap menempatkannya kembali sebagai salah satu pendiri jembatan kemerdekaan —pendiri PTI, seorang editor yang mengubah editorial menjadi aksi, dan anggota BPUPKI yang menyebut “kita” tanpa asteris (tanpa embel-embel) (Historia, 2020; Suryadinata, 1977).
Warisan Liem yang terasa hingga hari ini, sederhana sekaligus tajam: negara mesti diikat oleh hak yang setara dan kata yang merdeka. Indonesierschap yang ia sodorkan bukan teori di menara gading, melainkan jembatan di atas riam deras yang bergemuruh—agar siapa pun yang memilih hidup di sini diakui sebagai kita. Bila kebangsaan adalah tujuan, asal-usul hanyalah bekal, bukan tembok pembatas. Dan sebab sejarah selalu meminta tanda tangan ulang, pertanyaannya kini bukan lagi siapa Liem, melainkan siapa kita di hadapan jejaknya.
Banjarmasin telah mengajari sosok Liem dalam membaca arus; namun realita Republik memintanya membelokkan haluan. Ia sudah menuntaskan bagiannya—mendirikan penyeberangan, menyalakan kompas, juga membayar mahal konsekuensinya. Pusaranya mungkin tanpa alamat, tetapi alamat ingatan ada di benak kita. Jangan biarkan “kita” kembali bertanda bintang. Rawat jurnalisme yang merdeka, tegakkan kewarganegaraan yang setara, dan buka muara Indonesia selebar-lebarnya. Bila suatu hari anak-anak kita kembali belajar arah arus air, biarkan mereka mendengar nama ini mengalun pelan dari hilir: Liem Koen Hian—seorang peranakan yang memilih Indonesia, lalu pergi abadi dalam sunyi dan sendiri, di negara yang ia ikut dirikan.
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Daftar Pustaka / Sumber Bacaan
- Anderson, Benedict. Imagined Communities (1983/1991).
- Chandra, Elizabeth. “We the (Chinese) People: Revisiting the 1945 Constitutional Debate on Citizenship.” Indonesia 94 (2012): 85–124.
- “Perlawanan Liem Koen Hian untuk Kemerdekaan,” 20 Agustus 2020.
- Suryadinata, Leo. “The Search for National Identity of an Indonesian Chinese: A Political Biography of Liem Koen Hian.” Archipel 14 (1977): 43–70.
- Tempo Magazine. “A Banjar Son’s Indonesierschap,” edisi 17 Agustus 2019.
- Sugiharto Hendrata Kuswono. “Liem Koen Hian (1897–1952) Tionghoa Banjar yang Turut Berjuang Membangun NKRI,” dalam Mansyur dkk. (peny.) Tionghoa Banjar: Peran dan Kiprahnya dalam Lintasan Sejarah. Banjarmasin: Pustaka Banua, 2023.
- https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRqh1Mfi98z026f1wtxJEqd-A-nmot4pqUdTvN-V2G2WPWs0vGhXiKHi_LJVGA2MtuVQ0Yq