Madhyama Pratipada (Jalan Tengah), Pondasi Pemikiran Buddhisme

Home » Artikel » Madhyama Pratipada (Jalan Tengah), Pondasi Pemikiran Buddhisme

Dilihat

Dilihat : 39 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 5
  • 31
  • 25,991
IMG-Madhyama

Oleh: Yohannes Raynar

Ketika Pangeran Siddharta Gautama sedang menjalankan praktek pertapaan keras di tepian sungai Neranjara kira-kira 2500 tahun yang lalu, melintaslah seorang pemusik dengan putranya yang sedang mengarungi sungai dengan sebuah perahu. Pemusik tersebut berkata terhadap putranya, “Bila senar pada kecapi ditarik terlalu kencang maka akan menyebabkan senar dapat putus dan bila terlalu kendur maka senar tersebut tidak akan dapat menghasilkan suara yang baik dan selaras.”

Perkataan pemusik tersebut lantas menggugah pemikiran Pangeran Siddharta yang kala itu sedang menjalani praktek pertapaan yang sangat keras (Dukkhacariya) demi menggapai pencerahan dan puncak dalam pemikiran sehingga ia-pun langsung memutuskan untuk menghentikan pelatihan pertapaan kerasnya yang dilanjutkan dengan pemeriksaan dan analisa mendalam pada segenap ingatan, pengetahuan, dan bentuk-bentuk pemikiran yang ada dalam benaknya melalui pengalaman-pengalaman dan proses jalannya kehidupan yang telah dilalui sampai saat itu.

Buddhisme lahir di masa ketika peradaban manusia telah cukup berkembang dan mengenal banyak aliran filsafat serta pemikiran. Pada era itu, Persia telah menjadi imperium yang sangat luas dan membentuk satrap-satrap yang menjangkau wilayah Jambudhipa (India, Lit: Pulau Jambu), para bijak dan pemikir-pemikir dari Timur jauh akan melakukan perjalanan ke Barat mencoba untuk menjangkau wilayah kaki pegunungan Himalaya dan menghabiskan sisa waktunya dalam keheningan di atap dunia, sehingga membuat wilayah Jambudhipa pada saat itu menjadi wilayah persilangan dan berkumpulnya banyak aliran pemikiran-filsafat. Setidaknya terdapat 6 aliran pemikiran yang berkembang serta mendominasi pemikiran banyak orang di wilayah Jambudhipa.

Enam aliran pemikiran yang mendominasi di era lahirnya Buddhisme di wilayah Jambudhipa tersebut adalah ;

  1. Eternalis yang dianut oleh kaum Brahmana dan Pakudha Kaccāyana yang mengajarkan prinsip kekekalan atman, di mana pada aliran pemikiran ini bermuara pada pandangan eksistensi ‘atman’ yang kekal-abadi.
  2. Amoralisme-Nihilisme yang menyangkal kebaikan dan keburukan sehingga menganggap perbuatan baik maupun buruk tidak memiliki konsekuensi apapun setelah kematian yang diajarkan oleh Pūraṇa Kassapa.
  3. Fatalisme deterministik yang menengahkan bahwa penderitaan adalah sesuatu yang telah ditentukan di mana tidak memberikan ruang bagi kehendak bebas, segala sesuatu berdasarkan apa yang telah ditentukan secara mutlak dan ini disampaikan oleh Makkhali Gośāla (Ājīvika).
  4. Materialismehedonisme, setelah kematian maka semuanya lenyap maka hiduplah dengan kesenangan-kesenangan indrawi, kehidupan sangat singkat dan ukuran kebahagiaan adalah bersifat material – coremomus nos rosis cras enim moreamur (Lat. Kenakanlah mahkota mawar karena besok akan mati) dan gurunya yang sangat terkenal pada masa itu adalah Ajita Kesakambali.
  5. Pengendalian diri, diberkahi dengan, dibersihkan oleh praktek pertapaan yang sangat keras yang cenderung pada penghukuman diri sendiri dan diliputi dengan penghindaran semua kejahatan atau Jinaisme/Jainisme yang diajarkan oleh Nigaṇṭha Nātaputta atau Mahavira.
  6. Skeptisisme, “Saya tidak berpikir begitu. Saya tidak berpikir dalam hal itu dengan suatu cara atau sebaliknya. Saya tidak berpikir tidak atau tidak.” Penangguhan dalam penilaian serta pemikiran-pemikiran spekulatif yang diajarkan oleh Sañjaya Belaṭṭhiputta.

Melalui Madhyama Pratipada dengan jalan mulia berunsur delapan – आर्याष्टाङ्गमार्ग (IAST: āryāṣṭāṅgamārga) Buddhisme menolak keenam pemikiran-pemikiran di atas yang dianggap sebagai ekstrem atau berlebihan dan mengembangkan pemikiran dan praktek yang lebih moderat yang menekankan pada pengembangan internal psikologis yang berpuncak pada “pencerahan”, berdiri di antara dua kutub eternalis dan nihilisme.

Dengan pengembangan etika dan moralitas (sila), pelatihan ketenangan juga konsentrasi (sammadhi), dan kebijaksanaan yang diperoleh melalui pengetahuan dan analisa seksama, Buddhisme berdiri berdasarkan landasan-landasan tersebut yang kemudian disebut sebagai ‘Jalan Tengah’ atau Madhyama Pratipada (Pali: Majjhima Patipada) yang kemudian menjadi tiga corak ajaran Buddhisme (Dukkha/Penderitaan, Anicca/Ketidak Kekalan, dan Anatta/Tanpa aku yang kekal) menolak bentuk-bentuk pemikiran ekstrem yang berlandaskan pada sifat-sifat skeptisisme yang berlebihan juga idealisme yang tidak bisa dicapai secara realistis dan dianggap tidak bermanfaat langsung pada pembinaan diri dan kebahagiaan batin yang signifikan.

Rahayu, Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā – Semoga semua entitas hidup berbahagia.

***

Daftar Pustaka

Mingun Sayadaw. 2009. Riwayat Agung Para Buddha. Revisi 1, Terjemahan oleh Indra Anggara. Jakarta. Girimanggala Publications & Ehipassiko Foundation.

Suttacentral.net (Online legacy version). 2006. Digha Nikaya, Brahmajala Sutta (DN1). http://legacy.suttacentral.net/dn1. Diakses Desember 2021.

Suttacentral.net (Online legacy version). 2006. Majjhima Nikaya, Devadaha Sutta (MN101). http://legacy.suttacentral.net/mn101. Diakses Desember 2021.

Suttacentral.net (Online legacy version). 2006. Samyutta Nikaya, Dhammacakkapavattana sutta (SN56.11). http://legacy.suttacentral.net/sn56.11. Diakses Desember 2021.

Butuh bantuan?