Makna Lukisan Buddha, Konfusius dan Laozi Mencicipi Cuka

Home » Artikel » Makna Lukisan Buddha, Konfusius dan Laozi Mencicipi Cuka

Dilihat

Dilihat : 35 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 26
  • 22
  • 30,347
Cicip Cuka 1

Majaputera Karniawan, S.Pd.

Di negeri Tiongkok, ada sebuah subyek lukisan berupa tiga pemimpin agama besar di Tiongkok (Buddha, Konfusius, dan Laozi) mencicipi satu belangga cuka. Lukisan ini dikenal sebagai “Lukisan Pencicip Cuka/The Vinegar Tasters” (三酸圖 San Suan Tu: Secara harfiah berarti lukisan tiga asam). Lukisan sederhana ini menjadi alegori yang menggambarkan bagaimana aliran pemikiran masing-masing guru besar tersebut.

Dari lukisan tersebut terjemahannya sebagai berikut:

  • Konfusius (Kiri, dengan ekspresi masam): Cuka ini asam, kita harus mengajarkan resep yang benar untuk membuat acar yang lebih baik.
  • Buddha (Tengah, dengan ekspresi pahit): Cuka ini sesungguhnya pahit, hanya dengan tanpa keinginan terhadap acar, maka seseorang bisa mengeliminasi kepahitan ini.
  • Laozi (Kanan, dengan ekspresi tersenyum manis): Semuanya terasa baik (manis), memang cuka ini terasa asam sekaligus pahit, tetapi inilah cara alam menunjukan cuka untuk dicicipi.

Dari sini dapat disimpulkan pemikiran dan sudut pandang masing-masing tokoh diatas dalam memaknai sebuah fenomena masalah kehidupan:

Buddha (Siddharta Gautama) dengan ekspresi pahit, pahit di sini maknanya adalah realitas adi duniawi (Paramatha Sacca) bukan sekedar secara keadaan konvensional saja, Buddha menggambarkan bahwa kehidupan ini begitu penuh penderitaan, sesuai ajarannya dalam empat kebenaran mulia (Cattari Ariya Saccani) bahwa kehidupan selain diliputi kebahagiaan, juga memang diliputi penderitaan. Sebab penderitaan adalah nafsu keinginan, penderitaan itu bisa lenyap, caranya dengan menjalankan jalan mulia berunsur delapan: pandangan benar, pikiran benar, perkataan benar, perbuatan benar, pencaharian benar, pengupayaan benar, penyadaran benar, dan penenangan/samadhi benar (SN56.11 Dhammacakkapavatana Sutta). Pemikiran Buddha di sini adalah menekankan agar orang memiliki cara pandang Realistis dalam menyikapi masalah penderitaan serta jalan mengatasinya.

Konfusius mencicipi dengan ekspresi masam, sesuai rasa cuka yang sebenarnya. Di sini Konfusius dengan realistis dan rasionalitasnya memandang untuk membuat masalah kehidupan bermasyarakat dapat mereda dan membuatnya lebih baik, memerlukan seperangkat aturan moral kesusilaan, agar “rasa” kehidupan menjadi lebih baik. Orientasi Konfusius memperbaiki setiap insan dengan menanamkan pandangan bahwa diri sendiri sebagai pusat perbaikan terus menerus dengan senantiasa meneliti hukum-hukum dalam hakikat setiap perkara (Thay Hak V:I), serta berorientasi pada menjaga kesusilaan dan tepa selira (bertenggang rasa), yang tidak susila jangan dilihat, jangan didengar, jangan dilakukan, dan jangan dilakukan (Lun Gi XII:1), dan apa yang diri sendiri tidak inginkan, janganlah diberikan kepada orang lain (Lun Gi XV:24). Dari sini sangat jelas Konfusius lebih menekankan sudut pandang Etika-Kesusilaan dalam menyikapi masalah kehidupan serta jalan mengatasinya.

Laozi mencicipi dengan ekspresi tersenyum dan terasa manis. Ia berpandangan bahwa cuka ya demikianlah alaminya, ada asam dan pahitnya, dengan membiarkannya apa adanya menjadikan ia bisa merasakan “Manisnya” rasa asli cuka. Kita bisa masuk ke dalam pemikiran Laozi diawali dengan sebuah pertanyaan: Seandainya jiwa dan fisik sudah bersatu, apa masih bisa terpisahkan? Menciptakan, menumbuhkan, dan memelihara mahluk hidup tanpa merasa memiliki; berjasa tanpa merasa punya jasa; serta memberi kesempatan bagi semua mahluk tanpa tendensi memiliki/menguasai mereka adalah sifat agung berbudi luhur yang terluhur (Sifat alamiah tidak dibuat-buat – Zi Ran 自然 dan Tanpa Intensi memiliki/tanpa pamrih – Wu Wei 無為. Dao De Jing Bab X).  Ia berpandangan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan, maka hidup harus dijalani secara seimbang dan selaras secara alamiah tidak dibuat-buat. Justru dengan mengikuti keinginan yang aneh aneh dan tidak alamiah sebagaimana mestinya kebenaran, akan mendatangkan berbagai permasalahan. Dalam melaksanakan kebajikan juga demikian, tidak perlu dibuat-buat dan mengumbar jasa, karena dengan kedua cara itulah akan menjadi contoh baik bagi semua sekalipun tanpa berkata-kata, dan kealamiahan-tanpa pamrih akan terkontemplasi kuat dalam batin serta perbuatan jasmaninya. Sangat jelas disini Laozi menekankan sudut pandang perilaku Naturalisme dan Tanpa Intensi dalam menyikapi masalah kehidupan serta jalan mengatasinya.

Manakah dari sudut pandang ini yang terbaik? Dalam kepercayaan Tionghoa, mereka tidak menyatakan satu yang terbaik. Mereka akan memakai sudut pandang masing-masing sesuai dengan kebutuhan. Dalam ranah praktis bahkan ada yang menerapkan ketiganya. Itulah kadang ada istilah Sam Kauw Hap It/San Jiao He Yi 三教合一 yang kira-kira berarti sinkretisme ketiga ajaran untuk menjadi satu kesatuan paradigma baru (Tridharma/Tiga ajaran) dan nilai ajaran yang bersifat aplikatif diterapkan bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari.

***

Daftar Pustaka

https://www.facebook.com/groups/2323595787904267/posts/2558617474402096. Diakses 30 Oktober 2021.

https://en.wikipedia.org/wiki/Vinegar_tasters. Diakses 30 Oktober 2021.

Lika. ID. Dao De Jing Kitab Suci Utama Agama Tao. Jakarta. Elex Media Komputindo.

MATAKIN. 2010. Su Si (Kitab Yang Empat). Jakarta. Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).

Suttacentral.net (Online legacy version). Samyutta Nikaya. http://www.legacy.suttacentral.net/sn Diakses  Diakses 28 Oktober 2021.

Butuh bantuan?