Oleh: Jo Priastana
Pendahuluan
Akhir-akhir ini, perubahan iklim telah menjadi perbincangan serius dimana-mana. Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang dalam pola cuaca di suatu wilayah. Perubahan iklim sering dikaitkan dengan pemanasan global. Pemanasan global adalah kenaikan suhu Bumi yang berlangsung selama satu dekade atau lebih. Perubahan iklim terjadi akibat efek dari meningkatnya konsentrasi karbondioksida yang terjadi dari pembakaran bahan fosil. (Saintif.com, diakses 31/10/2019).
Sejak tahun 2007 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporan Climate Change tentang perubahan iklim abad ini, menyebutkan beberapa hal tentang tanda-tanda berlangsungnya fenomena perubahan iklim ini. Laporan yang diungkap oleh harian Kompas pada 4 Juni 2019 ini menyebutkan:
Pertama, gas karbon diokasida (CO2) yang merupakan gas rumah kaca telah meningkat dari 280 ppm menjadi 379 ppm sejak masa pra-industri dan perkembangannya tampak terus meningkat. Kedua, untuk dua dekade mendatang diperkirakan suhu meningkat 0,2 derajat celcius per dekade.
Kenaikan suhu juga meningkat. Sejak tahun 1800-an, suhu telah meningkat 0,76 derajat celcius. Sejak 1850, ketinggian laut telah meningkat sekitar 200 mm, atau kurang sedikit dari 2 mm per tahun. Hal lain, badai menjadi kerap, demikian pula gelombang panas dan hujan lebat, berkurangnya bongkahan es dan salju di laut, dan lain-lain. (Kompas, 4 Juni 2009).
Perubahan iklim tercermin dalam suhu bumi yang mengalami kenaikan setiap tahunnya. “Data Badan Antariksa dan Penerbangan Amerika Serikat (AS) menunjukkan rata-rata suhu muka bumi naik 0,9 derajat celcius sejak akhir abad 18. Angka tersebut meski terlihat kecil tetapi dampaknya sangat terasa pada bumi. Kenaikan suhu bumi telah menyebabkan perubahan iklim. Dampak kenaikan suhu muka bumi mengakibatkan, antara lain naiknya suhu lautan hingga di kedalaman 700 meter serta menyusutnya lapisan es di Greenland dan Antartika, glasier di berbagai tempat dan laut es di Antartika. Menyusutnya es di dua kutub bumi menyebabkan naiknya permukaan laut, mengakibatkan terjadi banyak badai, intensitas curah hujan leih tinggi, musim kemarau lebih kering di berbagai tempat”. (Tajuk Rencana Kompas, 26/9/2019).
Dampak kenaikan suhu bumi juga merambah ke segenap negara serta bidang-bidang lainnya, termasuk di Indonesia. “Pertanian dan penyediaan pangan terganggu, penyakit baru muncul, penyakit lama seperti demam berdarah meluas karena nyamuk sebagai vektor virus demam berdarah jelajah terbangnya bertambah akibat menghangatnya muka bumi. Kenaikan muka air laut sudah dirasakan masyarakat yang tinggal di pesisir pantai Indonesia. Selain itu, terjadi berulang kali tenggelamnya sejumlah rumah di pesisir Jakarta dan pantai utara Jawa.” (Tajuk Rencana, Kompas, 26/9/2019).
Tidak bisa dipungkiri bahwa dampak perubahan iklim juga telah melanda negeri kita. “Wakil Presiden M. Jusuf Kalla dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim, sebagai rangkaian Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Senin (23/9/2019), mengatakan, Indonesia sudah merasakan dampak buruk perubahan iklim. Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan diperparah oleh naiknya perubahan iklim. (Kompas, 26/9/2019/Tajuk Rencana).
Perubahan iklim terjadi ketika perubahan dalam sistem iklim bumi menghasilkan pola cuaca baru yang bertahan selama setidaknya beberapa dekade, dan mungkin selama jutaan tahun. Sistem iklim terdiri dari lima bagian yang saling berinteraksi, atmosfer (udara), hidrosfer (air), kriosfer (es dan permafrost), biosfer (makhuk hidup), dan litosfer (kerak bumi dan mantel atas). Sistem iklim menerima hampir semua energinya dari matahari, dengan jumlah yang relatif kecil dari interior bumi. Sistim iklim juga memberikan energi ke luar angkasa. Keseimbangan energi yang masuk dan keluar, dan perjalanan energi melalui sistem iklim, menentukan anggaran energi Bumi. Ketika energi yang masuk lebih besar dari energi yang keluar, anggaran energi bumi positif dan sistem iklim memanas. Jika lebih banyak energi keluar, anggaran energi negatif dan bumi mengalami pendinginan. (Wikipedia, diakses 31/10/2019).
Polusi Udara Perkotaan
Fenomena perubahan iklim juga membawa dampak pada merebaknya polusi udara dan mengancam kehidupan manusia. Sudah sejak tahun 2008, harian Kompas melaporkan fenomena perubahan iklim yang mengancam kelestarian lingkungan, kelangsungan bumi dan memberi dampak besar dalam kehidupan manusia.
Dilaporkan bahwa, polusi udara perkotaan diperkirakan memberi kontribusi bagi 800.000 kematian tiap tahun (WHO/UNEP). Saat ini banyak negara berkembang menghadapi masalah polusi udara yang jauh lebih serius dibandingkan negara maju. Terjadi peningkatan angka kematian (mortalitas) dan kesakitan (morbiditas) akibat polusi udara yang berakibat pada penurunan produktivitas dan peningkatan pembiayaan kesehatan.
Tidak dipungiri, di Indonesia, kendaraan bermotor merupakan sumber utama polusi udara di perkotaan. Sebagian besar kendaraan bermotor itu menghasilkan emisi gas buang yang buruk, baik akibat perawatan yang kurang memadai ataupun dari penggunaan bahan bakar dengan kualitas kurang baik (misal kadar timbal/Pb yang tinggi).
Jika konsentrasi partikulat (PM) dapat diturunkan sesuai standar WHO diperkirakan akan terjadi penurunan tiap tahunnya: 1400 kasus kematian bayi prematur; 2.000 kasus rawat di RS, 49.000 kunjungan ke gawat darurat; 600.000 serangan asma; 124.000 kasus bronchitis pada anak; 31 juta gejala penyakit saluran pernapasan serta peningkatan efisiensi 7,6 juta hari kerja yang hilang akibat penyakit saluran pernapasan, suatu jumlah yang sangat signifikan dari sudut pandang kesehatan masyarakat. Dari sisi ekonomi, pembiayaan kesehatan (health cost) akibat polusi udara di Jakarta diperkirakan mencapai hampir 220 juta dolar pada tahun 2009.
Bayangkan betapa besarnya akibat polusi udara bagi kesehatan kita dan tidak tertutup kemungkinan jika polusi ini terbawa masuk ke dalam rumah khususnya bagi anak-anak yang merupakan cikal bakal sumber daya yang seharusnya sehat dan kuat. Perhatikan dan perbaiki kualitas sirkulasi udara di tempat tinggal. (Kompas, 12 November 2008).
Perubahan iklim telah menjadi fenomena yang nyata, dampaknya tercermin dalam berbagai kejadian yang mengancan kelestarian alam dan lingkungan, seperti banjir, kekeringan, pemanasan global. Bahkan menurut prediksi dari The Intergovernmental Panel, disebutkan bahwa temperatur global akan naik 1,5 derajat Celcius di tahun 2040. Dalam pergantian abad 80 tahun nanti, suhu bisa naik lebih gila lagi, dan bencana bisa menelan sebuah kota.
Di masa depan, kota-kota besar bahkan punya risiko dan potensi untuk fatal dalam menghadapi perubahan iklim ini. Diperkirakan di tahun 2100 nanti, banyak hal yang akan berubah di kota-kota besar, karena dampak buruk perubahan iklim, termasuk kota Jakarta.
Selama lebih dari satu dekade ke belakang, Jakarta sudah menemui masalah banjir. Bencana ini menemui keparahannya pada 2007 dan 2013 silam, di mana banjir menelan korban jiwa, dan kerugian yang tak terhitung. Jakarta sendiri memang punya separuh area yang ketinggiannya berada di bawah permukaan laut, dipadu dengan tenggelamnya permukaan tanah hingga 17 centimeter tiap tahunnya. Dari penelitian BBC, 95 persen dari daerah Jakarta Utara akan berada di bawah genangan air di tahun 2050 mendatang.
Keprihatinan Generasi Muda Greta Thunberg
Perubahan iklim nyata terbentang dan telah mengancam keberlangsung hidup bumi dan kehidupan yang ada di dalamnya termasuk juga kesehatan hidup bagi anak cucu di masa depan. Perubahan iklim yang mengancam kerusakan lingkungan dan kelestarian bumi ini disinyalir banyak disebabkan oleh ulah manusia, seperti kerakusan manusia yang mengeksploitasi alam demi keuntungan para elite ekonomi dan politik.
Fenomena perubahan iklim yang membawa dampak bagi kelestarian alam, kerusakan lingkungan, dan keberlangsungan bumi dan mengancam kehidupan manusia telah menjadi keprihatinan berbagai kalangan. Suara-suara tentang masalah ekologis ini datang dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan milenial yang merupakan pewaris kehidupan masa depan yang mendiami bumi ini.
Tidak heran bila banyak wakil dari masa depan anak dunia, seperti anak remaja yang lantang menyuarakan keprihatinannya. Mereka prihatin akan dampak perubahan iklim yang mengancam masa depan generasinya. Mereka cemas terhadap daya dukung kehidupan bumi berkenaan dengan ancaman perubahan iklim.
Suara lantang generasi milenial ini pun baru saja kita dengar dan menggetarkan kita semua. Suara lantang aktivis lingkungan remaja Swedia Greta Thunberg (16 tahun) di PBB belum lama ini di tahun 2019. Bayangkan remaja berpidato menyuarakan keprihatinannya dan mengingatkan kita semua akan ancaman kelestarian bumi dari dampak perubahan iklim yang tengah terjadi.
Aktivis remaja, Greta Thunberg berbicara di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Aksi Iklim di markas PBB, New York City, AS, Senin (23/9/19) melontarkan kritik kepada pemimpin dunia terkait upaya untuk mengatasi perubahan iklim. Greta bicara lantang mengeritik para pemimpin dunia sehubungan dengan penanganan perubahan iklim yang berkaitan dengan dana yang disediakan.
Ia mengingatkan, “Ide populer untuk memangkas emisi separuh dalam 10 tahun hanya akan memberi kita 50 persen kesempatan hidup di bawah 1,5 derajat dan berisiko memicu dampak berantai di luar kendali manusia. Angka 50 persen sama sekali tidak cukup bagi kami, kamilah yang akan hidup menghadapi dampaknya… dengan kondisi emisi saat ini, sisa anggaran karbondioksida itu akan habis dalam waktu kurang dari 8,5 tahun”.
Buddhadharma dan Ekosentrisme
Perubahan iklim telah melibatkan semua pihak untuk terlibat, tidak terkecuali kita di Indonesia, dan kalangan agama. Semua kita harus bersama-sama mengambil tindakan terhadap dampak perubahan iklim yang mengancam bumi dan generasi masa depan.
Selamatkan Bumi dari Perubahan Iklim harus selalu dikampanyekan disertai perilaku-perilaku ekologis, seperti aktivitas menanam pohon menjadi salah satu upaya melawan perubahan iklim. Selain menghijaukan dan meneduhkan, tanaman juga dapat memberi hasil yang memiliki manfaat ekonomi.
Kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan sepatutnya dipupuk sejak dini. Sekolah, lingkungan agama memiliki peranan penting di dalam pembinaan kesadaran lingkungan sejak dini. Mewujudkan kepedulian lingkungan demi terwujudnya negeri sehat, nyaman dan lestari serta kualitas hidup yang lebih baik. Keterlibatan kalangan agama dalam menumbuhkan kesadaran ekologis melalui ajaran-ajaran agama, termasuk Buddhadharma sangat diharapkan.
Mencermati permasalahan yang berkenaan dengan perubahan iklim yang merupakan bagian dari beragam masalah ekologis, akhirnya menghadapkan kita kepada pandangan manusia terhadap alam dan lingkungan. Pandangan manusia terhadap alam dan lingkungan akan mempengaruhi bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungannya, dan bagaimana perilaku manusia dalam menyikapi masalah kerusakan alam, kelestarian lingkungan, keselamatan bumi, maupun perubahan iklim.
Sonny Keraf, dalam bukunya “Etika Lingkungan” (2002), menjelaskan bahwa krisis lingkungan itu berakar pada kesalahan perilaku manusia, dan kesalahan perilaku manusia berakar pada cara pandang manusia tentang dirinya, alam, dan hubungannya serta antara manusia dan alam. Sonny Keraf menyebut cara pandang yang menyebabkan krisis ekologi itu adalah cara pandang yang bersifat antroposentrisme.
Antroposentrisme merupakan cara pandang yang menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam seluruh kebijakan yang diambil dalam kaitannya dengan alam, baik secara langsung atau tidak. Pandangan antroposentrisme yang tidak menghargai alam inilah yang menjadi penyebab datangnya krisis ekologis, seperti yang berpuncak pada hadirnya berbagai bencana alam dan datangnya ancaman perubahan iklim.
Pandangan hidup yang terpaku pada antroposentrisme dianggap tidak memadai dan harus ditinggalkan. Pandangan antroposentrisme yang berpusat pada manusia harus diganti dengan pandangan yang bersifat ekosentrisme, yakni suatu pandangan hidup yang memusatkan diri pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak hidup, baik yang hayati maupun nirhayati, baik yang organik maupun yang anorganik.
Berbeda dengan antroposentrisme, pandangan ekosentrisme merupakan pandangan yang lebih ramah dalam menghadapi alam dan lingkungan. Bila antroposentrisme telah menjadikan manusia sebagai penguasa yang terus menerus mengeksploitasi alam, maka pandangan ekosentrisme menjadikan manusia untuk hidup sadar dan harmoni dengan alam dan lingkungannya.
Pandangan ekosentrisme perlu ditumbuhkan dalam mengatasi ancaman perubahan iklim yang terjadi karena ulah manusia. Ulah manusia yang keliru dalam bersikap terhadap alam dan lingkungannya. Pandangan ekosentrisme merupakan suatu cara pandang terhadap alam dan lingkungan yang sejalan dengan Buddhadharma.
Karena itulah, kita yakin bila kita sungguh-sungguh menumbuhkan pandangan yang benar (samma ditthi) sebagaimana amanat Buddhadharma, maka kita pun akan hidup selaras dengan alam bersama terbitnya pencerahan ekologis. Lebih dari itu, kita pun akan tanggap dan responsif terhadap masalah-masalah yang mengancam kelestarian alam, kerusakan lingkungan dan keberlangsungan bumi, seperti fenomena perubahan iklim.
Menumbuhkan Pencerahan Ekologis
Ajaran Buddha mengamanatkan tumbuhnya pencerahan ekologis. Buddhadharma selaras dengan pandangan ekosentrisme, dan merupakan bagian dari tumbuhnya pandangan benar (samma-ditthi) sejalan dengan sila dan samadhi atau hidup bermoral dan hidup berkesadaran.
Kehidupan, alam, langit, planet-planet, bumi dan segenap isinya merupakan wujud-wujud dari fenomena yang terkandung dalam makna kata “Dharma”. Sedangkan kata “Buddha” adalah berarti bangkit, sadar, sehingga menjadi Buddhis sesungguhnya adalah sadar akan segenap fenomena alam. Fenomena alam semesta adalah cermin dari keselarasan Buddhadharma dengan hukum kesunyataannya.
Dalam buku “Buddhism And Ecology,” dengan editor Martinez Batchelor dan Kerry Brown, (1992), diungkapkan bahwa kata “Dharma” yang bermakna agama atau religion berisikan tentang hukum kesunyataan. Hukum kesunyataan ini merupakan hukum alam yang meliputi apa saja, menyangkut apa pun yang ada di alam ini, baik yang menyangkut biotik seperti air, tanah atau bumi, udara, api maupun abiotik manusia, hewan dan tumbuhan.
Dikatakan bahwa “hewan seperti kucing, anjing, burung, nyamuk dan pepohonan, daun serta manusia, cahaya matahari semuanya adalah dharma. Dengan begitu, Dharma merupakan sesuatu yang sangat esensial. Buddhadaharma dapat dipandang sebagai sebuah agama yang menghargai alam, “an ecological religion or a religious ecolocy.”
Dalam tulisannya di buku tersebut, Thich Nhat Hanh, aktivis Buddhis menguatkan pernyataan tersebut dengan merujuk kepada inti keyakinan seorang Buddhis yaitu Tri Ratna. Tri Ratna yang merupakan kesatuan dari tiga permata Buddha, Dharma dan Sangha. Tiga permata yang merupakan keyakinan umat Buddha ini mencerminkan praktik keagamaan Buddha untuk menumbuhkan kesadaran harmoni terhadap alam dan lingkungan.
Dalam pandangan Bhiksu dan juga aktivis perdamaian Vietnam yang kini menetap di Paris, Perancis ini, Sangha (para Bhikkhu pemuka agama Buddha) merupakan komunitas yang mempraktikkan harmoni dan kesadaran. Ketika harmoni dan kesadaran itu diperluas dalam sebuah komunitas, maka kita menyebutnya Sangha, dan bila terdapat harmonis dan kesadaran, disitulah juga terdapat Dharma, dan bila terdapat Dharma, maka Buddha pun ada disitu.
Masyarakat butuh untuk mengetahui bagaimana cara untuk mentransformasi kesadaran diri mereka, untuk melenyapkan penderitaan yang bersemayam dalam dirinya. Caranya adalah melalui pikiran dan kesadaran membangkitkan pencerahan sebagai sesuatu yang sangat praktis, yaitu pencerahan yang selalu berarti pencerahan tentang sesuatu, seperti misalnya pencerahan terhadap alam dan lingkungan atau pencerahan ekologis.
Dengan bangkitnya pencerahan ekologis itu maka kita pun dapat merujuk kepada spiritualitas Buddhis tentang penyelenggaraan kehidupan, yaitu bahwa kita tidak harus hanya menghormati dan menghargai kehidupan manusia, tetapi juga menghargai kehidupan binatang, tanaman, keberadaan mineral, air, batu, tanah, udara, dan bumi itu sendiri dengan segenap yang dikandungnya.
Keyakinan terhadap Tri Ratna sepantasnya menumbuhkan kesadaran ekologis. Bhiksu pejuang perdamaian Vietnam di tahun 1960-an yang pernah dinominasikan oleh Martin Luther King, Jr, untuk memperoleh hadiah Nobel Perdamaian ini mengungkapkan kesadaran ekologisnya itu dengan kata-kata yang sangat menyentuh. Kalimat puitis yang seyogyanya menjadi kesadaran dan perilaku kita sebagai umat Buddha.
“Berjalan diatas bumi merupakan sebuah keajaiban! Setiap kesadaran memperlihatkan keluarbiasaan Dharmakaya. Berjalan diatas tanah yang subur, kita dapat merasakan keajaiban setiap kehidupan. Seperti membuka pintu, saya melihat ke dalam Dharmakaya. Betapa luar biasanya kehidupan, memberikan perhatian setiap saat, kesadaran saya tercerahkan bagaikan sungai yang mengalir dengan tenangnya.”
Menyadari Kehidupan Kesalingtergantungan
Ajaran Buddha mengandung nilai yang menekankan agar manusia hidup serasi dengan alam mengingat manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri. Manusia dan alam serta lingkungannya merupakan satu kesatuan yang berada bersama saling membutuhkan dan saling tergantung. Buddhadhadharma menyatakan kesalingtergantungan manusia dengan alam ini dalam hukum kesunyatan paticcasamuppada (sebab-akibat yang saling tergantung)
Bila kita menyelam ke dalam Buddhadharma lebih jauh, maka kita pun akan menemukan hukum-kesunyataan tentang sebab musabab dan hukum saling ketergantungan. Hukum kesunyataan yang mencerminkan pandangan ekosentrisme yang dekat dengan alam dan menunjukkan bahwa apapun juga yang ada di dunia dan alam semesta ini adalah saling tergantung.
Bumi dengan berbagai benuanya ini berada dalam saling ketergantungan. Ada benua utara, timur, selatan, barat atau uttara kuru, oubbavideha, jambudipa, aparagoyana (Anguttara Nikaya 1,227). Bumi dalam Buddhadharma merupakan kesaling-tergantungan berbagai unsur, seperti pathavi-datu (unsur tanah), apo-datu (unsur air), tejo-datu (unsur panas), dan vayo-datu (unsur udara)
Kita terjaring dalam hukum kesaling-tergantungan dimana eksistensi kita juga terjadi atau terbentuk oleh unsur-unsur yang ada di alam. Kita hidup karena ada unsur-unsur alam lainnya, karenanya bila kita ingin selamat kita juga harus menjaga unsur-unsur alam lainnya. Jika kita melakukan polusi terhadap air, udara, merusak tanaman dan mineral-mineral itu artinya sama juga dengan merusak diri dan kehidupan kita.
Karenanya setiap apa yang ada di bumi ini harus dirawat dan dijaga, seperti: “saya tidak akan buang air besar, buang air kecil atau meludah pada tanaman-tanaman hijau dan ke dalam air yang digunakan untuk umum” (Vinaya Sekhiyavattha No 74,75).
Sejalan dengan hukum saling ketergantungan paticca-samuppada, Sang Buddha juga mengingatkan kepada siswa-siswanya agar selalu menyelami hukum karma, atau hukum sebab-akibat perbuatan. “Sesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetik” (Samyutta Nikaya I, 227).
Karma berarti tindakan. Hukum karma menyatakan bahwa segenap tindakan kita yang berkenaan dengan pikiran, kata-kata dan perbuatan akan menentukan pengalaman di masa datang. Apa yang dialami sekarang adalah hasil dari apa yang dipikir, diucapkan dan dilakukan di masa lalu.
Begitu pula sikap kita terhadap alam dan lingkungan, apa yang kita tanam begitulah yang kita petik, bagaimana kita bersikap terhadap bumi, begitulah sikap bumi kepada kita. Hukum kesunyataan Buddha telah mengingatkan kita akan kesalingtergantungan hidup di alam semesta dalam sebab dan akibat. Begitu pula dengan kehidupan kita saat ini dalam bermasyarakat dan sikap kita terhadap alam dan lingkungan senantiasa memiliki dampak dan konsekuensi.
Aktivitas yang tidak menyebabkan kerusakan lingkungan harus menjadi perhatian warga negara, sebagaimana diingatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, pasal 99 Ayat (1) sampai Ayat (3) yang memuat ancaman pidana bagi setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, ancaman kesehatan, dan/atau menyebabkan kematian orang.
Melalui hukum karma kita juga dapat memahami hukum kesaling-tergantungan segala sesuatu. Sang Buddha menyatakan bahwa segala apapun juga di alam semesta ini hadir sebagai suatu akibat dari kondisi sebelumnya yang saling tergantung tanpa sebab pertama dan tanpa adanya suatu permulaan.
“When that exists, this come to be; on the arising of that, this arises. When that does not exist, this does not come to be; on the cessation of that, this ceases.” (Majjhima Nikaya).
Upaya Kausalya Aktivitas Ekologis
Umat Buddha dapat melakukan aktivitas-aktivitas kelestarian lingkungan sebagai cermin keyakinan terhadap Tri Ratna, praktik Dharma dan menumbuhkan komunitas kesadaran ekologis. Selain itu, tindakan-tindakan upaya-kausalya, melakukan kebajikan secara praktis dan cerdas harus terus dikembangkan dalam menjaga kelestarian alam, lingkungan dan penyelamatan bumi.
Umat Buddha harus berpartisipasi dalam membuat langkah nyata menahan kenaikan suhu bumi demi kepentingan nasional, internasional, dan kelangsungan bumi di berbagai penjuru.
Untuk itu, didalam menghadapi tanda-tanda perubahan iklim yang mengancam kelestarian alam dan lingkungan dan bahkan daya hidup bumi, marilah kita berpaling sungguh-sungguh pada cara pandang Buddhadharma, bahwa kita hidup di dunia ini adalah saling tergantung dan memerlukan satu sama lain. Manusia dan sesamanya, manusia dan sesama makhluk lainnya, manusia dan ciptaan lainnya, manusia dan lingkungan alamnya.
Dengan Buddhadharma yang menghantar kepada pencerahan ekologis itu, marilah kita semua ambil bagian dalam berupaya turut serta mengatasi ancaman perubahan iklim. Ajaran Buddhadharma yang menekankan pada peningkatan kualitas batin, niscaya akan juga tercermin dalam sikap kita terhadap alam dan lingkungan.
Usaha-usaha kita semua sebagai cermin praktik Dharma dan upaya-kausalya menanam kebajikan. Sudah saatnya kini kita melakukan upaya-upaya karya nyata yang kreatif di dalam menghargai alam, lingkungan, bumi dimana segenap kehidupan ini terselenggara.
Sudah seharusnya kita menghargai dan menghormati dewa bumi dalam perilaku kita yang sungguh-sungguh menghargai bumi karena dewa bumi hadir untuk kesejahteraan makhluk hidup di dunia ini. Bumi dengan segenap isinya, air, udara, pepohonan, tanaman, hewan, sungai, gunung, mineral harus kita sikapi sebagai sahabat seperjalanan dalam menempuh kehidupan ini.
Kita telah terlahir sebagai manusia di atas bumi ini, di bumi yang mampu memenuhi segala kebutuhan manusia jika tidak terdapat keserakahan. Keberadaan kita di bumi ini merupakan suatu berkah, karena bumi telah memberikan segalanya bagi kehidupan kita. Untuk itu, marilah kita hidup sesuai dan serasi dengan bumi dan lingkungan.
. “Kesesuaian dengan lingkungan, apakah berupa lingkungan fisik seperti tempat tinggal, atau lingkungan lain serta alam dan khususnya sosial kemasyarakatan merupakan salah satu wujud rahmat atau berkah” (Suttanipata 16).
“Berdiam di tempat yang baik adalah sehat, merupakan berkah termulia” (Manggala Sutta, Khuddaka Nikaya)
Perlu selalu dikembangkan cara-cara dan karya kreatif dalam upaya penyelamatan bumi dari krisis ekologis yang tercermin dari tengah berlangsungnya perubahan iklim. Misalnya dalam keseharian hidup kita melakukan hemat energi seperti mematikan komputer, listrik, AC, bila telah tidak terpakai dan beragam tindakan-tindakan lainnya seperti menciptakan lingkungan ekologis di lingkungan tempat ibadah.
Bersama ajaran Buddha atau Buddhadharma, kita dapat melakukan upaya-upaya kebajikan seperti dengan melakukan kegiatan edukasi tentang kelestarian alam, maupun mengelola sampah menjadi produktif, mengadakan literasi ekologis dan menumbuhkan kecerdasan ekologis.
Perubahan iklim yang tak terelakkan membutuhkan upaya kita bersama untuk menyelamatkan dunia. Segala macam tindakan dapat dilakukan secara individual maupun aktivitas penyelamatan bumi secara bersama-sama.
Mari kita ajak komunitas kita untuk menjaga lingkungan, semangat menjaga bumi karena kita hanya punya satu bumi. Mari kita menggunakan transportasi yang hemat energi, menggunakan transportasi umum, berjalan kaki, naik sepeda untuk mengurangi emisi gas karbon di udara.
Mari kita berhemat dalam penggunaan air dan mematikan listrik jika tidak diperlukan. Bersihkan dan rawat halaman Vihara, sudut-sudut vihara kita dengan kesadaran penuh bahwa kita sunguh-sungguh hidup selaras dan harmoni bersamanya. Kesadaran penuh yang mencerminkan kebuddhaan dalam perilaku ekologis kita!
***
Daftar Pustaka
Martinez Batchelor and Kerry Brown. 1992. “Buddhism And Ecology.”
Sonny Keraf. 2002. “Etika Lingkungan” (2002). Jakarta: Pustaka Gramedia.
Otto Soemarwoto. 1994. “Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan”. Jakarta: Jambatan.
Emil Salim. 2010. “Lingkungan Hidup Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi”. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Thich Nhat Hanh. 2010. “Buddha Mind, Buddha Body”. Jakarta: Karaniya.
Cintiawati, Wena dan Anggawati, Lanny., penterjemah. 2004. “Kitab Suci Agama Buddha Majjhima Nikaya 1-5”, (The Middle Length Discourses of the Buddha oleh Bhikkhu Nanamoli dan Bhikkhu Bodhi, penterjemah dari bahasa Pali). Klaten: Vihara Bodhivamsa dan Wisma Dhammaguna.
Cintiawati, Wena dan Angawati, Lanny., penterjemah. 2007. “Kitab Suci Agama Buddha Samyutta Nikaya Nikaya 1-5 ”, (The Connected Discourses of the Buddha oleh Bhikkhu Bodhi, penterjemah dari bahasa Pali). Klaten: Vihara Bodhivamsa dan Wisma Dhammaguna.
Cintiawati, Wena dan Angawati, Lanny., penterjemah. 1999. “Kitab Suci Agama Buddha Sutta Nipata”, (The Sutta-Nipata oleh H. Saddatissa, penterjemah dari bahasa Pali). Klaten: Vihara Bodhivamsa dan Wisma Dhammaguna.
Cintiawati Wena dan Angawati, Lanny., penterjemah. 1995. “Kitab Suci Udana: Khotbah-khotbah Inspirasi Buddha”, (The Udana oleh John D. Ireland, penterjemah dari bahasa Pali). Klaten: Vihara Bodhivamsa dan Wisma Dhammaguna.
Jo Priastana. 2000. “Buddhadharma Kontekstual”. Jakarta: Yasodhara Puteri.
Jo Priastana. 2005. “Be Budhist Be Happy”. Jakarta: Yasodhara Puteri.
Jo Priastana. 2016. “Filsafat Buddha”. Jakarta: Yasodhara Puteri.
Jo Priastana. 2018. “Filsafat Mahayana” Jakarta: Yasodhara Puteri.
Jo Priastana. 2018. “Etika Buddha: Moralitas Mandiri dan Keterlibatan Sosial”. Jakarta: Yasodhara Puteri.
“Kitab Suci Dhammapada”. 1982. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama.
Piyadassi Mahathera. 2003. “Spektrum Ajaran Buddha”, Jakarta: Yayasan Pendidikan Buddhis Tri Ratna.
Peter Harvey. 1990. “An Introduction Buddhism: Teaching, History and Practices”. New Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers Pvt.Ltd.
Yayasan ICLEI – Local Governments for Sustainability Indonesia. 2020. “Manusia dan Perubahan Iklim Dalam Perspektif 6 (Enam) Agama Di Indonesia” Hal.47-63.